Oleh: KIKI SYAHNAKRI **
Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki kemajemukan yang amat lebar multidimensional dalam berbagai aspek seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. Membina dan mempertahankan kesatuan bangsa dalam situasi kemajemukan seperti itu tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi bila kita memperhitungkan aspek geoekonomi-geopolitik-geostrategi dalam kekinian, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa: tantangan, gangguan, hambatan, bahkan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia yang berpotensi dapat menggiring pada perpecahan bangsa-negara, kian lama kian meningkat.
Dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan kesatuan bangsa dan eksistensi NKRI, kita perlu berkaca pada kasus keruntuhan Union of Soviet Socialist Republics (USSR) dan Yugoslavia serta kasus lepasnya Timor-Timur. Sama halnya USSR, secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan secara demografis memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Namun dalam hal pengelolaannya, tingkat kesulitan kita jauh lebih tinggi dari USSR, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kemajemukan yang jauh lebih luas. Maka kita harus lebih berhati-hati.
Bersyukur kita telah memiliki Pancasila yang digali Bung Karno dkk dari akar budaya bangsa sendiri yang sudah lama berkembang bahkan sudah mendarah-daging dalam masyarakat di Nusantara seperti; kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya. Nilai luhur budaya bangsa tersebut kemudian dipadukan dengan ideologi serta filosofi yang telah berkembang secara global. Oleh karenanya, rumusan Pancasila dapat dikatakan sebagai buah perkawinan cantik antara lokalisme dan universalisme, juga antara idealisme dan realisme sehingga membumi, sangat cocok untuk bangsa Indonesia karena berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis, visioner dan terbaik dalam upaya “mempersatukan bangsa serta mencapai tujuan nasional”.
Pancasila adalah “nilai” yang seharusnya menjadi kepribadian bangsa, bukan sekedar pengetahuan yang dapat didalami lewat proses pengajaran. Nilai Panasila harus ditanamkan lewat pembangunan karakter (character building) secara berkesinambungan. Namun sayangnya, sepanjang sejarah kemerdekaan, kita belum pernah melaksanakan pembangunan karakter tersebut secara memadai. Dalam era reformasi Pancasila malah dialienasikan, kalaupun masih disebut-sebut, namun kenyataannya hanya sekedar slogan/simbul belaka. Perannya telah digantikan oleh individualisme-liberalisme, sehingga implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa kian lama kian redup.
Fenomena redupnya Pancasila berikut nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, serta apa yang telah terjadi di USSR, Yugoslavia dan Timtim tersebut perlu kita jadikan bahan pembelajaran, agar ke depan peristiwa serupa tidak terjadi/terulang di Indonesia.
_________________________________________________________________
* Makalah Diskusi Panel Serial FKPPI, disampaikan di Jakarta ; 02/09/2017.
** Letnan Jenderal TNI (Purn), Ketua Umum PPAD.
Keruntuhan USSR
USSR adalah salah satu negara adikuasa yang wilayahnya terluas di dunia, memiliki kekuatan militer dan kemampuan teknologi yang bersaing dengan Amerika. Kehidupan rakyatnya ditandai dengan kehidupan yang keras, lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, hak individual hampir tidak ada, kehidupan masyarakatnya bersifat komunal dan semua diatur negara dengan pengawasan ketat dari Partai Komunis, seluruh kehidupan diabdikan untuk kepentingan revolusi.
Tanda-tanda runtuhnya Uni Soviet sebenarnya sudah terlihat sejak pemerintahan Presiden Khrushcev. Khrushcev memberikan kebebasan yang terbatas baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya kepada rakyatnya. Hal ini mendorong rakyat Uni Soviet untuk mengubah kehidupannya dalam segala bidang yang sebelumnya dibelenggu kekuasaan komunis yang ketat.
Beberapa sebab runtuhnya Uni Soviet antara lain sebagai berikut:
1. Sifat Totaliter
USSR merupakan negara totaliter proletariat, pemerintahannya bersifat diktator, sehingga rakyat hidup dalam suasana ketakutan. Akibatnya, muncul keinginan sebagian masyarakat untuk melakukan perlawanan, pada sisi lain muncul pula kaum oportunis untuk menyenangkan penguasa, sehingga menghambat kemajuan bangsa. Dalam menjalankan pemerintahan di USSR, peran KGB (dinas rahasia) sangat besar, kekuasaannya sangsat besar dan dominan, jaringannya luas dalam lingkup global.
