PEMBINA Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti Pontjo Sutowo mengingatkan bahwa persoalan pendidikan harus dikelola dan diurus dengan baik. Sebab kelalaian dalam mengurusi pendidikan akan sangat mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan kesalahan dalam kebijakan Pendidikan Nasional akan mengakibatkan hilangnya satu generasi karena pendidikan bersifat irreversible, jika salah tidak bisa diulang kembali.
“Apa jadinya bonus demografi yang ditunggu-tunggu untuk menaikkan kesejahteraan, alih-alih bonus, malah akan diperoleh bencana. Itulah mengapa begitu pentingnya pendidikan dikelola dan diurus dengan baik,” kata Pontjo di sela bedah Buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Ki Darmaningtyas, Kamis (5/8/2022). Buku ini merupakan kumpulan karya Ki Tyas dan makalah diskusi di beberapa tempat, cukup lengkap menggambarkan kondisi pendidikan nasional.
Menurut Pontjo, hanya dengan sistem pendidikan yang tepat, yang berwawasan sejarah, berwawasan budaya, dan berwawasan masa depan, pendidikan di Indonesia dapat menjadi wahana dalam mengokohkan budaya bangsa.
Lebih lanjut Pontjo mengatakan bahwa dalam alinea ke-empat pembukaan UUD 1945, salah satu tugas pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu artinya, bahwa negara harus hadir dalam segala urusan pembangunan pendidikan nasional.
Pendidikan seperti dikemukakan Ahmad Rizali, merupakan investasi masa depan, dan sentral bagi kemajuan bangsa, bukan saja bagi pembangunan manusia tetapi juga bagi kehidupan sebuah bangsa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Esther Duflo, ekonom Amerika Serikat terhadap kebijakan SD Inpres di Indonesia yang telah mengantarkannya memenangkan hadiah “Nobel Ekonomi” tahun 2019 bersama dua rekannya Abhijit Banerjee dan Michael Kremer.
Penelitian yang dilakukan sekitar tahun 2000 yaitu 27 tahun setelah SD Inpres diberlakukan, dengan judul “The Medium Run Effects of Educational Expansion: Evidence from a Large School Construction Program in Indonesia”, membuktikan bahwa kebijakan pendidikan SD Inpres di jaman orde baru melalui Instruksi Presiden Nomor: 10 tahun 1973 ternyata berdampak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan kemakmuran bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan yang kita anggap biasa-biasa saja, ternyata oleh peneliti asing dianggap sebagai maha karya besar bangsa Indonesia.
Beberapa survai dan studi yang kredibel lanjut Pontjo, menunjukkan bahwa saat ini hanya 1 dari 10 warga Indonesia di usia 18 Tahun yang menjawab soal 1/3 – 1/6 dengan benar. 7 dari 10 murid kelas 5 dan 6 SD di sebuah daerah di Indonesia yang diuji menjawab soal 3/4 + 3/4 dengan 6/8. Jika tak mengamati hasil uji PISA 2018 bahwa Indonesia semakin terpuruk dan hasil Asesmen Kompetensi Murid yang dijadikan baseline RPJM 2019-2024 yang sangat rendah, mungkin hasil tes pecahan di atas akan dianggap bohong dan bisa ditinggalkan begitu saja.
Visi Presiden Joko Widodo di periode 2019-2024 yang diturunkan dari Amanat Konstitusi untuk “mencerdaskan bangsa” adalah “Peningkatan Mutu Sumberdaya Manusia Indonesia” (dalam naskah akademik tersebut dipertegas kembali menjadi warganegara Indonesia unggul) yang diukur dengan ukuran kompetensi, bukan ukuran banyaknya yang bersekolah dan lamanya bersekolah. Tetapi, karena sederhana dan mendasarnya, umumnya warga Indonesia dan semua pemegang otoritas berfikir “taken for granted” ketika lulus SD/MI apalagi sudah lulus SMP/MTs, maka “Discipline Mind” dasar matematika, sains dan membaca dianggap tuntas dikuasai. Fakta dan baseline RPJMN 2019-2024 menunjukkan hal berbeda.
Saat negara “pesaing” Indonesia seperti Rusia dan China serta Mexico indikator mutu PISA-nya sudah masuk ke rerata OECD, Indonesia kata Pontjo, justru menetapkan baseline dan target Tahun 2024 sangat rendah. Matematika dipatok Tahun 2024 mencapai 388, Sains mencapai 402 dan Membaca 378. Jika kita enggan menggunakan ukuran PISA, tengoklah baseline Asesmen Kompetensi Murid (AKM) pekerjaan Kemdibud sendiri, Tahun 2024 masih tertinggal 70 % murid yg berada dibawah batas dengan baseline 2019 sebesar 22 %.
Dengan cara “business as usual” terbukti semakin lama dan semakin banyak murid bersekolah maka semakin terpuruk pula kompetensi murid pada 3 dasar mata pelajaran utama yakni matematika, sains dan membaca. “Dapatkah dibayangkan, ketika murid lulus SD/MI berkompetensi rendah, maka asupan ke SMP/MTs pun begitu dan akan tidak memenuhi syarat untuk dididik di dunia Vokasi dan meneruskan ke Perguruan Tinggi, meskipun dipatok dengan angka APM PT semakin tinggi,” tegas Pontjo.
Sementara itu Darmaningtyas dalam bukunya menjelaskan ada tiga penyebab utama rusaknya pendidikan di Indonesia. Pertama pada tingkat pendidikan dasar hingga menengah, rusaknya pendidikan disebabkan oleh komersialisasi dan kapitalisasi, politisasi guru oleh pimpinan daerag dan disorientasi arah
Kedua penyebab kerusakan pendidikan di perguruan tinggi adalah komersialisasi, privatisasi liberalisasi, dan orientasi pada gelar. Penyebab ketiga rusaknya pendidikan adalah politisi dan proses agamanisasi di lingkungan pendidikan.
Sepakat dengan Ki Tyas, Pegiat Budaya Yayasan Suluh Nuswantara Bakti yang juga dosen Unkris Susetya Herawati menambahkan bahwa peran pendidikan hanya sebagai alat reproduksi klas sosial dominan. Pendidikan juga dikendalikan oleh pasar, cirinya sangat komersil, liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Herawati juga menyoroti soal matinya ide universitas. Universitas sebagai kesatuan melalui wakil-wakilnya yang ditunjuk resmi harusnya membuat pernyataan terbuka mengenai segala macam persoalan publik.
Ia mengatakan bahwa universitas di negara-negara barat, tumbuh dari tradisi budaya negara sendiri dan menemukan kebenaran melalui suatu pengkajian atas budaya tradisional mereka sendiri. Artinya, universitas merupakan salah satu landasan tempat budaya indigences dibangun dan para cendekiawan yang dihasilkan selalu memperkaya warisan nasional melalui usaha akademis mereka.
Sedangkan universitas di Indonesia dibangun dari puing-puing reruntuhan masa kolonial dan bertujuan menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang merdeka sekaligus membangun karakter bangsa.
Buku berjudul Pendidkkan Rusak-Rusakan tersebut terbagi atas 8 bagian, terdiri dari 23 bab. Buku ini berbicara mengenai pendidikan pada masa reformasi sampai dengan sekarang. Sedang substansi yang dibahas mulai dari makna pendidikan, guru, kurikulum pembiayaan pendidikan, tata kelola pendidikan, politik dan pendidikan, otonomi daerah yang implikasinya pada pengelolaan pendidikan, masalah sekitar perguruan tinggi hingga tanggungjawab negara dalam pendidikan.(Ati)