KATA SAMBUTAN DALAM DPS – 4 PERTAHANAN NON MILITER
12 AGUSTUS 2017
Saudara Moderator dan para Pemakalah,
Hadirin dan hadirat yang saya muliakan.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Topik yang akan kita bahas hari ini termasuk topik baru dan penting dalam rangkaian Diskusi Panel Serial kita dalam tahun ini, yaitu tentang Pertahanan Non Militer. Dalam sesi ini akan kita dengarkan paparan dari Bp Komjen Pol. Putut Eko Bayuseno ( diwakili oleh Bp. Irjen Pol. Arkian Lubis ) dari Mabes Polri; Bp. Dr Siswo Pramono dari Kementerian Luar Negeri; dan dari Bp Mayjen Pur Soedarmo (diwakili oleh Brigjen TNI Didi Sudiana ) dari Kementerian Dalam Negeri.
Rujukan pokok dalam wacana kita hari ini tentu saja adalah Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta juncto Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Selama ini rasanya belum banyak kita bahas bagaimana format, organisasi, dan prosedur kerja yang dicantumkan dalam norma konstitusi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur ketiga lembaga negara ini.
Membahas keterkaitan antara norma konstitusi dengan undang-undang organik yang sudah ada akan semakin menarik jika kita ingat bahwa masih banyak undang-undang organik dalam bidang pertahanan yang belum selesai dibahas dan diundangkan, antara lain Rancangan Undang-undang Tentang Keamanan Negara, Rancangan Undang-undang Tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, atau Undang-undang tentang Komponen Cadangan.
Urgensi penyelesaian dukungan legislasi terhadap bidang pertahanan non militer ini semakin terasa sehubungan dengan kenyataan bahwa perang dalam dunia masa kini bukan hanya berwujud perang konvensional seperti yang terjadi di Irak, Syria, atau Afghanistan, tetapi juga perang non konvensional – yang tidak dirasakan sebagai perang – seperti yang terjadi di Sri Lanka atau di Angola, dimana kedaulatan dan wilayah suatu negara dapat dikuasai oleh negara lain dengan memberikan hutang yang sedemikian besarnya sehingga tidak mampu lagi dibayar oleh negara yang berhutang. Jika tidak hati-hati, Republik Indonesia bisa mengalami nasib yang sama.
Artinya keseluruhan wawasan dan doktrin kita tentang pertahanan, yang selama ini merujuk pada pengalaman perang konvensional dan operasi gerilya dan anti gerilya, harus kita tinjau kembali. Dalam perang masa kini, bukan hanya sasarannya lebih luas, tetapi juga strategi, sistem persenjataan, serta taktik dan teknik perangnya sudah jauh berkembang, sehingga tidak mudah dikenal bahwa suatu hal yang selama ini dianggap masalah kriminal biasa sesungguhnya sudah merupakan suatu ofensif perang modern yang sangat fatal.
Ambillah suatu contoh : dalam bulan-bulan terakhir kita dikejutkan oleh temuan Badan Narkotika Nasional ( BNN ) tentang adanya penyelundupan ratusan ton ( sic ! ) narkoba yang dimasukkan dari sebuah negara asing. Tentu tidak mudah kita menerima hal itu sebagai tindakan kriminal biasa, oleh karena penyelundupan tersebut berkelanjutan dan terjadi di berbagai tempat. Jika kita bisa belajar dari sejarah, bukan mustahil penyelundupan tersebut merupakan bentuk baru dari Perang Candu yang pernah terjadi China dalam abad-abad yang lalu, yang bertujuan untuk meruntuhkan semangat perlawanan bangsa China.
Jumlah narkoba yang demikian besar itu dipasarkan secara terencana dan terorganisasi baik, dengan sasaran bukan hanya generasi muda harapan bangsa, tetapi juga aparatur negara di segala tingkat. Jika hal ini tidak dicegah dan ditindak tegas, apalagi jika aparatur penegak hukum kita terlibat dalam jejaring narkoba ini, dapat diperkirakan bahwa dalam waktu satu atau dua dasawarsa ke depan, Republik ini akan rontok dari dalam.
Jejaring mafia narkoba tersebut kelihatannya juga terlibat dengan penyebaran pornografi, yang disebarkan melalui berbagai media, termasuk melalui handphone android yang sudah demikian banyak digunakan oleh masyarakat kita. Perlu diperhatikan secara khusus, bahwa pornografi yang sudah melanda generasi muda bersifat adiktif – mirip dengan narkoba – dan akan merusak otaknya secara permanen.
Ada sebuah contoh lain: dengan pertimbangan membuka diri kepada luar, akhir-akhir ini kita mencanangkan bebas visa kepada warganegara dari demikian banyak negara. Kebijakan seperti ini kelihatannya belum terlalu lazim dianut oleh negara-negara lainnya, dengan pertimbangan besarnya risiko dari perspektif pertahanan dan keamanan. Dalam hubungan ini sungguh menarik perhatian pengumuman dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia bahwa kita belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengawasi masuk dan keluarnya orang asing.
Hubungkanlah keadaan ini dengan perjanjian people to people exchange dalam lima tahun ini dan turnkey projects yang kita adakan dengan sebuah negara asing. Saya percaya bahwa kita mengambil risiko yang terlalu besar dalam masalah yang kelihatannya hanya bernuansa ekonomi belaka.
Dalam bidang tugas Kementerian Dalam Negeri, kelihatannya ada herbagai kebijakan yang perlu kita renungkan kembali, seperti penyusunan Daftar Pemilih Sementara ( DPS) dan Daftar Pemilih Tetap ( DPT ) yang akan mempunyai implikasi yang luas.
Dengan kata lain, penanganan masalah pertahanan non militer ini bergantung banyak bukan saja pada kemampuan professional dari aparatur negara kita, tetapi juga pada kesadarannya terhadap masalah kelangsungan hidup Bangsa dan Negara dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman baru dalam apa yang dinamakan War by Proxy atau Perang Generasi Keempat yang sudah banyak dibahas dalam waktu akhir-akhir ini.
Kita beruntung sudah mempunyai Dewan Ketahanan Nasional ( Wantannas ) yang menyadari luasnya spectrum ancaman yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara kita, dan sudah merumuskan sebuah gagasan awal tentang Keamanan Nasional yang kita butuhkan, yang mencakup Keamanan Negara, Keamanan Publik, dan Keamanan Warganegara. Sudah barang tentu gagasan awal tentang Keamanan Nasional tersebut perlu diberi dasar hukum yang kuat, yang dengan sendirinya memerlukan penyesuaian dengan rangkaian undang-undang yang ada, khususnya dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pertahanan Negara, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, dan Undang-undang Nomor 34 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Seperti kita ketahui, berbagai undang-undang tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan, yang pada saat ini belum seluruhnya tersedia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara menyeluruh Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta ( Sishankamrata ) bukan saja belum operasional, tetapi juga belum lengkap perangkat lunak perundang-undangannya. Ketidaksiapan ini jelas berisiko tinggi, seperti diingatkan oleh Sun Tzu, bahwa “ Perang adalah persoalan besar Negara, terkat hidup matinya pasukan dan rakyat, serta bangkit dan jatuhnya suatu negara”.
Masalah-masalah tersebut di atas, serta masalah-masalah lainnya yang terkait, akan kita bahas sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dalam berbagai seri FGD dan DPS dalam tahun 2017 dan 2018 yang akan datang sedemikian rupa sehingga kita bisa mengajukan saran kebijakan dan saran dukungan legislasi yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup Bangsa yang kita cintai ini.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 12 Agustus 2017.
Pontjo Sutowo.