PADA akhir Agustus 2017, pemerintah mengumumkan bahwa Freeport bersedia melepas 51% sahamnya. Keputusan ini disambut gembira. Namun, itu tidak akan menguntungkan Indonesia sampai Freeport sepakat untuk mengubah hal mendasar dalam pengawasan operasional.
Hal itu disampaikan Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, dalam acara bedah buku terbarunya, The Incubus of Intervention, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 5 September 2017.
Tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport ditemukan oleh geolog Belanda, Jean Jacques Dozy bersama dua temannya pada 1936. Pihak Freeport mengaku memperoleh laporan penelitian Dozy dari perpustakaan di Leiden, Belanda.
Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya.
“Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu, red.) dan menemukan badan bijih (ore body) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey.
Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.”
“Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.”
Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K. Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua.
Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia.
“Cerita bahwa Freeport menemukan laporan penelitian Dozy sebelum Perang Dunia II di perpustakaan merupakan kebohongan besar. Karena orang yang membuat Forbes Wilson (geolog pada Freeport Sulphur) tertarik dengan temuan Dozy adalah keluarga dekat Dozy,” kata Poulgrain.
Poulgrain mewawancarai Dozy setelah 20 tahun menemukan Ertsberg di Papua. Dozy mengungkapkan bahwa dia menemukan gunung emas bukan gunung tembaga. “Ertsberg merupakan tambang emas terbesar di dunia dan Grassberg yang berada di bawahnya ternyata lima kali lebih besar,” kata Poulgrain.
Penemuan itu membuat Amerika Serikat memihak Indonesia dalam sengketa Irian Barat (kini Papua) dengan Belanda. Amerika mendorong Belanda untuk melepaskan Papua. Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns mengatakan Amerika memaksa Belanda keluar dari Papua setelah menolak kerja sama penambangan sumber emas dan tembaga. Akan tetapi setelah berhasil mendepak Belanda dari Papua, Amerika juga tidak berhasil masuk lantaran kebijakan ekonomi Sukarno. Oleh karena itu, Direktur CIA Allan Dulles, berusaha menggulingkan Sukarno.
Menurut Poulgrain, sejak lama Dulles mengetahui kekayaan alam di Indonesia. Ketertarikannya terhadap Indonesia dimulai pada 1928 ketika dia bekerja sebagai pengacara muda yang memenangkan kasus hukum melawan Henri Deterding dari Royal Dutch Petroleum Company yang berniat membangun industri minyak di Indonesia. “Dari sini dia memiliki akses untuk mengetahui tentang tambang di Hindia Belanda,” kata Poulgrain.
Selain itu, Dulles menganggap pemerintahan Sukarno berbahaya dan cenderung mendukung komunisme. Sebaliknya, Presiden John F. Kennedy melihat Sukarno sebagai seorang nasionalis. Kennedy memberhentikan Dulles sebagai direktur CIA pada 1961 karena CIA beroperasi di Indonesia selama enam tahun di antaranya mendukung PRRI/Permesta.
Pada 22 November 1963, Kennedy dibunuh dalam kunjungan ke Dallas, Texas. Presiden Lyndon Johnson memasukan Dulles sebagai anggota Komisi Warren yang menyelidiki kematian Kennedy. Dulles menyimpulkan pelaku pembunuhan Kennedy adalah Lee Harvey Oswald.
Poulgrain justru menduga Dulles kemungkinan dalang pembunuhan Kennedy. Sebab, Kennedy percaya Sukarno bukan seorang komunis dan berusaha menjadi mediator konfrontasi Indonesia-Malaysia.
“Kennedy dibunuh tahun 1963 agar tidak jadi datang ke Jakarta pada awal 1964. Bagi saya ini menarik. Karena Kennedy ingin menengahi masalah agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam.
Menurut Poulgrain, bila Kennedy jadi ke Jakarta dan menjalin kerjasama dengan Sukarno, rencana Dulles menjatuhkan Sukarno bisa gagal dan posisinya akan lebih kuat. “Ketika politik Indonesia memanas dan perubahan haluan menjadi pro-Barat di masa Soeharto, Freeport berhasil masuk,” kata Poulgrain.
Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno.
Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya.
Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua.