IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Membangun Ketahanan Budaya dalam Menghadapi Perang Generasi ke-IV

Syarifudin Tippe

Latarbelakang
Menurut Bung Karno, ada tiga modal penting dalam hidup bernegara yang tengah menghadapi bahaya, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. (Kurniawan, 2017). Ditandaskan Kurniawan bahwa konsep ketiga dari Konsepsi Trisakti yang disampaikan Bung Karno dalam pidato kemerdekaan Indponesia, 17 Agustus 1964 di atas, jarang dikupas secara mendalam.
Senada dengan isi pidato Bung Karno di atas, Hendrik Holomoan Sitompul, Ketua Umum DPD Ikatan Sarjana Katholik (DPD ISKA) Indonesiaberupaya membangkitkan semangat kebangsaan menyikapi Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2017 dengan mencetuskan:“Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang besar dan kuat untuk memenangkan Perang Generasi ke IV, maka bersatulah merawat komitmen kebangsaan”(Sitompul, 21 Mei 2017).
Terkait dengan komitmen kebangsaan untuk memenangkan Perang Generasi ke IV, relevan kiranya dikedepankan permasalahan kebangsaan yang terdapat dalam Buku Induk Kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, yaitu:
“disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa”. Amin (2012:2)

Salah satusubstansi keterkaitan erat di antara ketiga pernyataan di atas—orang sering menyebutnya benang merah—adalahsangat boleh jadi permasalahan kebangsaan yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia kini merupakan awal dari terjadinya Perang Generasi ke-IV. Pemahaman ini diperkuat misalnya oleh Sitompul ketika memaknai Perang Generasi ke IV sebagai Proxy War, sebuah perang yang merupakan kombinasi sipil dan militer. Dinyatakan bahwa aksi-aksi dalam Perang Generasi ke IV dilakukan secara diam-diam, serentak dengan menggunakan ekonomi, pendidikan, dan budaya. Ciri utama Perang Generasi ke IV adalah menurunnya loyalitas terhadap negara, dan sebagai gantinya adalah meningkatnya loyalitas alternatif, seperti kepada agama, suku, geng atau kelompok, dan ideologi tertentu. (Sitompul, 21 Mei 2017).
​Jika pemahaman substansi Perang Generasi ke IV ini disepakati, dapat dimaknai lebih jauh bahwa Perang Generasi ke IV sama saja dengan perang melawan diri sendiri untuk memecahkan berbagai permasalahan kebangsaan tersebut di atas, yaitu: Perang bagaimana meningkatkan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila; perang bagaimana membangun perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; perang bagaimana menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; perang bagaimana membangun kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; perang bagaimana menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; dan perang bagaimana menguatkan kemandirian bangsa.
Pemaknaan di atas diperkuat oleh Zulkifli, Ketua MPR, saat peringatan Hari Konstitusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, sebagai rangkaian peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2017, bahwa “tantangan utama saat ini adalah menjaga kemajemukan sekaligus meneguhkan kemandirian bangsa”, dan bukannya terdapat gejala kuat untuk mengubah dasar atau konstitusi negara. (Kompas, 19 Agsutus 2017). Tentu dapat dipahami latarbelakang pengungkapan pernyataan tersebut, yaitu adanya gejala yang mencoba menyoal eksistensi dasar konstitusi negara. Salah satu konsekuensinya adalah bersentuhan dengan struktur kesistemanberbangsa dan bernegara,(Giddens, 2010: 248), khususnya kesisteman nilai, yaitu sistemnilai Pancasila. Menjaga kemajemukan dan meneguhkan kemandirian bangsa yang diisyaratkan oleh Zulkifli dengan Pancasila sebagai basis nilai, adalah bagian dari upaya membangun ketahanan budaya nasional.
Penjelasan di atas pada intinya memperkaya latarbelakang urgensi tema dan subtema yang diangkat dalam Term of Reference (TOR) Simposium Nasional Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD), yaitu karakter bangsa, nilai keindonesiaan, dan ketahanan budaya.Kesemuanya merupakan bagian darikomitmen kebangsaan, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yang harus dirawat melalui persatuan untuk memenangkan Perang Generasi ke IV.
Pertanyaannya, bagaimana merawat komitmen kebangsaan tersebut dalam rangka memenangkan Perang Generasi ke IV, atau, bagaimana membangun ketahanan budaya nasional dengan nilai ke-Indonesiaan sebagai basis dalam rangka membangun karakter bangsa untukmelestarikan dan mensejahterakan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Setidaknya ada tiga pertanyaan turunan yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan besar di atas, yaitu: (1) Bagaimana posisi nilai ke-Indonesiaan sebagai basis nilai dalam rangka membangun ketahanan budaya nasional menghadapi Perang Generasi ke IV; (2) Bagaimana kondisi ketahanan budaya nasional saat ini menghadapi Perang Generasi ke IV; dan (3) Bagaimana membangun ketahanan budaya nasional dalam menghadapi Perang Generasi ke-IV.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah melengkapi materi presentasi dalam pelaksanaan FGD Simposium Nasional Kebudayaan, pada tanggal 24 Agustus 2017 dalam rangka penyusunan konsep “Strategi Pembangunan Budaya Nasional” yang diselenggarakan oleh PPAD.
Lingkup bahasan materi makalah ini meliputi sekurang-kurangnya linier dengan tiga pertanyaan turunan di atas, yaitu: (1) Posisi sistem nilai Pancasila sebagai basis nilai ke-Indonesiaan menghadapi Perang Generasi ke IV; (2) Kondisi terkini ketahanan budaya nasional menghadapi Perang Generasi ke IV; (3) Strategi Membangun Ketahanan Budaya dalam rangka menghadapi Perang Generasi ke IV
Pancasila sebagai Basis Nilai ke Indonesiaan
Pemahaman Pancasila sebagai basis nilai ke Indonesiaan dalam konteks pembangunan ketahanan budaya pada dasarnya untuk mengantar pemahaman bahwa ketahanan budaya merupakan subsistem dari sistem sosial budaya. Sedangkan sistem sosial budaya merupakan subsitem dari sistem nilai Pancasila (Abidin dan Saebani, 2002:18). Oleh karena itu ada baiknya dipahami lebih dulu tentang Pancasila sebagai sistem nilai.
Sistem nilai terdiri dari dua kata, yaitu sistem dan nilai. Sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Sistem memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Suatu kesatuan bagian-bagian, setiap bagian memiliki fungsi
(2) Masing-masing bagian saling berhubungan dan ketergantungan
(3) Memiliki tujuan bersama
(4) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks. (Kaelan 2009: 66)
Pengertian tentang nilai, dapat dibagi atas tiga kelompok pengertian, yaitu: pengertian menurut filsafat nilai, pengertian menurut filsafat ilmu, dan pengertian secara umum.
Pemahaman nilai dalam filsafat nilai, Winarno (2012) menjelaskan bahwa nilai menunjuk pada kata benda abstrak yang artinya keberhargaan dan kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari nilai. Nilai akan selalu berada di sekitar manusia melingkupi kehidupan manusia dalam segala bidang. Definisi nilai dalam konteks filsafat ilmu, dimaknai Hadiatmaja (2011:5) dan Sutrisno (2005:6) dalam Endraswara (2012:161-162). Menurut Hadiatmaja, nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar, baik yang merupakan sifat-sifat maupun sikap, perilaku, perbuatan seseorang atau kelompok yang sangat penting dan berguna untuk kehidupan lahir dan batin. Sutrisno mengartikan nilai sebagai sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang serta dijadikan acuan tindakan pengarti dan hidup. Dua rumusan tersebut menurut Endraswara (2012:162) mengundang perhatian khusus bahwa dalam hidup membutuhkan acuan, yaitu nilai.
Definisi nilai secara umum oleh Koyan (2000:13) dalam Ilham (2009:40) adalah segala sesuatu yang berharga yang dapat dibedakan menjadi nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai yang menjadi cita-cita seseorang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam perilaku seseorang. Menanggapi pemaknaan Koyan, Ilham (2009:40) mengklasifikasi nilai menjadi nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai Obyektif adalah nilai dasar yang bersifat hakiki atau intrinsik yang berlaku sepanjang masa secara universal. Sedangkan, nilai subyektif adalah nilai yang memiliki isi, warna atau corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya komunitas tertentu pula.
Definisi nilai yang merupakan resume dari berbagai pandangan di atas dapat dipaparkan sebagai berikut: “nilai adalah konsep abstrak tentang sesuatu yang esensial dimana di dalamnya terkandung cita-cita yang diekspresikan sebagai sifat, sikap, perilaku dan perbuatan seseorang atau kelompok. Keberadaannya dihargai, dihormati, diagungkan serta dijadikan acuan tindakan untuk kepentingan lahir dan batin. Oleh karena itu, perlu disyukuri dan dilestarikan”.
Berdasarkan definisi sistem berikut ciri-cirinya dan definisi nilai yang telah dipaparkan, yang kemudian dirangkaiakan dalam satu kesatuan makna, yaitu sistem nilai, maka Pancasila memenuhi kriteria tersebut sebagai sistem nilai. Keberadaan Pancasila sebagai sistem nilai ini sesuai dengan pandangan Kaelan (2009:67) bahwa jika sila-sila dari Pancasila merupakan nilai, sementara hubungan antara sila-sila tersebut saling berkaitan dan saling mengkualifikasi, artinya sila yang satu dikualifikasi oleh sila-sila lainnya, maka keberadaan Pancasila menurut konstruksi hubungan tersebut adalah sistem nilai.
Di samping sebagai sistem nilai, Pancasila juga sebagai ideologi negara, dalam arti Pancasila merupakan supra sistem dari sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan dalam struktur kesisteman berbangsa dan bernegara. Dalam posisi tersebut, maka posisi Pancasila inherensebagaibasis nilai ke Indonesiaan. Dengan demikian, pengembangan sistem sosial budaya, seperti membangun ketahanan budaya nasional harus berlandaskan pada basis nilai ke-Indonesiaan yaitu pada sistem nilai Pancasila itu sendiri.

