IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Pertanian pada masa lalu

TIKUS-tikus menyerang ladang. Seorang laki-laki nampak sedang membakar sesuatu. Asapnya diarahkan pada ladang yang sedang diserang tikus itu. Dia hendak menghalau tikus-tikus itu agar tak mengganggu ladangnya. Penggambaran itu terpahat pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada panil relief lainnya, babi muncul sebagai pengganggu. Ia pun ditombak oleh warga.

Di panil lain digambarkan dua orang yang bertugas menjaga sawah. Mereka menunggu di dalam gubuk di tengah sawah. Ada pula seekor anjing yang berbaring di bawah gubuk itu.

“Hama tikus diberantas pakai emposan, itu pakai daun kelapa yang kering dibakar tidak ada apinya, yang dipentingkan asapnya. Itu juga ada anjingnya disuruh jegok-jegok, nanti terus digropyok orang (tikusnya, red),” kata Djaliati Sri Nugrahani, dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada kepada Historia.

Djaliati menjelaskan dalam banyak data prasasti disebutkan beberapa teknologi pertanian. Sejak lama masyarakat Jawa Kuno mengembangkan pertanian gaga atau menanam padi di tanah kering dan pertanian tadah hujan di lahan basah yang memanfaatkan hujan. Ada pula yang menggunakan irigasi.

“Pakai sistem irigasi, ada petugas yang mengurus irigasinya. Mereka ini petugas hulu air. Hingga kini di Gunung Kidul juga masih ada padi gaga,” jelas Djaliati.

Data arkeologis lainnya ditemukan pada penggalian di situs Liangan, Dusun Liangan, Purbosari, Ngadirejo, Temanggung. Di situs ini ditemukan bekas lahan pertanian kuno. Bahkan tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan teknik pertanian yang tak jauh berbeda dengan saat ini. Lahan pertanian itu dibentuk seperti sistem bedengan di masa kini. Di sana pun ditemukan sisa bulir padi yang menjadi arang dan sisa-sisa jagung.

Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa juga menyebut macam-macam jenis tanah yang dapat didayagunakan oleh petani Jawa Kuno. Paling sering disebut adalah sawah (sawah), gaga (ladang), kbuan (kebun), renek (rawa). Terdapat juga padang rumput dan hutan. Dari segi nilainya, sawah menduduki tempat tertinggi, disusul ladang dan kebun.

“Sesuai dengan nilai tanahnya, pemilikan atas tanah sawah tentunya mempengaruhi kedudukan seseorang di lingkungan wanua,” tulis Supratikno. Wanua mengacu pada suatu wilayah tempat tinggal para petani dan penduduk desa.

Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mencatat baik suami maupun istri saling bekerja sama menanam padi dan tumbuhan pangan lainnya. Pada relief Karmawibhangga juga terdapat adegan yang melukiskan laki-laki dan perempuan pergi ke sawah atau ladang bersama.

“Yang laki-laki membawa suatu benda di bahunya. Sementara yang perempuan menjinjing sesuatu, mungkin bekal mereka berupa makan dan atau minuman,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa.

Adapun pada relief cerita Awadana dan Jataka di Candi Borobudur tergambar seorang laki-laki yang sedang membajak sawah menggunakan dua sapi. Ada pula penggambaran perempuan sedang menanam padi pada salah satu relief umpak di Situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pada relief umpak Trowulan juga terdapat pahatan seorang perempuan yang sedang menabur benih di ladang.

Setelah dipanen padi biasanya diangkut ke lumbung padi. Pada relief Jataka dan Awadana terdapat pahatan beberapa laki-laki sedang mengikat padi dan seorang memikul dua ikat besar padi. “Padi itu mungkin akan dibawa ke lumbung,” tulis Titi.

Proses selanjutnya mengolah padi menjadi beras. Masyarakat Jawa Kuno, biasanya para perempuan, menumbuk padi kering dengan lumpang dan alu. Pekerjaan ini digambarkan pada relief cerita Krsnayana di Candi Wisnu, Prambanan.

Tak cuma teknik pengendalian hama, tapi jenis tanaman pertanian dan cara budidayanya juga tergambar dalam relief candi, khususnya dalam Karmawibhangga di Candi Borobudur. “Semua itu pun masih dipakai oleh masyarakat Jawa hingga beberapa dekade kemudian,” kata Djaliati.

Bagikan ya

Leave a Reply