2. Kemunduran Ekonomi
Perekonomian USSR menganut sistem sosialisme dan dikelola secara sentralistik. Segalanya mutlak diputuskan oleh pemerintah pusat, dari produksi, harga, sampai distribusi barang. Akibatnya, perekonomian sulit berkembang bahkan mengalami stagnasi.
3. Bubarnya Pakta Warsawa
Sejak April 1991 Pakta Warsawa dibubarkan, maka secara militer USSR tidak lagi memiliki kekuatan koalisi. Hal ini dimanfaatkan oleh Barat untuk mempengaruhi negara-negara ex Pakta Warsawa untuk berpaling pada NATO, serta negara-negara bagian untuk memisahkan diri.
4. Doktrin Komunis
Tiap-tiap orang menyumbangkan tenaganya kepada negara sesuai kemampuannya, dan tiap-tiap orang menerima dari negara sesuai kebutuhannya, demikian doktrin komunis. Secara kodrati hal ini tidak sesuai dengan sifat manusia, yang masing-masing ingin diakui eksistensinya, ingin memiliki sesuatu, ingin bebas mengekspresikan kemampuannya, ingin berbuat dan hasilnya digunakan sendiri secara bebas.
5. Banyaknya Etnis
Uni Soviet terdiri atas 15 republik dengan lebih dari 140 etnis. Kekuasaan pemerintah pusat yang melemah karena situasinya berubah, menyebabkan negara-negara kecil dengan etnis yang bermacam-macam berusaha melepaskan diri.
6. Teknologi Informasi
Berkembangnya teknologi elektronika berupa radio dan televisi menyebabkan rakyat Uni Soviet sadar, merasa ketinggalan dengan melihat kemajuan di luar negeri. Maka tak terhindarkan keinginan rakyat untuk memperoleh hak-hak sebagaimana rakyat di negara-negara non komunis.
7. Lahirnya Generasi Baru
Generasi baru menganggap pemikiran dan tindakan generasi tua sudah ketinggalan zaman. Mereka menginginkan perubahan dan pembaruan. Totaliter, komunisme, dan sentralisasi pemerintahan dirasakan tidak lagi sesuai dengan hakikat kehidupan manusia. Tokoh-tokoh pembaruannya yaitu, Mikhail Gorbachev dan Boris Yeltsin.
8. Campur tangan Barat (Amerika/Masyarakat Eropa). Dengan menggelar operasi intelejen yang canggih, dan menggunakan soft power sebagai sistem senjatanya, telah mempercepat keruntuhan USSR dengan tanpa letusan satu butir peluru pun.
Keruntuhan Yugoslavia
Latar belakang keruntuhan Yugoslavia agak berbeda dengan USSR. Keruntuhan Yugoslavia antara lain disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bangsa yang multi etnis dengan faktor historis, budaya dan agama yang beragam.
2. Sistem politik satu partai (Partai Komunis) yang seperti pada umumnya terjebak dalam iklim kehidupan bangsa yang totaliter.
3. Sistem pemerintahan berbentuk negara federal. Dalam kondisi kemajemukan yang lumayan lebar, maka sistem federal menjadi rentan perpecahan.
4. Setelah Yoseph Broz Tito meninggal, tidak ada pemimpin kuat yang bisa menggantikannya, dikarenakan tidak berjalannya sistem kaderisasi.
5. Pecah perang saudara yang kemudian meluas dan berkepanjangan, menjadi pemicu perpecahan.
6. Pengaruh Amerika dan Masyarakat Eropa.
Lepasnya Timor Timur
Terdapat banyak penyebab lepasnya Timtim dari NKRI, antara lain sebagai berikut: Pertama, terdapat dua macam konflik tradisional yang bekembang sejak jaman kolonial, yaitu: konflik antara masyarakat “Loro Sae” atau masyarakat yang berasal dari Timor Portugis Bagian timur dengan masyarakat “Loro Monu” yang berasal dari Timor Portugis Bagian barat, serta konflik antara masyarakat “mistisu” atau kaum Indo Portugis dengan masyarakat asli Timor. Karena dalam masyarakat Timtim fitnah dan adu-domba itu sebagai hal yang biasa, maka kedua konflik itu pun sangat sulit diselesaikan. Kedua, perang saudara antara UDT (Uniao Democratica de Timorense) dengan Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente), akibat kebijakan dekolonisasi Pemerintah Portugal. Konflik tradisional yang cukup kuat mengakar, serta perang saudara yang menimbulkan korban besar hingga menambah lebar spektrum konflik, menjadi rintangan besar dalam pembinaan masyarakat pada era integrasi. Ketiga, memasuki era integrasi, terdapat beberapa kekeliruan langkah dalam pembangunan daerah maupun dalam pelaksanaan operasi militer sebagai berikut:
a. Kurang menghormati keberagaman, memaksakan keseragaman. Pada era kolonial wilayah Timor Portugis dikendalikan secara ketat oleh tiga lembaga pemegang otoritas, yakni: pemerintahan kolonial, gereja, dan struktur adat. Struktur dan sistem adat telah eksis jauh sebelum kedatangan kolonial Portugis dan memiliki pengaruh sangat kuat terhadap masyarakat. Karenanya Portugal memanfaatkannya sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan kolonial. Gereja Katholik berstatus sebagai agama negara sehingga memiliki kedudukan dan pengaruh kuat baik terhadap masyarakat maupun pemerintah kolonial. Gereja Katholik memainkan peran sebagai parlemen, karena selama masa kolonial tidak terdapat parlemen. Dalam proses dekolonisasi, orientasi politik Gereja Katholik cenderung berfihak pada UDT yang haluan politiknya merdeka dengan berinduk kepada Portugal. Sedangkan lembaga adat terbagi, dan sesungguhnya hanya sebagian kecil yang pro integrasi.
Dengan peta politik pra integrasi seperti itu, kemudian pada awal integasi kita menerapkan sistem pemerintahan desa sesuai UU Pemerintahan Desa. Akibatnya, struktur dan sistem adat yang sebenarnya merupakan kearifan lokal pun menjadi punah. Pengaruh Gereja Katholik pun pasti tergerus dan menjadi kecil karena penerapan sistem pemerintahan daerah yang memang harus dilakukan. Maka timbul resistensi dari para tokoh adat dan gereja yang tentu diikuti oleh masyarakat luas. Akibatnya, komunikasi pemerintah terhadap masyarakat terhambat dan tidak efektif, rakyat tidak terpegang dengan baik, program kerja pemerintah pun sukar dijalankan. Keadaan ini berdampak pula terhadap pelaksanaan operasi militer TNI di Timor Timur, khususnya dalam pembinaan dan operasi teritorial.
b. Tidak Terpadu. Dalam operasi militer, terutama ketika menghadapi strategi gerilya sebagaimana dibangun oleh Fretilin/Falintil di Timtim, sesungguhnya sangat diperlukan keterpaduan, tidak hanya dalam aspek militer — antara operasi intelijen, operasi tempur, operasi teritorial — melainkan juga keterpaduan dengan operasi penegakan hukum dan operasi pemerintahan sipil. Namun pada prakteknya, semua aspek pemerintahan di Timtim berjalan sendiri-sendiri.
c. Perilaku Aparat Pendatang dan Korupsi. Tidak sedikit para pendatang terutama aparat pemerintah, TNI-Polri yang bersikap arogan, menganggap rendah warga setempat, dan bersikap seperti penakluk. Selain itu, korupsi pun berkembang luas dalam penyelenggaraan pembangunan di Timtim.
d. Terpancing Pelanggaran HAM. Tidak bisa dibantah bahwa selama masa integrasi dengan Indonesia, telah terjadi kasus-kasus kekerasan yang umumnya dilakukan oleh “oknum” TNI-Polri atau ABRI pada saat itu. Puncaknya adalah peristiwa Santa Cruz pada 12 November 1991. Kita tidak sadar bahwa sesungguhnya terpancing/terjebak dalam perangkap pelanggaran HAM yang sengaja dibuat oleh kelompok pro kemerdekaan dengan bantuan NGO dan pemerintah beberapa Negara Barat. Namun, dalam pemberitaan media apalagi media asing, biasanya selalu ada mark up, baik dalam jumlah korban maupun kualitas kejadiannya. Hal ini menjadi bagian dari manuver politik atau bahkan operasi intelijen asing dengan tujuan mendiskreditkan ABRI/Pemerintah Indonesia. Tentu sangat merugikan kita dalam diplomasi maupun pembinaan masyarakat.
