IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Buku

Tak terasa telah 20 tahun lebih kita mencampakkannya. Percaya diri ‘menggantinya’ dengan demokrasi ultra liberal. Sekalipun istilah ini tidak pernah diakui. Hasilnya keren: presiden wayang, mahal di prosedur, kemiskinan dan ketimpangan meningkat serta utang menggunung. Rakyat terbelah dan konflik tak sudah-sudah. Dari refleksi itu, lahirlah buku berjudul “Demokrasi Pancasila (Sebuah Risalah)”. Penulisnya Subiakto Tjakrawerdaja dkk....
Jika ditanya wartawan: “Siapa ekonom pribumi yang paling layak dapat nobel ekonomi”? Tidak ragu kujawab, Subiakto Tjakrawerdaja. Walau tak banyak meriset dan menulis buku, tetapi karya di bawah ini sudah cukup menjadi ‘argumentasi ilmiah’ bagi kelayakan penulisnya dapat nobel. Buku karyanya berjudul ‘Koperasi Indonesia’, dan dibuat prolognya oleh Dawam Rahardjo serta epilognya oleh Haryono Sujono....
Diakhiri dengan tiga buku yang sangat cerdas. Begitulah cara Mas Bi (begitu aku biasa memanggilnya) meninggalkan kami, murid dan kader yang mencintainya. Tentu ini warisan yang tak biasa, sebaliknya ini warisan besar bagi negeri tercinta. Sebelum itu, ia memang tak dikenal dalam “peta ekonom besar” yang mengharu biru jagat literasi intelektual kita. Sebab, hari-harinya dipenuhi...
Saya telah membaca buku bagus karya salah seorang konglomerat baru (bukan turunan konglomerat tujuh generasi). Buku ciamik. Kini kubagi resensinya buat yang suka ilmu. Yang mau punya, bisa kontak ke penulisnya. Nama lengkapnya panjang, Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto. Ia tercatat memiliki kekayaan senilai USD995 juta atau setara Rp14,22 triliun (kurs Rp14.300 per USD). Luar biasa...
Aku saat ini tengah membaca buku yang berat ini. Berat sekali, 1.5 kg beratnya. Tebal banget. Setebal seribu halaman. Buku ini juga buku yang sangat serius. Paling serius di Indonesia, setahu saya. Seserius temanya yang sempat menghentak-hentak jagad intelektual kita. Buku berjudul Polemik Ekonomi Pancasila ini ditulis Tarli Nugroho, seorang ekonom cum ilmuwan muda yang...
Mendengar informasi ratusan orang dibunuh karena menonton bola, membuat saya sedih, melamun, dan kemudian berdoa. Pada saat itulah, tiba-tiba kawan dosen menelpon dan berkata telah mengirim buku Ekonomi Pancasila Mubyarto dan meminta komentar tentangnya. Karena itu saya segera menjawabnya, bahwa buku telah saya terima dan kini tengah dibaca untuk diresensi. Membaca buku ini sebenarnya membaca...
Makin miskin. Bahkan miskin yang irasional: yaitu dengan SDM dan SDA melimpah. Makin terbelah. Ini keterbelahan irasional: yaitu melawan Pancasila yang silanya mengajarkan persatuan. Makin mahal. Ini kondisi irasional karena filosofi hidup kita: “hiduplah seperlunya,” hidup yang secukupnya bukan hidup sekenyang-kenyangnya. Makin matrealis. Bahkan matrealis yang fundamentalis. Ini sesungguhnya isme yang sudah lama ditenggelamkan oleh...
Ia kini menepi. Setelah ia menikmati semua kursi. Dari dosen, peneliti, menteri, bankir, wapres dan profesor. Apa yang ia tak nikmati? Tak ada. Semuanya sudah. Lalu, apa hasil warisannya? Pancasila punah dan ekonomi kita berprestasi utang, gadai dan obral. Mengapa begitu? Jelas karena ia neolib. Penyembah pasar. Pengiman kontestasi, pelaksana pertumbuhan, pentradisi ekonometrika. Padahal, awal...
Apa yang riil di republik kita? Ekonomi apa yang merealitas di negeri ini? Rasanya, dua pertanyaan itu kok mudah dijawab, tetapi sangat menyakitkan hati kita. Sebab, yang riil itu “ekonomi kolonial” dan yang merealitas itu “perekonomian para kolaborator”. Padahal, usaha memerangi dua hal itu terus dikerjakan. Di banyak tempat, walau oleh segelintir orang. Dan, salah...
Semua bertepi. Semua berakhir. Semua berujung. Kecuali di novel Bumi Tak Bertepi. Novel kritik yang sangat menggugah. Diketik dengan semangat perubahan dan pencerahan. Ada banyak tesis menarik dan salah satunya saat penulis bicara kemiskinan mutakhir. “Kemiskinan adalah waktu ibadat kita. Janganlah kita terluka karenanya. Kekurangan, kesempitan, kesulitan dan ketidakadaan hanyalah tempat-tempat ibadat agar kita khusuk...
1 2 3