IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Natuna jaman dahulu kala

Tercatat lebih dari 200 pulau kecil membentuk Kepulauan Natuna. Mereka tak selalu nampak dalam peta. Seolah letaknya terpencil, sehingga tak mudah mencapainya. Kesan itu mungkin berkebalikan dengan masa lalu.

Sejak dulu, Natuna dilintasi jalur pelayaran dan niaga karena berada di kawasan maritim Laut Cina Selatan. Ia menghubungkan negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur, terutama Tiongkok. Lokasinya di posisi persilangan jalur masuk ke perairan Malaka, Sumatra, dan Kalimantan. Karenanya Natuna sangat mungkin dijadikan “batu loncatan” dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain.

Demikian disebutkan Sonny C. Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam tulisannya, “Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan”, termuat di Kalpataru, Majalah Arkeologi Vol. 23.

Sayangnya, tak banyak sumber yang menyebut Natuna secara langsung. Sumber yang mungkin menyebut keberadaannya adalah “Catatan Shi Bi” dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan. Shi Bi adalah salah satu komandan armada Dinasti Yuan yang ditugaskan Khubilai Khan untuk menghukum Raja Kertanegara di Jawa.

Catatan itu merekam rute dari Tiongkok ke Jawa yang berbeda dari rute yang pernah dilalui pelaut Tiongkok era dinasti sebelumnya. Dalam Catatan Dinasti Sung misalnya, pelayaran dari Tiongkok mengikuti jalur pantai di Asia Daratan baru kemudian menyeberang ke pantai timur Sumatra.

Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia menjelaskan ketika itu bangsa Mongol ingin mencari rute yang paling singkat menuju Jawa. “Kepentingan mereka adalah mengirimkan angkatan perangnya,” katanya.

Namun, kata Nurni, rute itu bukannya mudah malah berisiko besar. Apalagi latar belakang orang-orang Mongol bukan bangsa pelaut, melainkan bangsa pemelihara kuda. “Berhasil tapi sulit sekali,” katanya.

Setelah melewati Champa, sebulan kemudian mereka tiba di Kepulauan Dong Timur dan Kepualauan Dong Barat. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, menduga dua tempat itu masing-masing merujuk pada Kepulauan Natuna dan Anamba.

Sementara itu, menurut Sonny sejauh penelusurannya nama tempat yang bisa dikaitkan dengan Natuna ada dalam sumber pelayaran Tiongkok, Shung Feng Shang Sun (Angin Baik untuk Pelayaran) yang berasal dari pertengahan abad ke-15. Di sana disebut Mao Shan atau Ma-an Shan, yang merujuk pada Natuna Besar atau Pulau Bunguran, terletak di pantai barat Kalimantan.

“Kata itu artinya pelana kuda. Kata ini bisa dihubungkan dengan bentuk denah pantai Pulau Natuna dari Pantai Klari utara sampai Pengadah atau Teluk Buton yang menyerupi pelana kuda,” tulis Sonny.

Kawasan itu dilewati rute pelayaran dari Tiongkok ke arah barat India dan Asia barat. Mulai pelayaran dari pelabuhan di Tiongkok, menyusuri pantai-pantai Tiongkok dan Hainan. Dari sana berlayar ke pantai Vietnam, kemudian terpecah jalur ke selatan.

“Sementara jalur utama terus menuju Pulau Tioman, ke Malaka, melewati Pulau Lima, dan setelah itu melewati Ma-an Shan (Natuna), selanjutnya lewat Pulau Mien-tan (Bintan),” tulis Sonny.

Situs Kuno di Natuna
Kabar baiknya, bukti-bukti arkeologis bisa lebih banyak menyumbang cerita. Survei dan ekskavasi tim Puslit Arkenas di Natuna pada 2012-2014 menemukan tak kurang dari 19 situs yang mengandung temuan arkeologis. Di pantai timur yang landai, keberadaan situs cukup padat. Ini mulai dari Ranai Kota, Teluk Baru, Sepempang, Serangas, Sekalong, Dua Semitan, Tanjung, Kelanga, Pengadah, dan Teluk Buton. Adapun di sebelah tenggara, yaitu di Desa Cemaga, Batu Bayan, Penarik, Pian Padang, dan Setengar.

“Hampir sebagian besar situs ditemukan tak jauh dari pesisir pantai. Letaknya dekat dengan muara sungai,” jelas Sonny. “Beberapa lokasi mengindikasikan situs-situs ini juga berfungsi sebagai pelabuhan.”

Situs-situs itu juga mengungkap sisa-sisa permukiman di Natuna. Tandanya adalah sebaran temuan keramik dan manik-manik pada permukaan tanahnya.
Tumbuhnya permukiman di sana diduga karena kelimpahan air tawar dan kekayaan sumber hutan dan perairannya. Hutan Natuna menghasilkan kayu dan gaharu, komoditas eksotis yang sampai sekarang masih dicari.

“Mungkin ini bagian dari tradisi lama yang dipandang ada kaitannya dengan tujuan atau persinggahan perniagaan itu,” ujar Sony. “Artinya data itu menunjukkan bahwa Natuna tidak hanya menjadi tempat pengimpor tetapi juga memiliki sumber setempat sebagai andalan atau pengekspor.”

Penggalian di situs Setapang, Sepempang, dan Sekalong, tak mendapat banyak temuan. Padahal sebelumnya temuan permukaan cukup padat.

Temuan yang paling sering ditemukan adalah keramik. Sebagian besar pecah kendati masih bisa diidentifikasi masa pembuatannya. Keberadaan keramik di hampir seluruh situs menandai bahwa tataniaga keramik di wilayah ini pada masanya sangat tinggi. Khususnya di Situs Setapang, ditemukan keramik mangkuk dengan celadon dari Dinasti Song-Yuan, sekira abad ke-13. Keramiknya ditemukan dekat wadah kubur dari kayu berbentuk perahu. Mungkin keramik ini adalah bekal kubur.

Dari penelitian ini juga diketahui adanya kemungkinan situs di bawah laut. Letaknya di Desa Pengadah. Dugaannya di sana ada sisa kapal karam. Dari muatan barang keramik di dalam kapal menunjukkan kalau itu adalah kapal dagang.

“Dua lokasi yang sementara ini diinformasikan penduduk yaitu di perairan Teluk Buton. Temuannya disimpan di Museum Sri Serindit,” kata Sonny.

Pelayaran yang Melibatkan Natuna
Naniek Harkantiningsih, ahli keramologi Puslit Arkenas dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat di Di Balik Peradaban Keramik Natuna menjelaskan bahwa keramik pada masa lalu menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatannya, sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok, abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing.

Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20.

“Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, yang terus bersinambung dari sekitar abad ke- 9 sampai ke-20,” jelas Naniek.

Dari banyaknya temuan itu, memperlihatkan kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan itu terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13.

“Ketika Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-8 sampai ke-10, partisipasi Natuna dalam perdagangan di Laut Cina Selatan nampaknya belum berlangsung intensif. Proporsi keramik Palembang pada masa ini lebih tinggi,” kata Sonny.

Puncaknya terjadi pada abad ke-13 sampai ke-14, dengan banyaknya ditemukan keramik bergaya Dinasti Yuan di Natuna. Setelahnya surut dan naik lagi pada abad ke-18-19 bersamaan dengan hadirnya kekuasaan kolonial di Nusantara.

“Tingginya intensitas keramik tampaknya berkorelasi dengan tingginya hubungan misi dagang yang dilakukan antara Tiongkok dengan pusat negeri di Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya,” ujar Sonny. “Pasca Sriwijaya partisipasi Natuna lebih tinggi.”

Sementara munculnya keramik dari Vietnam dan Thailand bersamaan dengan merosotnya pasokan keramik Tiongkok pada masa Dinasti Ming. Baru kembali meningkat ketika Dinasti Qing berkuasa di Tiongkok. Pada abad ini mulai bervariasi keramik dari Eropa dan Jepang.

Jelaslah bahwa sejak dulu Natuna sudah menjadi kawasan yang penting. Berkembangnya kerajaan berbasis maritim, termasuk Sriwijaya pada abad ke-7, berperan membuat pulau ini bergeliat.

Bagikan ya

Leave a Reply