e. Perspektif Operasi Militer. Salah satu persoalan utama dalam operasi-operasi TNI di Timtim adalah tidak cocoknya doktrin yang dianut (pada level petunjuk lapangan), khususnya di lingkungan Angkatan Darat. Pada tingkat taktis, sejak awal terbentuknya TNI, doktrin militer kita seratus persen mengadopsi doktrin Pentagon/AS. Padahal Pentagon dalam mengembangkan daya tempurnya (daya tempur secara fisik terdiri dari daya tembak dan daya gerak) berorientasi pada keunggulan daya tembak. Sebagai contoh, ketika merebut Kuwait dari tangan Saddam Hussein (Irak), AS mengerahkan berbagai pesawat tempur untuk membombardir dan meluluh-lantakkan kekuatan Saddam. Setelah itu baru digerakkan kekuatan daratnya memasuki jantung Kuwait.
Secara mendasar doktrin Pentagon ini tidak cocok diterapkan di lingkungan TNI, karena selain kebijakan pertahanan kita berorientasi ke dalam, juga kita tidak memiliki sistem persenjataan yang kuat dan berteknologi modern. Dengan demikian seharusnya dokrin operasi TNI berorientasi pada keunggulan daya gerak, sedangkan daya tembak harus diposisikan sebagai unsur bantuan. Contoh nyata dari ketidak sesuaian doktrin ini adalah pada saat melaksanakan operasi lintas udara untuk merebut Dilli pada 7 Desember 1975. Pasukan TNI langsung diterjunkan di sasaran dengan dukungan tembakan pendahuluan yang sangat minim. Tembakan pendahuluan dari udara dan laut yang dilakukan hanya satu jam sebelum “Jam P” (saat dimulainya penerjunan) – sesuai dengan doktrin Operasi Linud – sangat jauh dari memadai, sehingga tidak mampu mendisorganisasi apalagi melumpuhkan musuh. Malah sebaliknya, tembakan pendahuluan itu justru membuat musuh siaga. Akibatnya, para prajurit TNI yang sedang melayang dan bergelayut di parasutnya menjadi target empuk Pasukan Fretilin.
Selain itu, sebagian besar operasi militer yang dilaksanakan di Timtim adalah “Operasi Lawan Gerilya”, yang pada prinsipnya merupakan operasi merebut hati dan pikiran rakyat. Medan pertempurannya adalah hati dan pikiran rakyat. Dalam konteks ini kita telah keliru dalam menentukan tolok ukur keberhasilan satuan. Standar keberhasilan saat itu terlalu berorientasi pada dimensi fisik serta kuantitas: berapa senjata yang direbut, berapa musuh yang dapat ditangkap, dilumpuhkan. Guna mengejar angka ini, seringkali faktor sikap territorial seperti bersikap ramah terhadap rakyat dan menghormati adat istiadat mereka, menjadi terabaikan atau terlupakan. Didorong oleh hasrat tinggi untuk memperoleh senjata atau menembak musuh, dan pada sisi lain minimnya data intelijen, maka kerap terjadi kasus ‘salah tembak’. Misalnya, dalam suatu penyergapan atau pertempuran perjumpaan, yang diduga pasukan Fretilin ternyata rakyat biasa. Jatuhnya korban di kalangan rakyat, selain melanggar hukum humaniter dan melukai hati rakyat, secara perlahan tapi pasti akan menciptakan musuh baru bagi TNI. Kerabat, teman, dan rakyat sekampungnya pasti akan marah dan bangkit melawan. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam operasi militer di Timtim.
f. Campur tangan Barat. Lewat cara yang mirip dengan yang terjadi atas USSR terjadi pula di Timtim. Ketika Xanana mengalihkan titik berat perjuangannya dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik mulai Tahun 1985, mereka mendapatkan banyak dukungan dari Intelejen Barat, sehingga kita seringkali kewalahan menghadapi demonstrasi massa. Kecurangan dalam jajag pendapat pun nyata-nyata terjadi, tanpa pemerintah kita berdaya mengatasinya, pada ujungnya kita kalah dalam jajag pendapat dengan angka telak.
Kondisi Indonesia
Ditinjau dari aspek geografis, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: Pertama, sebagai negara kepulauan (terbesar di dunia) dengan tujuh belas ribu lebih pulau berikut bentangan garis pantai yang panjangnya ratusan ribu mil. Kedua, terletak pada “posisi silang” yang amat strategis, antara dua benua dan dua samudera. Ketiga, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang amat melimpah. Konsekuensi dari ciri letak strategis dan kekayaan SDA tadi adalah beredarnya berbagai kepentingan asing di Indonesia. Pergesekan antar berbagai kepentingan asing, serta pergesekan dengan kepentingan nasional, dapat melahirkan pelbagai macam konflik dan ancaman bagi Indonesia.
Secara demografis, bangsa ini selain jumlah penduduknya besar (nomor empat terbesar di dunia), juga memiliki kebhinnekaan yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, sosial, ekonomi dan lain-lain. Ciri demografis lainnya adalah penyebaran peduduk yang belum merata serta kesenjangan yang lebar dalam bidang ekonomi maupun pendidikan. Dalam ciri demografis ini, selain tersimpan berbagai kekayaan budaya bangsa, juga sekaligus terkandung berbagai potensi konflik dan ancaman yang besar pula.
Secara kultural, Bangsa Indonesia berbasiskan “kolektifisme” (bukan individualisme), serta memiliki keunggulan budaya yang telah tumbuh berabad-abad, seperti: gotong-royong, kekeluargaan, kebiasaan bermusyawarah, tolerasi, dll. Namun juga memiliki kelemahan sebagaimana diungkapkan oleh sosiolog-antropolog Prof. Dr. Koentjara Ningrat, yaitu sikap: “Feodal, minder atau rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari kambing hitam”. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sikap feodal adalah sikap yang memandang status sosial sebagai tujuan hidup, sehingga melahirkan libido kekuasaan serta sikap berburu kekuasaan yang berlebihan dan meluas. Skap ini melanda para politisi, juga para pengusaha, artis, cendekiawan, sampai tokoh agama. Dihadapkan pada sistem demokrasi liberal yang bercirikan pertarungan bebas (free fight) dan langsung, serta sistem otonomi daerah sebagai persyaratan demokrasi liberal. Pada sisi lain tingkat kedewasaan politisi kita juga pada umumnya masih lemah, maka kelemahan kultural tadi kerap menimbulkan konflik politik yang meluas, dari pusat sampai ke daerah.
Dengan demikian, secara natural/qodrati dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada satu aspek pun (geografis, demografis, sosial, budaya) yang tidak mengandung potensi konflik sekaligus ancaman. Apabila sistem dan praktek pemerintahan negara kita keliru atau tidak sesuai dengan realitas lingkungan strategis yang dihadapi, niscaya secara internal bangsa ini akan selalu dibayangi ancaman perpecahan, dan secara eksternal negara ini hanya akan menjadi mainan para kapitalis dari negara kuat/maju.
Sesungguhnya kondisi Keindonesiaan di atas sudah diantisipasi oleh para founding fathers, sehingga dalam menjemput kemerdekaan lahirlah kesepakatan-kesepakatan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa-bernegara yaitu: NKRI, Negara Bangsa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, serta kemudian Wawasan Nusantara.
Berangkat dari kondisi Keindonesiaan (geografis, demografis dan kultural), serta kesepakatan bangsa di atas, maka dalam rangka menuju pada cita-cita kemerdekaan: “Menjadi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, sebagaimana diamanatkan dalam Alinea-II Pembukaan UUD 1945, jalannya tiada lain kecuali harus mewujudkan “Integrasi internal” dan melaksanakan “Adaptasi external”. Dua kegiatan ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) Akbar, sekaligus PR induk dari Pembangunan Nasional/Pembangunan Semesta yang mutlak harus kita jalankan.
Ancaman
Kemajemukan Bangsa Indonesia dengan spektrum yang sangat lebar-multidimensional, selain menjadi kekayaan dan keunggulan bangsa, juga sekaligus menjadi sumber ancaman “dari dalam”. Kekeliruan mengelola kemajemukan ini dapat menimbulkan malapetaka, dan dapat menyeret Bangsa Indonesia ke dalam perpecahan. Sumber ancaman lainnya yang datang dari dalam adalah “kelemahan kultural” bangsa Indonesia sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Koentjara Ningrat diatas, karena selain potensial menimbulkan konflik politik, juga potensial membesarkan korupsi.
Sedangkan sumber ancaman “dari luar” yang perlu diwaspadai adalah: Pertama, “Hegemoni Global” terutama yang datang dari negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat, serta Republik Rakyat China (RRC). Kedua, “Ideologi Transnasional” yang bertentangan dengan Pancasila, seperti: Liberalisme, Komunisme, kelompok Islam Radikal, Evangelisme Amerika, dsb. Dalam kekinian kelompok Islam Radikal yang aktif bergerak di Indonesia adalah: Islamic State yang merupakan metamorphosis dari ISIS, serta Hisbuttahrir Indonesia (HTI). Kedua kelompok ini bertujuan mendirikan kekhalifahan di Nusantara, yang tentu bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Ketiga, “kemajuan Ilmupengetahuan dan Teknologi”. Kalau kita tidak bisa mengikutinya secara intens dan mampu menerapkannya secara efektif, maka kemajuan teknologi tersebut akan digunakan negara-negara maju untuk mempermainkan kita sehingga Indonesia akan tetap terbelakang.
Wujud ancaman nyata yang datang dari sumber ancaman dari dalam maupun luar negeri di atas dapat berupa: Lunturnya Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa; menipisnya toleransi; konflik SARA; serangan cyber; terorisme; separatisme; pemberontakan bersenjata; serta infasi militer asing (walaupun kini kemungkinannya sangat kecil).
Tanpa ‘menihilkan’ adanya ancaman militer asing, perlu diwaspadai bahwa kini hegemoni asing terhadap negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dilakukan lewat model “Perang Generasi-IV”. Suatu cara menaklukan atau menguasai negara lain dengan menggunakan“soft power” sebagai senjata utamanya. Caranya dengan membuat negara sasaran mengalami kehancuran dari dalam atau kehancuran diri sendiri (Self-Destruction). Bentuknya antara lain berupa: “Cultural Warfare, Economic and Financial Warfare, Information Warfare” dsb. Kekuatan senjata digantikan oleh “informasi” untuk membangun persepsi (war of perception), dan “kekuatan modal/finansial” untuk penguasaan ekonomi. Perusahaan Multi-Nasional (MNC) dan LSM (NGO) adalah “tentara baru” bagi negara-negara hegemonis. Kini “Tujuan Perang” telah bergeser dari penguasaan “Teritori” menjadi penguasaan “Sumber Daya”, atau dengan kata lain bertujuan “Ekonomi”. Metoda perang kontemporer ini biasanya dilakukan lewat dua cara: Pertama, pembusukan politik (political decay) yaitu menumbuhkan atau memelihara moral busuk para politisi, kemudian menyuguhkan-memaksakan sistem demokrasi liberal yang berciri persaingan bebas. Akibat yang muncul biasanya bukan iklim demokrasi yang sehat, melainkan instabilitas, konflik dan anarkhisme. Kedua, pembajakan negara (state capture) yaitu upaya dengan segala cara untuk mengubah peraturan/perundang-undangan, sampai ke konstitusi sedemikian rupa sehingga dapat memberi jalan, bahkan karpet merah bagi kepentingan yang diusungnya. Metoda seperti ini biasanya dilakukan dengan pentahapan yang diawali dengan war of perception untuk mengubah cara pandang bangsa yang menjadi sasarannya, terutama para elite bangsa tersebut. Proses ini acapkali dilakukan dengan menggunakan kepanjangan tangan (War by Proxy) yang terdiri dari LSM atau para elite politik yang berhasil dipengaruhinya. Tahap berikutnya adalah Peperangan Legal (Legal Warfare) untuk mengubah “Sistem Politik” lewat perubahan peraturan/perundang-undangan bahkan “konstitusi serta nilai-nilai” yang dianut negara sasaran, sedemikian rupa sehingga memberi kemudahan terhadap langkah berikutnya, yaitu exploitasi politik dan ekonomi. Tahap selanjutnya terjadilah serbuan budaya untuk merubah nilai-nilai budaya lokal serta serbuan modal/finansial yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa (MNC) dalam rangka penguasaan ekonomi. Dengan model perang seperti ini, suatu negara akan takluk, dikuasai atau mengalami keruntuhan tanpa letusan satu butir peluru pun. Keruntuhan Uni Soviet adalah salah satu contoh nyata dari praktek Perang Generasi-IV.