Kondisi terkini Ketahanan Budaya Nasional

Ketahanan budaya nasional atau ketahanan nasional bidang budaya pada dasarnya memiliki makna yang sama yang diakomodasikan dalam definisi ketahanan nasional. Secara konseptual ketahanan nasional bermakna kondisi dinamik bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung, sebagai upaya menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam menggapai cita-cita bersama. Pranowo (2010:6). Definisi ketahanan nasional ini masuk pada pemaknaan tataran makro yang mencakup segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian definisi ketahanan budaya sendiri masuk pada pemaknaan tataran mikro, yaitu kondisi dinamik bangsa secara nasional yang terfokus pada perspektif budaya. Persepsi AGHT pun berupa Perang Generasi IV juga dalam konteks AGHT yang bermuatan budaya.
Berangkat dari posisi Pancasila sebagai basis nilai ke-Indonesiaan, maupun dari definisi ketahanan budaya di atas, maka bahasan tentang potret ketahanan budaya terkini, menggunakan kerangka acuan Koentjaraningrat (2009: 144-170) tentang “sistem nilai budaya” dan “kebudayaan” dan C. Kluchohn dalam Koentjaraningrat (2009): 153-170) tentang “lima masalah dasar kehidupan manusia” (Koentjaraningrat, 2009: 153-157) dan Universal Categories of Culture (1953)(Koentjaraningrat, 2009: 164-170)yang menyajikan 7 unsur kebudayaan.
Definisi kebudayaan menurut ilmu antropologi berbeda dengan definisi kebudayaan ilmu lain. Definisi tersebut menurut ilmu antropologi berangkat dari cara hidup manusia:
“Manusia dengan kemampuan akal atau budinya, telah mengembangkan berbagai macam tindakan demi keperluan hidupnya sehingga menjadi makhluk yang paling berkuasa di muka bumi ini. Namun demikian, berbagai macam sistem tindakan tadi harus dibiasakan olehnya dengan belajar sejak lahir sampai saat ia mati. Hal karena kemampuan untuk melaksanakan sesmua sistem tindakan itu tidak terkandung dalam “gen”-nya, jadi tidak dibawa olenya saat ia lahir.
Cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan tadi dijadikan sebagai obyek penelitian dan analisis oleh ilmu antropologi sehingga aspek belajar merupakan aspek pokok. Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan” atau culture, ilmu antropologi berbeda dengan ilmu lain. Kalau dalam bahasa sehar-hari “kebudayaan” dibatasi hanya pada hal-hal yang indah (seperti candi, tari-tarian, seni rupa, kesusasteraan dan filsafat) saja. Sedangkan dalam ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya (Koentjaraningrat, 2009: 144-145).

Singkatnya “kebudayaan” pada dasarnya hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang diperoleh dengan belajar. Sedangkan budaya adalah “daya dan budi”.
Terkait dengan “budaya” dan “kebudayaan”, dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya satu dengan lainnyaberkaitan hingga merupakan satu sistem. Sistem itulah disebut sistem nilai budaya.
Secara universal, sistem nilai budaya dipisahkan dengan pandangan hidup dan ideologi.(Koenjtaraningrat, 2009, 153). Namun, di Indonesia sistem nilai budaya merupakan subsistem dari sistem nilai pancasila sebagai basis nilai ke-indonesiaan, baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai ideologi negara. Artinya, sistem nilai Pancasila pada hakikatnya simbolistik atau formalitas dari sistem nilai budaya nasional indonesia.

Menurut C. Kluckhohn, secara universal pula, tiap sitem nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar tersebut menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya sebagai berikut:
1) Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH)
2) Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK)
3) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW)
4) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disingkat MA)
5) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM)

Cara berbagai kebudayaan di dunia mewujudkan dalam konsep kelima masalah dasar diatas berbeda-beda. Misalnya, mengenai masalah dua (MK), ada kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk memungkinkan hidup; tapi kebudayaan lain menganggap bahwa hakikat karya manusia tersebut untuk menjadikan orang tersebut terhormat dalam masyarakat; sedangkan kebudayan-kebudayaan lain menganggap hakikat karya manusia tersebut sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Lihat tabel dibawah ini.

Kerangka C. Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar dalam Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakikat hidup
(HK)
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakikat Karya
(HK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.
Karya itu untuk menambah karya
Persepsi manusia tentang waktu
(MW)
Orientasi ke masa kini
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia terhadap alam
(MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berusaha menguasai alam
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya
(MM)
Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong-royong)
Orientasi vertikal rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri

Sebagai kelengkapan dari kerangka analisis sistem nilai budaya sebagai acuan dalam memotret ketahanan budaya nasional Indonesia, dapat mengacu pada C. Kluckhohn tentang tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal, yaitu:
1. Bahasa;
2. Sistem pengetahuan;
3. Organisasi sosial;
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi;
5. Sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi
6. Sistem religi; dan
7. Kesenian
​Ketujuh unsur kebudayaan di atas berlaku secara universal, artinya setiap negara dipastikan memiliki ketujuh unsur kebudayaan tersebut, yang membedakan negara satu dengan lainnya adalah kadar dan kompleksitas setiap unsur. Semakin maju peradaban sebuah negara maka semakin tinggi dan semakin kompleks pula unsur-unsur tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Substansi pembahasan diatas dapat memberi pelajaran kepada kita dalam memotret ketahanan budaya nasional Indonesia. Bukankah ketujuh unsur kebudayaan tersebut ada dan cukup potensial di setiap pelosok nusantara untuk dikembangkan sehingga Indonesia dapat berkembang dari posisinya saat ini sebagai “negara berkembang” menjadi “negara maju”? Misalnya, pada tataran konseptual kebudayaan, para penyelenggara negara dan juga para pakar sumber daya alam memandang bahwa penguasaan sumber daya alam dapat membawa bangsa ini menjadi negara yang sejahtera, adil dan makmur. Bahkan hal tersebut tertuang dalam amanat konstitusi.
Kini, potret ketahanan budaya nasional dapat dipaparkan, dengan berpijak pada ketujuh unsur kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, dan Pancasila sebagai basis nilai. Secara konseptual potret permasalahan kebangsaan sebagaimana dimuat dalam Buku IndukKebijakan Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, disadari bahwa nilai-nilai Pancasila belum dihayati, dan nilai-nilai budaya bangsa memudar. Salah satu refleksi dari hal tersebut adalah sebagaimana pernyataan Siswono Yudo Husodo, Ketua Pembina Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, dalam menyambut penerbitan Buku Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan yang ditulis oleh Yudi Latif (2014), sebagai berikut :
“Buku ini terbit pada waktu yang tepat. Kita telah menyaksikan kemersotoran etika moral dan integritas yang melanda para pejabat di lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan juga masyarakat luas. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai weltanschauungbangsa indonesia, memang perlu dihayati dan menjadi warna dari keseharian kehidupan masyarakat, kehidupan penyelenggaraan negara dan kebijakan negara. pancasila seharusnya menjadi sistem nilai yang dianut dan dihormati masyarakat. Upaya itu telah diusahakan sejak dulu melalui pola indokrinasi dan penataran serta kegiatan pendidikan formal. Tapi kita menyaksikan prikehidupan yang a-pancasilais terus menyebar dan meningkat. Contoh, keteladanan, memang lebih mudah diserap masyarakat daripada teori-teori yang kering. Dengan contoh suritauladan para pejuang bangsa, diharapkan dapat lebih efektif mendorong internalisasi nilai-nilai pancasila dikalangan pelajar, masyarakat luas dan para penyelenggara negara. Buku ini adalah buku yang baik dan perlu dibaca khususnya oleh kalangan generasi muda.”

Cukuplah pernyataan di atas sebagai representasi dari lemah dan rendahnya ketahanan budaya nasional Indonesia, karena memang pancasila sebagai sistem nilai sekaligus simbolik dari sistem nilai budaya nasional Indonesia belum dihayati. Terutama yang disinyalir oleh Yudi Latif dalam buku tersebut, bahwa pihak penguasalah yang memiliki posisi yang paling sentral dalam menentukan kebijakan untuk mebangun katahanan budaya nasional. Namun sebaliknya, mereka pulalah yang tidak patut diteladani dalam merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam perbuatan, sehingga dampaknya sangat meluas dan mendasar sebagaimana telah dituangkan dalam TOR Simposium ini, yaitu sinyalemen Bambang Wibawarta (2017) bahwa ada lima permasalahan besar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membuat modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia—yangtidak lain adalah sistem nilai budaya itu sendiri—kurang dapat dimaksimalisasi yaitu: krisis nation character, economy gap, old mindset, corruption, dan moral hazard.

Bela Negara: Strategi Membangun Ketahanan Budaya Nasional
​Salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang relevan untuk diangkat dalam simposium ini untuk dijadikan strategi dalam membangun ketahanan budaya adalah bela negara.Bela Negara sangat relevan dengan susbtansi kebudaayaan yang diangkat terkait dengan sistem nilai budaya berikut kerangka acuan Koentjaraningrat dan C. Kluckhohn.
​Sejak tahun 2015, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mengusung sebuah program yang cukup membuat publik seolah dibangunkan dari peraduan, terkait dengan jati diri bangsa, yaitu hadirnya Program Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN). Reaksi dan respon publik pun beragam terhadap program tersebut. Intinya terjadi pro dan kontra. Secara kelembagaan, setidaknya dari Universitas Pertahanan (Unhan) dan Partai Nasdem meresponnya secara akademik. Unhan sebagai jajaran Kemehan yang menginduk kepada program PKBN, mendeklarasikan dirinya sebagai Kampus Bela Negara. Sementara Nasdem mendirikan Akademi Bela Negara.
​Dalam kapasitas sebagai pendiri Unhan, setelah melahirkan Buku Ilmu Pertahanan, penulis ikut merespon PKBN tersebut, melalui penulisan Buku Bela Negara, dengan judul Redisain Bela Negara, Perspektif Manajemen Stratejik dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kemasan buku tersebut tentu saja berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Pesannya adalah bahwa jalur pendidikan tetap merupakan yang terbaik dalam memasyarakatkan bela negara.
​Dalam makalah ini, penulis berkenan berbagi gagasan atas relevansi bela negara dengan pancasila sebagai sistem nilai dan ketujuh unsur kebudayaan. Relevansi tersebut adalah bela negara diposisikan sebagai strategi membangun ketahanan budaya nasional Indonesia.

Pengertian Bela Negara​
Makna harfiah bela negara berarti pembelaan terhadap negara, yaitu negara Indonesia. Indonesia terbentuk pada bilangan tahun 1945, atau persisnya pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bilangan tahun 1945 itulah yang mendasari pernyataan tentang ekspresi bela negara: “Ia harus dialirkan dari jiwa, semangat dan nilai-nilai 45 yang tumbuh dan berkembang semasa perjuangan fisik untuk merebut dan menegakkan kemerdekaan” (Kosasih dalam Rahardjo, 2001:392). Berangkat dari ekspresi bela negara itulah dapat dirumuskan pengertian bela negara, yaitu sikap dan perilaku serta tindakan warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara (PKBN Kemenhan, 2016).
Dalam rumusan pengertian bela negara tersebut terkandung pula makna bahwa bela negara lahir pada tahun 1945 dalam konteks bentuk dan kedaulatan negara yang wajib dibela dan dipertahankan, yaitu NKRI. Terkait dengan bentuk negara, menurut Kaelan (2013, 646-647) bahwa memang dalam proses pembahasan tentang bentuk negara sebagaimana terkandung dalam pasal (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”, hampir semua tokoh pendiri bangsa, menolak paham individualisme-liberalisme, maupun negara klass, baik Soekarno, Yamin, Hatta, Soepomo dan pendiri negara lainnya. Esensi negara kesatuan adalah terletak pada pandangan ontologis tentang hakikat manusia sebagai subjek pendukung negara. Jadi, hakikat negara kesatuan bahwa negara adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat pada hakikatnya mewakili diri pada penyelenggara negara, menata, dan mengatur dirinya dalam negara, dalam mencapai suatu tujuan hidupnya. Pandangan Notonagoro (1975) dalam Kaelan (2013, 647) bahkan lebih rinci bahwa menurut paham negara kesatuan, negara bukan terbentuk secara organis dari individu-individu sebagaimana diajarkan oleh Hobbes, Locke dan pemikir individualis lainnya, melainkan negara terbentuk atas dasar kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Tidaklah berlebihan jika muncul adagium “NKRI adalah harga mati”, sebagai salah satu refleksi kandungan pembelaan negara yang sangat mendasar dalam rumusan bela negara terhadap negara kesatuan. Adagium tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah tuntutan kesejarahan agar NKRI untuk tetap dipertahankan mati-matian. Tuntutan ini bukan keinginan sekelompok orang dengan keinginan tertentu, tetapi ia merupakan kesepakatan kebangsaan dan kenegaraan yang dititipkan melalui pesan-pesan sejarah yang harus dilestarikan keberadaannya.
Demikian pula substansi kedaulatan negara juga terkandung dalam rumusan pengertian bela negara, yaitu dalam NKRI itu sendiri. Sebagaimana yang dituturkan Kaelan pada kata pengantar buku ini, ada lima kesatuan, yaitu: 1) Kesatuan suku, agama, ras dan antar golongan; 2) Kesatuan nasib yang berkembang dari akar sejarah yang panjang; 3) Kesatuan wilayah usantara; 4) Kesatuan azas keruhanian; dan 5) Kesatuan tujuan bersama. Kelima kesatuan inilah yang terpancar sebagai kedaulatan rakyat, kedaulatan yang tidak hanya berbasis pada negara, tetapi juga berbasiskan filosofi Pancasila, basis normatif hukum, serta basis etika kehidupan bersama berbangsa dan bernegara.
Senada dengan “NKRI adalah harga mati”, kedaulatan rakyat yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, Pasal 1 ayat (2) bahwa ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’, seharusnya juga dipertahankan mati-matian, atau tidak perlu diamandemen. Menurut Kaelan (2013:651) dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, Pasal 1 ayat (2): ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’, menunjukkan lembaga yang merupakan subjek penjelmaan kedaulatan yang tidak jelas, dan mengandung catagory mistake.
Atas dasar fenomena itu pula yang mendasari mengapa Kaelan dalam kata pengantar buku bela negara yang penulis akan terbitkan, mengajak setiap warga negara memiliki kesadaran akan hakikat bela negara. Sebuah kesadaran bagi setiap warga negara untuk membela dan mempertahankan NKRI yang didalamnya terkandung hakikat bentuk negara kesatuan dan hakikat kedaulatan negara yang berbasiskan kedaulatan rakyat.
Penjelasan tentang pengertian bela negara sebagaimana telah dijelaskan dalam konteks “negara”, dalam arti berdirinya sebuah negara, yaitu adanya pemerintah, rakyat dan wilayah, maka sejatinya yang dibela adalah negara kesatuan dan kedaulatan negara yang keduanya menjadi satu dalam NKRI. Sementara pembelaan dalam konteks “bangsa”, maka bangsa dapat diartikan “paham” atau “isme”, seperti nasionalisme, cinta tanah air, rela berkorban, pantang menyerah dan sebagainya. Pemaknaan demikian, mengisyaratkan bahwa sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara, sudah lahir lebih dulu sebagai bangsa.
Simpulan tentang bela negara dalam sistem nilai adalah bagaimana bela negara dilahirkan dalam konteks nilai-nilai kebangsaan, yang meniscayakan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara? Dalam pertanyaan lain, mengapa bela negara dapat diposisikan sebagai bagian dari sistem nilai yang terdiri dari nilai nasionalisme dan patriotisme. Dalam pendekatan kesejarahan, dijelaskan proses terbentuknya bangsa Indonesia yang didalamnya terkandung kelahiran bela negara. Penjelasan ini sekaligus mengantarkan pula pada pemakanaan tentang negara-bangsa atau bangsa dan negara, bahwa penyebutan “bangsa dan negara Indonesia” merupakan keniscayaan satu kesatuan rentetam kesejarahan lahirnya bangsa mendahului lahirnya negara, namun keduanya tak dapat dipisahkan dalam sebuah ikatan sistem nilai. Dalam simpul sistem nilai itulah terdapat nilai bela negara sebagai salah satu daya pengikat yang mendorong setiap anak bangsa dan negara untuk berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Paradigma Bela Negara
Dari pengertian paradigma menurut Ritzer yang berbasis pada konsep Thomas Kuhn, dan hasil sintesis pandangan universalitas bela negara menurut Kaelan dan Budi Susilo, maka paradigma bela negara dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Paradigma bela negara adalah perspektif mendasar atas ilmu pertahanan negara, meliputi tata nilai, model atau kerangka keyakinan, pikiran dan tindakan yang dijadikan landasan filosofis, teoretis, dan operasional setiap warga negara dalam upaya bela negara melalui pendidikan kewarganegaraan (PKn) atau civic education
2) Paradigma bela negara pada hakikatnya adalah upaya bela negara untuk mencintai dan mempertahankan bangsa dan negara dari setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, demi eksistensi, kemajuan serta kejayaan setiap bangsa dan negara.
Aktualisasi Bela Negara
Setidaknya ada dua manfaat aktualisasi bela negara yang dapat diraih atas adanya paradigma bela negara, yaitu: (1) Memperkaya referensi untuk mengembangkan ilmu pertahanan; dan (2) Meyakinkan semua pihak bahwa pendidikan merupakan basis utama dalam mengaktualisasikan bela negara di semua lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan, pemukiman dan pekerjaan. Berangkat dari kedua manfaat ini, maka pokok bahasan berikut adalah menjelaskan bagaimana konten bela negara yang terdiri atas nilai-nilai mampu diaktualisasikan di dunia pendidikan sebagai basis utama untuk diaktualisasikan di lingkungan lainnya. Terdapat dua fokus bahasan, yaitu aktualisasi bela negara pada pendidikan tinggi dan pendidikan anak-anak. Bahasan pendidikan tinggi mendahului pendidikan anak untuk memelihara konsistensi pembahasan yang sejak awal difokuskan pada pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan anak juga bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi fokus pembahasannya tidak sedalam dengan pendidikan tinggi. Bahasan pendidikan anak sebagai tambahan penguatan terhadap bahasan pendidikan tinggi. Dengan kata lain bahasan pendidikan anak diperlukan pada konteks ini untuk menunjukkan bahwa penanaman nilai-nilai bela negara yang terbaik sejatinya sejak pada usia anak-anak. Pendidikan anak sebagai terminal awal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penanaman nilai bela negara pada pendidikan tinggi sebagai terminal akhir.

Aktualisasi Bela Negara pada Pendidikan Tinggi
Berdasarkan konten bela negara berupa tata nilai yang terdiri atas lima nilai dasar bela negara dan model atau kerangka keyakinan, pikiran dan tindakan, maka aktualisasi bela negara berupa upaya bela negara di lingkungan pendidikan berimplikasi pada perlunya penataan pengintegrasian kembali bidang studi bela negara ke dalam kurikulum sistem pendidikan nasional. Signifikansi penataan tersebut dapat dicermati, misalnya, pada perlunya pemaknaan terhadap eksistensi kelima nilai dasar bela negara sebagai sebuah model atau kerangka keyakinan. Kelima nilai dasar bela negara merupakan satu kesatuan dalam sistem nilai. Hubungan antara satu nilai dengan nilai lainnya berada dalam satu kesisteman, yaitu sistem pembelaan negara-bangsa, sehingga setiap nilai merupakan sub sistem dari sistem pembelaan negara-bangsa.
Pemaknaan hubungan kelima nilai dasar bela negara tersebut dapat dikembangkan menurut taksonomi bloom (taxonomy bloom). Taksonomi bloom pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 oleh Bloom, et al (1956). Selanjutnya salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl melakukan revisi pada tahun 1994, dan dipublikasikan pada tahun 2001 sebagai kerangka konsep kemampuan berpikir (Forehand, 2005; Retno, 2014) Jadi, taksonomi bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, tingkat yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, Bloom menggolongkan atau mengklasifikasi tujuan pendidikan sebagai perilaku intelektual (intellectual behavior), yang dibagi menjadi 3 domain, yaitu: (1) domain kognitif, atau cipta, atau penalaran; (2) domain afektif, atau rasa, atau penghayatan; dan (3) domain psikomotor, atau karsa, atau pengamalan. Rincian masing-masing domain sebagai berikut:
Domain kognitifmenekankan perilaku intelektual, yang terdiri atas enam level dengan versi lama dan baru. Versi lama terdiri atas: (1) pengetahuan), (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis , (5) sintesis, dan (6) evaluasi. Sedangkan versi baru mencakup: (1) mengingat, (2) memahami, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) berkreasi. Domain afektif menekankan perilaku emosi, yang terdiri atas lima level, meliputi: (1) penerimaan), (2) responsif, (3) nilai yang dianut, (4) organisasi, dan (5) karakterisasi. Domain psikomotorik, menekankan perilaku keterampilan motorik atau kemampuan fisik, yang terdiri atas enam level, meliputi: (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) reaksi yang diarahkan, (4) reaksi natural, (5) reaksi yang kompleks, dan (6) adaptasi.

Gambar 5.1: Taksonomi Bloom-1 (TB-1), versi lama, penjelasan tiap level

Gambar 5.2: TB-2, versi baru, klasifikasi
​​​​​ level tinggi dan rendah

Gambar 5.3: TB-3, penjelasan tentang perubahan dari versi lama ke versi baru

​Gambar-gambar di atas hanya menjelaskan tingkatan domain kognitif, versi lama dan baru. Namun penggambaran kedua domain lainnya, afektif dan psikomotorik, pada prinsipnya mengikuti pola atau model domain kognitif, yaitu pola khierarkhi dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan paling tinggi secara piramida.
Bagaimana konsep taksonomi bloom yang demikian itu diaplikasikan pada konsep bela negara yang berisi lima nilai dasar? Berdasarkan pandangan sejumlah dosen pendidikan kewarganegaraterhadap bela negara sebagai nilaiyang dipaparkan pada bab 2, kelima nilai dasar bela negara tersebut tampaknya merefleksikan gabungan domain afektif dan domain psikomotorik. Hal ini dapat dicermati pada kata kunci tiap nilai, yaitu: (1) cinta tanah air; (2) sadar berbangsa dan bernegara; (3) setia pada pancasila sebagai ideologi negara; (4) rela berkorban untuk bangsa dan negara; dan (5) mempunyai kemampuan awal bela negara. Kata cinta, sadar, setia dan rela merupakan domain afektif, sedangkan kemampuanmerupakan domain psikomotorik. Pandangan sejumlah dosen pendidikan kewarganegaraterhadap bela negara sebagai nilai terkait dengan taksonomi bloom ini, dapat diartikan representasi dari pandangan ilmuwan secara umum.
Pertanyaannya, bagaimana pandangan dari kalangan militer? Apakah konsep lima nilai dasar bela negara berpijak kepada konsep taksonomi bloom? Jawabannya, boleh jadi ya, karena di lingkungan TNI AD misalnya, taksonomi bloom sudah diimplementasikan di lingkungan pendidikan, setidaknya sejak penulis mendapatkan pengetahuan tersebut di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI), pada tingkat 2, yaitu pada tahun 1973. Namun, implementasinya telah dimodifikasi ke dalam dua ranah, yaitu ranah pengetahuan dan ranah keterampilan. Pada ranah pengetahuan dibagi ke dalam empat tingkat yaitu: (1) mengetahui, (2) mengerti, (3) memahami dan (4) menguasai. Sejalan dengan ranah pengetahuan, maka ranah keterampilan juga dibagi atas empat tingkat yaitu: (1) dapat terbatas, (2) dapat, (3) mampu dan (4) mahir.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa terjadi perbedaan dalam implementasi antara kalangan ilmuwan dari sipil dengan kalangan militer, meski berangkat dari satu konsep taksonomi bloom yang sama? Jawabannya, karena ke duanya didasarkan pada perbedaan latar belakangkerangka berpikir. Konsep kerangka berpikir ilmuwan dibentuk untuk memiliki daya kritis, kreatifitas dan daya inovasi berdasarkan kerangka teoritik yang relevan. Proses penanaman nilai antara dosen dengan peserta didik dibangun atas two-way communication system atau sistem komunikasi dua arah. Outputnya pun tidak dipersoalkan apakah homegen atau heterogen. Sementara di lingkungan atau kalangan militer, penerapan taksonomi bloom, didasarkan pada konsep kerangka berpikir yang bersifat indoktrinasi, proses penanaman nilai lebih pada komunikasi satu arah atau top-down, dengan out putuniformalitas atau hegemonitas atau keseragamanyang berbasis pada ketaaatan atau kepatuhan, atau loyalitas.Jika ada yang berbeda pendapat dianggap tidak loyal, dan mendapat sanksi hukum, bahkan boleh jadi tersingkirkan dari komunitas.
Ulasan di atas tidak menyoal siapa yang salah dan benar, atau pihak yang satu lebih tepat daripada pihak lainnya. Keduanya benar dan tepat berdasarkan kerangka berpikir yang berbasis pada karateristik atau budaya organisasi masing-masing. Kalangan ilmuwan pada umumnya, memiliki basis organisasi perguruan tinggi. Sementara kalangan militer memiliki basis organisasi militer yang memiliki karakterisitik atau budaya militer. Dengan demikian, persoalan utamanya tidak pada konten maupun metoda penanaman nilai bela negara, tetapi terletak pada penetapan sasaran atau target kepada siapa program PKBN tersebut dituju. Proporsional kiranya jika sasaran Program PKBN Kemhan yang diawaki oleh personel-personel yang berlatar belakang organisasi militer ditujukan kepada anggota militer. Akan tetapi berhubung anggota militer telah mengalami pendidikan yang berisi penanaman nilai-nilai bela negara, maka Program PKBN tersebut selayaknya dikembalikan kepada ranah pendidikan sebagaimana pendirian awalnya pada tahun 1973. Di bawah Surat Keputusan (SK) bersama Mendikbud dengan Menhankam/Pangab, Nomor 022/U/1973, tanggal 8 Desember 1973 dinyatakan bahwa realisasi pembelaan negara melalui jalur pengajaran/ pendidikan khususnya pendidikan tinggi (Lemhannas, 1999:5).
Bagaimana dengan di Universitas Pertahanan (Unhan)? Unhan adalah organisasi perguruan tinggi, bukan organisasi militer. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) RI No 5 Tahun 2011 tentang Unhan menyelenggarakan pendidikan akademik dan vokasi di bidang pertahanan negaradan bela negara. Berarti, konsep kerangka berpikir yang menjadi acuan untuk penanaman nilai-nilai bela negara terhadap mahasiswa Unhan, tentu dapat dimaknai lebih dititikberatkan kepada mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi atau dari kalangan sipil. Oleh karena itu, keberadaan personel-personel militer di lingkungan Unhan, baik sebagai pejabat struktural maupun Dosen tidak lagi tepat jika menerapkan konsep kerangka berpikir yang bersifat indoktrinasi, top-down, dengan out put uniformalitas yang berbasis pada loyalitas. Makna loyalitas pun harus dimantapkan pemahamannya. Makna loyalitas yang azasi adalah loyal kepada bangsa dan negara, bukan kepada individu pejabat dalam suatu organisasi, tetapi kepada jabatan sebagai simbol yang merepresentasi negara pada organisasi tersebut.
Unhan sebagai melting pointantara mahasiswa dari kalangan sipil dan militer, sebagaimana ide awal pendiriannya, juga merupakan peluang emas untuk mengembangkan penanaman nilai-nilai bela negara berdasarkan paradigma bela negara dengan karakternya sendiri, yaitu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mengacu pada konsep original taksonomi bloom. Melakukan transfer nilai-nilai bela negara dengan “copy paste” Program PKBN Kemhan, tentu Unhan dapat dikonotasikan meninggalkan jati dirinya sebagai organisasi perguruan tinggi. Untuk itu, Unhan harus mampu mengembangkan transfer nilai-nilai bela negara melalui pengajaran yang berorientasi pada kekhasan program studi masing-masing. Diikuti pula dengan riset-riset atau penelitian melalui pemberdayaan pusat-pusat studi padasetiap program studi. Unhan juga harus mampu mengimplementasikan nilai bela negara melalui dharma pengabdian masyarakat, yang digelar atas prioritas kepentingan nasional, yaitu kawasan perbatasan, terpencil, terisolasi dan terbelakang. Singkatnya, Unhan seyogyanya tidak musti mengikuti pola sosialisasi bela negara sesuai Program PKBN Kemhan, tetapi Unhan harus menentukan langkah yang proporsional dan konsisten dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, menjadi jelas kiranya, mengapa timbul persepsi bahwa bela negara yang selama dua tahun terakhir ini digelar pemerintah melalui Program PKBN Kemhan adalah wajib atau semi wajib militer. Terutama datangnya dari kalangan sipil yang memiliki latar belakang kampus. Artinya persepsi itu menjadi wajar karena mereka yang berpersepsi demikian diasumsikan tidak memiliki kepahaman terhadap budaya militer. Adapun mereka yang bersikap pasif atau tidak memberikan reaksi atau respon, kemungkinannya ada dua, yaitu mereka telah memahami betul budaya militer, atau mereka apatis.

Aktualisasi Bela Negara pada Pendidikan Anak
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian terhadap perkembangan kognitif anak telah bergeser dari fokus terhadap masalah-masalah yang generik ke ranah yang lebih spesifik dalam ilmu-ilmu sosial. Sebagian besar penelitian yang telah dilaksanakan, ditekankan pada konsep atau asas-asas yang terkait dengan sejarah, geografi, atau cabang-cabang ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam teori perkembangan anak sebagai salah satu rujukan penelitian perkembangan kognitif anak, dinyatakan adanya keluasan pengetahuan aspek sosial yang dapat diperoleh oleh anak-anak pada usia 5 – 9 tahun. Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil wawancara tarhadap sejumlah anak siswa kelas menengah ke bawah dengan konten 9 topik pengetahuan sehari-hari, yang disebut juga sebagai cultural universal. 9 topik pengetahuan tersebut meliputi: makanan, pakaian, tempat tinggal, komunikasi, transportasi, hidup keluarga, pemerintah, uang, dan masa kanak-kanak. (Brophy & Alleman, 2006:vii).
Sejalan dengan perkembangan kognitif anak, para akhli menaruh perhatian besar terhadap teori perkembangan pemikiran anak, dengan memfokuskan pada kompetensi pemikiran anak melalui perbandingan dengan orang dewasa. Thornton (2002), Donaldson (1978), Tizard and Hughes (2002), Siegler (1998:22), dan Piaget dalam Robson (2006: 6) menyurat dan menyiratkan, bahwa secara kualitatif pada pemikiran anak-anak terjadi perubahan yang sangat dinamis. Dalam 30 tahun terakhir, banyak bukti yang menunjukkan perbedaan kemampuan berpikir antara anak-anak dan dewasa. Perbedaan tersebut lebih disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman daripada perubahan kualitatif. Karakteristik utama dari perbedaan ini adalah logika dan abstraksi. Sebagai contoh, pemikiran anak yang berusia 2 tahun secara kualitatif berbeda dari seorang anak yang berusia 10 tahun. Dalam situasi di mana anak-anak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relevan – apakah itu bermain catur, merawat ikan mas atau mengetahui tentang dinosaurus – mereka berperilaku lebih ahli dan menampilkan pemikiran yang lebih matang daripada banyak orang dewasa yang pemula di daerah yang sama. Artinya, secara kognitif, anak-anak tampil lebih kompeten daripada anak-anak lebih tua.
Pada penelitian lanjutannya, Piaget dalam Zastrow & Ashman (2010:118-119) menjelaskan bahwa tahap akhir dari perkembangan kognitif anak adalah pada usia sekitar 11 atau 12 tahun. Periode ini disebut juga sebagai “periode operasi formal” (the periode formal operation). Pada periode ini anak-anak memiliki kemampuan untuk menentukan banyak variabel yang dipertimbangkan secara kreatif dalam merumuskan hipotesis abstrak tentang bagaimana sesuatu dapat bekerja, mengapa hal-hal tersebut ada dengan cara mereka, serta mulai berpikir bagaimana hal-hal tersebut bisa terjadi. Pada periode ini juga mereka mulai menganalisis mengapa keadaan sesuatu tidak selalu seperti yang seharusnya.
Untuk menambah kemampuan berpikir anak, penetapan atau pemilihan metoda menjadi penting dalam melakukan transfer pengetahuan termasuk penanaman nilai. Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 16 tahun, ternyata metoda dialog merupakan metoda yang mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan intelektual anak dalam rangka pencapaian pendidikan mereka. Sebagai contoh, proses interaksi seperti pelaksanaan diskusi di kelas tentang bagaimana anak-anak mengembangkan diri sebagai pemikir, pemecah masalah, dan sebagai anggota yang proaktif dalam upaya kolektif atau team work, ikut diteliti. Selain itu, bagaimana guru berkontribusi dalam membangun kapasitas berpikir anak, serta bagaimana praktek atau belajar mengajar dikembangkan merupakan bagian penting dari obyek yang diteliti. Penelitian tentang penetapan metoda dialog tersebut, turut diperkaya oleh banyak penelitian lainnya yang relevan. Sebagai catatan tambahan penelitian ini tidak hanya menyoroti dari sisi akademik terkait dengan perkembangan kognitif anak, tetapi juga berimplikasi terhadap nilai manfaat pada sisi praktis terhadap guru dan orang tua anak. Mercer and Littleton (2007:1)
Perkembangan kognitif anak melalui serangkaian penelitian dari berbagai perspektif tersebut menarik untuk diangkat karena terkait langsung dengan pendidikan anak. Bahkan lebih menarik lagi karena salah satu obyek penelitian yang dikedepankan yaitu sejarah, sangat relevan dan kontekstual dengan nilai-nilai bela negara. Berdasarkan perbedaan kompetensi secara kognitif yang telah disimpulkan para peneliti dan pakar psiokolog anak di atas, menunjukkan bahwa penanaman nilai-nilai bela negara pada usia anak atau usia dini akan lebih efketif dibandingkan dengan penanaman nilai-nilai bela negara pada usia dewasa. Dengan demikian, pendidikan anak sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional niscaya untuk disetarakan secara proporsional dengan pendidikan tinggi, dan jugpendidikan kelas menengah, terutama oleh para perancang kurikulum dalam rangka mengaktualisasikan nilai-nilai bela negara, kini dan masa depan

Penutup
​Sebagai kesimpulan makalah tentang perlunya membangun ketahanan budaya nasional adalah sebagai berikut:
Pertama, ketahanan budaya merupakan subsistem dari sistem sosial budaya, dan sistem budaya nasional merupakan susistem dari sistem nilai Pancasila. Kedua, Sistem nilai Pancasila merupakan merupakan simbolik dan formalitas dari kristalisasi sistem nilai budaya, yang pada dasarnya meliputi seluruh aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara
Ketiga, lima masalah dasar kehidupan manusia yang dapat direfleksikan menjadi tujuh unsur kebudayaan merupakan instrumen dari sistem nilai budaya untuk menentukan tingkat ketahanan budaya nasional Indonesia
Keempat, lemahnya penghayatan nilai-nilai Pancasila sekaligus gambaran memudarnya nilai-nilai budaya nasional merupakan refleksi lemahnya ketahanan budaya nasional
​Rekomendasi: Bela Negara yang merupakan salah satu unsur penting dari unsur sistem pengetahuan dan kesejarahan dari ketujuh unsur kebudayan dapat dijadikan salah satu STRATEGI MEMBANGUN KETAHANAN BUDAYA NASIONAL.


Daftar Pustaka

Abidin, Yusuf Zainal, (2002), “Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia”, Bandung, CV. Pustaka Setia

Amin, Maswardi Muhammad, (2012), “Pendidikan Karakter Anak Bangsa”, Jakarta, Baduose Media

Elson, Robert Edward (2009), The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan, Jakarta, Serambi

Endraswara, Suwardi (2012), Filsafat Ilmu, Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metoda Ilmiah. Yogyakarta, CAPS

Giddens, Anthony, (2010), “Teori Strukturasi, Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Kaelan dan Zubaidi, Achmad (2010), Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Paradigma

Kaelan, (2010), Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Paradigma

Koentjaraningrat, (2009), “Pengantar Ilmu Antropologi”, Jakarta, Rineka Cipta

____________________, (2015), “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan”, Jakarta, Kompas Gramedia.

Kurniawan, Hendra, “Bung Karno dan Kebudayaan Nasional”, Solo, (Solopos 6 Juni, 2017),

Latif, Yudi, (2014), Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan, Jakarta, Mizan

Lubis, Akhyar Yusuf, (2014) Filsafat Ilmu, Klasik hingga Kontemporer, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Mercer Neil and Littleton, Karen (2007), Dialogue and the Development ofChildren’s Thinking a Sociocultural Approach, London And New York Routledge.

Pranowo, M. Bambang (2010), “Multidimensi Ketahanan Nasional”, Jakarta, alvabet

Rahardjo, Pamoe, (2001), BKR Cikal Bakal TNI, dari Tentara Gerilya menuju Tentara Modern, Jakarta, Sekretariat Pembina Jiwa BKR.

Ritzer, George (2014), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Alih Bahasa: Alimandan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.

Robson, Sue (2006), Developing Thinking and Understanding in Young Children, an Introduction for Student, London and New York, Routledge.

Sitompul, Hendrik Holomoan, 2017, “Harkitnas, WNI Bersatu Merawat Komitmen Kebangsaan, waspada.co.id/medan, 21 Mei, 2017; diunduh pada 10/8/2017, 14.00 WIB.

Tippe, Syarifudin (2016), Ilmu Pertahanan: Sejarah, Konsep, Teori, dan Implementasi, Jakarta, Salemba Humanika.

Winarno, (2012), Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Panduan Praktis Pembelajaran, Surakarta, Yuma Pustaka

____________(2015), Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi, Jakarta, PT Bumi Aksara

Zastrow, Charles H & Ashman, Karen K.Kirst (2010), Understanding Human Behavior and the Social Environment, United States, Brooks/Cole CENGAGE Learning
Dokumen

____,Undang-Undang Dasar RI, Tahun 1945, pasal 27 ayat (3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.Jakarta, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.

____,Undang-Undang Dasar RI, Tahun 1945, pasal 30 ayat (1) “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Jakarta, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.

____,Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002, tentang Pertahanan
Negara, pasal 9, ayat (1), (2), dan (3), Jakarta, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia

____,Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, pasal 4 ayat (2) RPJP Nasional

Peraturan Presiden Republik Indonesia, Nomor 97 Tahun 2015, tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019 (2015), Jakarta, Presiden Republik Indonesi

____,Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 97 Tahun 2015, tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019, Jakarta, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia

____,Buku Putih Pertahanan Indonesia (2014), Jakarta, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia

____,Ditjen Pothan (2016) Desain Induk Pembinaan Kesadaran Bela Negara (2016), Jakarta, Kementerian Pertahanan Negara Republik Indonesia

____,Lemhannas (1999), Kewiraan untuk Mahasiswa, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

____,Lemhannas (2008), Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

____,Ditjen Strategi Pertahanan (2007), Strategi Pertahanan Negara, Jakarta Departemen Pertahanan Republik Indonesia

Bagikan ya

Leave a Reply