Kasultanan pada awalnya adalah bentuk sistem nāgara yang mendapat nilai-nilai Islam. Sebagaimana sistem nagara, kasultanan menerapkan sistem aristokrasi. Namun berbeda dengan nāgara, kepala negara dalam sistem kasultanan tidak seperti kepala negara dalam sistem nāgara. Jika kepala negara dalam sistem nāgara berperan sebagai semacam jembatan antara dunia manusia dan dewa, maka kepala negara dalam sistem kasultanan memiliki peran yang tidak lagi sebagai penghubung dunia manusia dan dewa, namun lebih ditarik ke arah sosial kemasyarakatan. Dalam artian kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan.
Sebagai kepala pemerintahan, kepala negara dalam sistem kasultanan memiliki kekuasaan yang tidak mutlak. Hal ini misalnya dapat dilihat pada pemerintahan Sultan Trenggono. Ketika Sultan Trenggono Sultan Demak melihat Ki Ageng Kebo Kanigara beberapa kali tidak datang menghadapnya sesuai ketentuan, Sultan Trenggono tidak segera menyiapkan pasukannya untuk kemudian menyerang wilayah Ki Ageng Kebo Kanigara. Ia lebih mengutamakan membahas permasalahan tersebut kepada para Wali.
Demikian pula pada saat penentuan induk nāgara atau pemerintah pusat selepas Sultan Hadiwijaya Sultan Pajang. Para Wali dicatat dilibatkan. Pada saat itu tahta kemudiab diserahkan kepada pangeran Demak karena merupakan suami putri tertua Sultan Hadiwijaya. Dengan demikian putra Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa menurun jabatannya. Aria Pangiri kemudian bertindak sebagai Sultan. Keputusan para Wali tersebut didasarkan karena pemilik tahta kerajaan adalah putri tertua Sultan Hadiwijaya.
Sunan Kudus ngendika, ‘Yen Pangeran Běnawa kang juměněng nggěnteni, aku ora rěmbug, karana iku putra nom. Adhipati ing Děmak kang prayoga nggěntenana marang Sultan kang wus seda, sěnajan iku putra mantu, sabab padha trahing ratu. Karo dene garwane dipati Děmak iku putrane Sultan kang tuwa dhewe. Dene Pangeran Běnawa dadi ya Dipati ing Jipang, kang minangka warise”. Lihat Sudibjo Z.H, 1980: 568 – 569.
Kasultanan Mataram
Mataram pada awalnya didesain bukan sebagai sebuah kasultanan. Namun kepanembahanan. Sebagai sistem kepanembahanan, kekuasaan kepala negara dibuat sangat mutlak. Kepala negara adalah pandhita sekaligus ratu. Sehingga muncul ungkapan sabda pandhita ratu tan kěna wola-wali. Sebagai pandhita sekaligus ratu, segala tindakan kepala negara adalah hukum itu sendiri.
Ketika penguasa Mataram ke III merubah Mataram menjadi Kasultanan, maka harus ada kekuasaan yang di-share-kan kepada institusi lain, sehingga peran raja tidak lagi mutlak. Pada era Demak dan Pajang, institusi tersebut adalah para wali. Karena itu pada era Mataram kemudian dibentuk institusi baru yaitu Penghulu. Penghulu ini dicatat memiliki kekuasaan yang tinggi ‘di atas’ Sultan Agung. Karena Sultan Agung dicatat meminta hukum atas tindakannya kepada Penghulu tersebut.
Dalam Babad Sultan Agung, nama penghulu tersebut adalah Kiai Penghulu Ahmad. Ia memiliki wakil bernama Mas Khatib Anom. Menurut Babad Sultan Agung pula, Kiai Penghulu Ahmad dicatat sangat sakti dimana ketika ia berdoa maka semua hidangan yang disajikan menjadi mentah. Pengertian sakti ini dalam babad, pada dasarnya adalah perlambang. Dimana artinya ia memiliki kekuasaan yang besar.
Kasultanan Semu
Sekalipun Mataram telah menerapkan sistem kasultanan dimana terdapat pembagian kekuasaan yang membuat kepala negara tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak, namun kasultanan yang diterapkam Mataram pada dasarnya adalah kasultanan semu. Kesemuan sistem kasultanan yang diterapkan Mataram ditunjukkan dengan adanya pembagian kekuasaan yang pada dasarnya tidak pernah ada.
Dalam Babad Sultan Agung, Sultan Agung dicatat minta dihukum ‘bunuh’ oleh Penghulunya. Namun hukuman itu dicatat tidak melukai Sultan Agung. Kisah tersebut harus dimaknai jika pembagian kekuasaan di era Sultan Agung sebenarnya adalah permainan. Permainan untuk membuat masyarakat Jawa percaya jika Mataram telah kembali mengadopsi kasultanan.
Permainan ini terbukti dengan begitu masyarakat Jawa mengikuti Mataram, putranya Amangkurat 1 dengan tegas mencampakkan sistem kasultanan. Ia memilih sistem kasusuhunanan yang meniadakan adanya pembagian kekuasaan. Kekuasaan berada di tangan satu orang lagi, sehingga menyebabkan Mataram kembali kecil sebagaimana awal didirikan.
Sekalipun demikian, masyarakat tetap mengingat jika Mataram era Sultan Agung ketika mengadopsi nilai-nilai Islam lebih besar daripada ketika Mataram menjauhi nilai-nilai Islam.*
Sumber
1. Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta, Ragam Media: 2010
2. Sudibyo Z.H. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980.
3. Babad Sultan Agung
4. http://awalxander.blogspot.com/2009/09/sekilas-tentang-babad-sultan-agung.html
5. http://1.bp.blogspot.com/-5Wme-SlfJII/UDLLQQZnUmI/AAAAAAAAE98/-JznIuABfI0/s1600/CIMG1755%2Bre.jpg