Rekomendasi Solutif
Berkaca pada keruntuhan USSR dan Yugoslavia, pengalaman lepasnya Timtim, serta mencermati kondisi Keindonesiaan termasuk didalamnya ancaman aktual yang berasal dari hegemoni Barat dan RRC, maupun berkembangnya ideolog-ideologi transnasional. Bangsa Indonesia harus yakin bahwa hanya Pancasila sebagai ideologi yang cocok bagi kita. Individualisme-liberalisme-kapitalisme, komunisme serta khilafahisme, bukan saja tidak sesuai dengan akar budaya bangsa, akan tetapi secara fundamental tidak cocok dengan hakikat/qodrati kehidupan umat manusia. Kedepan, agar Bangsa Indonesia mampu survive, maka mutlak kita membutuhkan “Ketahanan Nasional”(Tan Nas) yang didasarkan pada Pancasila dan nilai-nilai luhur Keindonesiaan – makalah ini tidak membahas Ketahanan Nasional, dengan asumsi akan dibahas oleh pemakalah lain, Letjen TNI Agus Wijoyo.
Untuk mewujudkan Tan Nas, diperlukan kehadiran: warga negara (WN) yang baik, sistem kenegaraan yang tepat, serta penyelenggaraan pemerintahan negara yang berkualitas. Dalam hal ini kita patut bersyukur dan berbangga, karena para founding fathers/pendiri negara dengan cerdas, arif, bijak, serta visi yang kuat dan jauh kedepan, telah melahirkan “Pancasila” yang berfungsi sebagai “Weltanschauung” atau pandangan hidup bangsa, sebagai penuntun menuju terwujudnya WN Indonesia yang baik, yang ber-Pancasila. Fungsi lain dari Pancasila adalah sebagai “Dasar Negara” yang seharusnya menjiwai UUD dalam pengaturan sistem kenegaraan. Apabila kita telah mewujudkan WN yang baik serta memiliki UUD yang dijiwai Pancasila, maka tinggal bagaimana menggulirkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang konsisten terhadap Pancasila sehingga berkualitas. Menuju ke arah itu tentu tidak mudah, niscaya kita harus menempuh jalan yang sulit dan terjal, sehingga mutlak pula dibutuhkan kehadiran “kepemimpinan yang kuat serta dukungan politik yang bulat”.
Mempertimbangkan potret aktual kehidupan berbangsa-bernegara yang cenderung liberal, diwarnai iklim kebebasan yang nyaris tanpa batas dan keterbukaan yang amat lebar, sehingga telah merusak nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa lainnya. Maka, jalan untuk mewujudkan Tan Nas tiada lain hanya dengan cara sesegera mungkin “Membumikan Kembali Pancasila” dalam kehidupan berbangsa-bernegara, berarti kita harus secara konsisten menjalankan kembali ”konsep kebangsaan, konsep kerakyatan serta konsep/sistem kenegaraan” rumusan founding fathers seperti diuraikan di bawah ini:
Konsep kebangsaan kita lebih lengkap dibanding teori kebangsaannya Ernest Renan, Otto Bauer dan para pakar kebangsaan dunia lainnya. Kalau Ernest Renan mengatakan syarat menjadi bangsa adalah; “le desir d’etre ensemble” atau kehendak untuk bersatu. Otto Bauer mengatakan; “bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena kesamaan nasib”. Definisi tersebut oleh para pendiri negara dianggap sudah kuno karena hanya mengangkat aspek manusia semata. Bung Karno menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia harus pula disertai dengan kecintaan dan tanggung jawab akan “tempatnya atau tanah air beserta segenap kekayaan sumber daya alamnya”, dengan kata lain; “antara bangsa dengan tanah air harus pula menjadi satu kesatuan”.
Konsep kerakyatan/demokrasi khas Indonesia, yaitu Sistem Demokrasi Pancasila sebagaimana jiwa dari sila ke-4 yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Suatu cara berdemokrasi yang berjiwa kolektifisme, mengusung nilai kebersamaan-kekeluargaan. Prinsip demokrasi Pancasila adalah “keterwakilan”dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan “keterpilihan”. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok etnis/minoritas diwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih – karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui free fightala sistem demokrasi liberal – agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Eskimo dan Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil di parlemen dengan cara ditunjuk. Sementara praktek demokrasi di Indonesia dewasa ini yang sangat liberal, dijiwai individualisme, dengan mengutamakan keterpilihan, justru “membunuh” prinsip keterwakilan dan egalitarianisme. Prinsip lainnya adalah mengedepankan “musyawarah-mufakat”. Suatu cara/mekanisme pengambilan keputusan yang “berpijak padakualitas ide/rasionalitas, bukan kuantitas suara”. Ide rasional dan cemerlang yang muncul dari kelompok minoritas, dapat menjadi keputusan bersama lewat mekanisme musyawarah-mufakat. Dengan demikian, sistem demokrasi Pancasila justru memancarkan “respek terhadap minoritas”, sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajemukan bangsa yang bersifat kodrati. Adalah salah kaprah yang fatal jika demokrasi diidentikkan dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks Keindonesiaan. Bahkan sejak 1958 sistem demokrasi tersebut dikembangkan oleh beberapa negara di Eropa dengan sebutan “Consociational Democracy” (demokrasi konsensus),kini negara-negara Skandinavia pun menerapkan sistem demokrasi seperti ini. Model demokrasi seperti ini juga telah lama mengakar dalam masyarakat Jepang yang mereka istilahkan sebagai “nemawashi”, dan tetap eksis serta diterapkan dalam sistem kenegaraan, kemasyarakatan, maupun korporasi hingga kini,.
Sedangkan konsep/sistem kenegaraan yang dijiwai Pancasila adalah “Sistem Sendiri” yang pokok substansinya dapat kita temukan dalam “Empat Pokok Pikiran” yang ada dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945 – Penjelasan ini telah dihapuskan dalam amandemen UUD yang lalu, padahal empat pokok pikiran yang ada di dalamnya merupakan pedoman dasar dalam penyusunan batang tubuhnya, serta bersifat ideologis. Sehingga “dihilangkannya” penjelasan UUD 1945 tersebut telah melapangkan jalan bagi penggantian “Ruh” Pancasila dan digantikan oleh individualisme-liberalisme. Hal ini menjadi contoh nyata dari berlangsungnya Perang Generasi-IV di Indonesia –. Adapun wujud dari Sistem Sendiri tersebut adalah sebagaimana batang-tubuh UUD 1945 asli, yang antara lain ditandai dengan eksistensi MPR: Sebagai lembaga tertinggi negara, pusat kedaulatan rakyat, terdiri dari anggota DPR serta utusan daerah dan utusan golongan, menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara, dst.
Pelaksanaan upaya membumikan kembali Pancasila dilakukan melalui langkah-langkah strategis sebahgai berikut:
a. Menjadikan pembangunan karakter (character building) sebagai mainstream pembangunan nasional dan dilakukan secara terpadu.
b. Melakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen 1999-2002 (UUD 2002), serta melakukan revisi terhadap semua UU turunannya yang liberalistik – sinyalemen BIN, lebih dari 70 UU yang lahir setelah reformasi merupakan pesanan kapitalis asing
c. Reformasi Parpol dengan memfungsikan parpol sebagaimana mestinya (fungsi: pendidikan politik, artikulasi politik, rekrutmen pemimpin, dst), serta reformasi birokrasi melalui cara yang tidak jauh beda dengan reformasi parpol, dengan penekanan pada aspek disiplin.
d. Melakukan pembangunan ekonomi dengan berpegang teguh pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1) sampai dengan (3), untuk mewujudkan daya saing bangsa, menuju pada terbentuknya keadilan sosial.
e. Pembangunan aspek hukum yang mampu mewujudkan disiplin dan produktifitas nasional, mampu melindungi kepentingan nasional, serta melaksanakan penegakannya secara konsisten.
f. Membangun kemampuan pertahanan-keamanan dengan bertumpu pada “kesadaran bela negara” bagi seluruh warga negara, serta kekuatan TNI-Polri sebagai kekuatan inti. Sedemikian rupa sehingga mampu mengawal kepentingan nasional.
g. Berkaca pada pengalaman lepasnya Timtim, maka dalam menggulirkan pembangunan nasional, kita perlu memelihara dan mengembangkan “kearifan lokal”, yang secara umum dimiliki oleh setiap daerah/suku, seperti: dalian na tolu di Tanah Batak, pela gandong di Maluku, mapalus di Minahasa, dsb. Dalam hal-hal tertentu, kearifan lokal tersebut justru sangat efektif untuk menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan.