Tome Pires adalah ahli obat-obatan yang bekerja unuk Pangeran Alfonso, putra Raja John II. Ia berangkat ke Cina tahun 1511 sebagai “unsur dari obat-obatan”, dan tinggal selama 2,5 tahun di Malaka tempat ia menulis sebagian besar Suma Oriental, kemudian dikirim sebagai duta besar untuk Cina. Menurut Prof. A.C Moule, catatan Tome Pires merupakan salah satu pandangan abad pertengahan yang masih meyakini adanya superioritas Timur, dan belum lahir adanya asumsi modern yang meyakini adanya superioritas Barat.
Apa yang disampaikan Tome Pires tentu tidak serta merta benar. Hal ini karena banyak dari catatannya yang ia tidak hadir sebagai saksi mata. Namun demikian Suma Oriental dapat menjadi rujukan jika mampu diperbandingkan dengan data lainnya. Buku Suma Oriental ini kini hadir dengan edisi Bahasa Indonesia. Buku ini diberi judul Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan Dari Laut Merah Ke Cina & Buku Francisco Rodrigues, Kata Pengantar: Dr. Sri Margana, Penerjemah: Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2018.
Kala membaca buku tersebut, ada banyak informasi yang sangat menarik. Terutama kala membaca bagian Buku IV tentang Cina (hal: 142-158).
Dalam bagian tersebut, Tome Pires mencatat banyak hal. Kerajaan Cina. Para perempuan Cina. Tempat tinggal raja. Raja-raja vasal dari Raja Cina, taklukan-taklukan yang membayar upeti. Vasal yang tidak berkewajiban untuk membayar upeti dan hanya [menyerahkan hadiah]. Bagaimana para duta besar [disambut] oleh Sang Raja. Cara mereka mengangkat raja. Hukum untuk orang-orang yang ingin berlayar ke kerajaan lain. Tempat-tempat yang berada di dekat laut Kerajaan Cina. Pulau-pulau tempat jung-jung dari Malaka menurunkan jangkar. Tradisi di negeri tersebut dan kapten-kapten laut di Kanton. Barang-barang dagangan berharga di Cina yang berasal dari Malaka. Pajak yang dikenakan di Cina kepada para pedagang dari Malaka. Ukuran berat di Cina – besar dan kecil. Bahan-bahan makanan: beras, gandum, daging, ayam, ikan. Barang-barang dagangan yang berasal dari Cina.
Cina Bangsa Lemah Serta Takut Kepada Melayu dan Jawa
Dari semua informasi yang dicatat Tome Pires tersebut, ada hal yang menarik terkait Cina dalam penjelasannya. Sekalipun Cina merupakan sebuah negara besar yang memiliki kuda-kuda cantik dan keledai yang kabarnya berjumlah sangat banyak (hal: 142) namun orang-orang Cina yang hidup di Malaka jumlah mereka sedikit dan tergolong orang-orang lemah. Selain itu mereka tidak begitu jujur, mereka suka mencuri, dan itu adalah karakter dari orang kebanyakan (hal: 143).
Tome Pires juga mengatakan jika bangsa Cina secara umum lemah dan takut kepada bangsa Jawa dan Melayu.
Mereka mengatakan bahwa bangsa Cina membuat hukum yang tidak memperbolehkan orang untuk pergi ke Kanton karena takut akan bangsa Jawa dan Melayu, karena sudah jelas bahwa salah satu jung dari bangsa tersebut akan mengepung 20 jung Cina. Mereka mengatakan bahwa Cina memiliki lebih dari 1.000 jung, dan tiap-tiap jung melakukan perdagangan di tempat yang mereka lihat sesuai; namun orang-orang ini lemah, dan seperti ketakutan mereka pada orang-orang Melayu dan Jawa, hampir bisa diyakinkan bahwa satu [dari] kapal-kapal [kita] yang memiliki besar 400 ton dapat menghabiskan populasi Kanton, dan depopulasi ini dapat membawa kehancuran yang sangat besar bagi Cina, (hal: 152).
Dalam catatan tersebut, dengan jelas Tome Pires membahas perbandingan kekuatan ekonomi dan militer. Pertama. Cina memiliki lebih dari 1000 jung untuk melakukan perdagangannya. Namun kekuatan dalam melakukan perdagangan tersebut kalah dibandingkan Jawa dan Melayu. Hal ini karena salah satu jung dari kedua bangsa itu mampu mengepung 20 jung Cina. Informasi ini menunjukkan jung Jawa dan Melayu lebih besar dari jung Cina serta memiliki kemampuan finansial yang lebih besar pula.
Kedua. Orang-orang Cina merupakan orang yang lemah secara militer. Mereka takut kepada kekuatan militer orang-orang Melayu dan Jawa, sehingga membuat hukum yang tidak membolehkan orang untuk pergi ke Kanton. Kanton sendiri merupakan benteng di pesisir dan merupakan tempat di mana seluruh kerajaan Cina membongkar barang-barang dagangan mereka, dengan jumlah yang sangat banyak dari daratan maupun dari laut (hal: 150). Sebagai pusat perdagangan Cina, Kanton memiliki wilayah yang lebih luas dari Hainan (Aynam), Nan-t’ou (Nantoo), dan Chang-chou (Chamcheo). Sekalipun sebagai pusat perdagangan yang tentu memiliki penjagaan terkuat, Tome Pires dicatat mengatakan jika 1 kapal Portugis yang memiliki besar 400 ton saja, mampu menghabiskan populasi Kanton, dan depopulasi ini dapat membawa kehancuran yang sangat besar bagi Cina secara keseluruhan.
Sangat menarik apa yang disampaikan Tome Pires tersebut di atas memiliki kesamaan dengan informasi dari Catatan Dinasti Ming, Hikayat Hang Tuah (HHT), Sejarah Melayu (SM) dan Sejarah Dinasti Yuan. Kesamaan tersebut adalah sebagai berikut.
A. Takut
Dalam Catatan Dinasti Ming, Kaisar Cina dicatat juga melayangkan suratnya bernada ketakutan kepada Raja Majapahit. Surat itu berbunyi: “Berbagai negara di seberang lautan semuanya harus membawa upeti tiga tahun sekali; Anda, oh, Raja, harus mengasihi rakyatmu dan melaksanakan pengaturan ini”, (WP. Groeneveldt, 2009: 54-55). Pernyataan: “Anda, oh, Raja, harus mengasihi rakyatmu dan melaksanakan pengaturan ini,” merupakan permintaan negara vasal kepada rajanya. Raja Majapahit yang dicatat menerima surat tersebut adalah Wijaya Parakrama Wardhana, yang mengeluarkan prasasti tahun 1447. Karena sebagai salah satu vasal Jawa, menjadi wajar jika bangsa Cina sebagaimana pernyataan Tome Pires, takut kepada bangsa Jawa.
B. Lemah
Adapun kesamaan dengan Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, adalah pernyataan yang mengatakan jika 1 kapal Portugis yang memiliki besar 400 ton saja mampu menghabiskan populasi Kanton. Menurut Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, Portugis mengalahkan Malaka yang tengah tidak siap dengan kekuatan kapal besar berjumlah 40 (HT) atau 43 (SM). Catatan Hikayat Hang Tuah mengatakan sebagai berikut. Maka kata seridadu itu, “Kami ini empat puloh buah ghali, pada sa-buah ghali lima ratus orang-nya dan lima puloh meriam-nya, di-titahkan oleh raja Portugal menyerang Melaka ini”, (Hikayat Hang Tuah, XXIV: 430). Dengan harus mengerahkan 40-43 kapal besar baru bisa menaklukkan Malaka, menunjukkan jika kekuatan Malaka atau orang Melayu memang lebih kuat dan besar dari Cina kala itu. Sehingga wajar karena bangsa Cina lebih lemah kekuatan militernya, membuatnya juga takut kepada bangsa Melayu.
C. Jung Cina
Tome Pires menyebut semua kapal dengan istilah yang sama yaitu jung, termasuk kapal yang dimiliki Cina. Pernyataan Tome Pires ini dapat dipahami karena ia kurang meguasai jenis-jenis kapal yag ada di Asia secara keseluruhan kala itu. Dalam tradisi Melayu, kapal Cina disebut Wangkang untuk kapal berukuran besar menurut Hikayat Banjar dan Pilu untuk kapal berukuran lebih kecil menurut Sejarah Melayu.
Saat Tome Pires menyatakan: karena sudah jelas bahwa salah satu jung dari bangsa tersebut akan mengepung 20 jung Cina, maka dapat dikatakan jika jung Cina baik itu yang dimaksud Wangkang atau Pilu dalam tradisi Melayu, berukuran lebih kecil dibandingkan jung Malaka maupun Jawa. Sangat menarik, ternyata ukuran jung yang digunakan Kubhilai Khan menyerang Jawa juga kecil. Karena Khubhilai Khan tinggal di daratan Asia dan tidak memiliki teknologi perkapalan, maka kala menyerang Jawa ia tentu menggunakan teknologi jung Cina untuk sampai ke Jawa. Pasukan yang dikirim dicatat sebanyak 20.000 pasukan dengan jumlah jung sebanyak 1000 buah. Dapat dikatakan jika jung Cina memang berukuran kecil, dengan daya memuat sekitar 20-30 orang saja.
Jika dibandingkan dengan jung Jawa maupun Melayu, jung tersebut demikian mini. Dalam catatan Cina, para pelaut Nusantara disebut orang “Kun Lun” dan perahunya disebut sebagai “Kun Lun Po”. Menurut catatan Kerajaan Wu (abad ke-3), Kun Lun Po sebagai perahu besar yang panjangnya hingga 200 kaki, tinggi dari muka air 20-30 kaki, dan mampu memuat 600 orang, (Daud Aris Tanudirjo, 2010: 5).
Antara jung Cina yang digunakan Kubhilai Khan dengan Kun Lun Po ternyata memiliki persamaan dengan keterangan Tome Pires. Di mana satu jung dari bangsa tersebut akan mengepung 20 jung Cina. Jika jung Cina memuat 30 orang dan dikalikan 20, maka sama dengan daya tampung jung para pelaut Nusantara dalam hal ini Jawa dan Melayu. Karena itu, maka dapat dikatakan jika pernyataan Tome Pires memiliki kebenaran informasi.
Perang Citra
Pernyataan Tome Pires bahwa bangsa Cina lemah dan penakut memberi gambaran yang tentu saja terbalik dengan citra yang ditampilkan para sejarawan kemudian. Bahwa bangsa Cina dicitrakan memiliki superioritas terkait Dinasti Ming serta kala Laksamana Ceng Ho dengan armadanya yang besar dicatat melakukan tujuh ekspedisi dalam melaksanakan pendekatan non-intervensi sebagaimana perintah Zhu Yuanzhang yang dipatuhi Yongle, di Asia.
Misalnya saja sebagaimana yang dilakukan oleh Kong Yuanzhi. Kong Yuanzhi mencatat dalam pelayaran pertama, Cheng Ho menggunakan 62 buah kapal besar dan awak kapalnya lebih dari 27.800 orang. Dalam pelayaran ke-3, menggunakan kapal besar sebanyak 48 buah dengan awak kapal 27.000 orang lebih. Dalam pelayaran yang ke-7, kapal besarnya mencapai 61 buah dengan awak kapal sebanyak 27.550 orang. Kong Yuanzhi kemudian merata-rata, setiap kali pelayaran, Cheng Ho menggunakan 60 kapal besar dan total jumlah kapalnya mencapai 200 buah bila ditambah kapal sedang dan kapal kecil, (Kong Yuanzhi, 2005: 4).
Citra ini superioritas ini semakin diperkuat dengan kesimpulan premature dari Geoff Wade. Ia menilai tidak masuk akal bila adikuasa maritim Ming, Cina, yang mengirim armada sangat kuat dan dipimpin Cheng Ho, tidak bermaksud menaklukkan negara-negara kecil dan lemah yang dikunjunginya. Geoff Wade mencap pelayaran-pelayaran Cheng Ho sebagai purwakolonialisme maritim Dinasti Ming, (Geoff Wade, The Zheng He Voyages: A Reassessment, dalam Journal of the Malaysin Branch of the Royal Asiatic, Vol. LXXVIII, Pt. 1 (2005) Via: Tan Ta Sen, 2010: 230). Pendapat ini merupakan kelanjutan dari pendapat Dr Bokwahan, seorang pakar Rusia tentang Cheng Ho, dan Pan Hui Li dari Vietnam, pada 1979, (Lihat Tan Ta Sen, Did Zheng He Set Out to Colonise Southeast Asia?, dalam Leo Suryadinata (ed.), Admiral Zheng He and Southeast Asia, Singapore: Singapore International Zheng He Society and the Institute of Southeast Asian Studies, 2005).
Sangat menarik semua citra yang ditampilkan para sejarawan kemudian tersebut, ternyata tidak menggunakan perbandingan teks baik dengan teks dari Cina sendiri maupun dengan teks lain yang sejaman. Kenyataan tersebut menunjukkan citra superioritas Dinasti Ming maupun Cheng Ho tidak berdasar pada realitas yang ada.*
Daftar Pustaka
1. Daud Aris Tanudirjo, “Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Penutur Austronesia”. Makalah Diskusi Pengaruh Peradaban Nusantara di Dunia, Sabtu 23 Oktober 2010, Hotel Sultan Jakarta, diselenggarakan oleh Suluh Nuswantara Bakti.
2. Geoff Wade, The Zheng He Voyages: A Reassessment, dalam Journal of the Malaysin Branch of the Royal Asiatic, Vol. LXXVIII, Pt. 1 (2005) Via: Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara. Jakarta: Kompas, 2010,
3. Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
4. Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
5. Kasim Ahmad, M.A, Hikayat Hang Tuah. Menurut Naskhah Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Kuala Lumpur, 1964.
6. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho. Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005.
7. Shellabear, WG., Sejarah Melayu [The Malay Annals]. Singapura: Malaya Publishing House Limited, 1978.
8. Sitor Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu. Djakarta/Amsterdam: Penerbit Djambatan.
9. Tan Ta Sen, Did Zheng He Set Out to Colonise Southeast Asia?, dalam Leo Suryadinata (ed.), Admiral Zheng He and Southeast Asia, Singapore: Singapore International Zheng He Society and the Institute of Southeast Asian Studies.
10. Tome Pires, Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan Dari Laut Merah Ke Cina & Buku Francisco Rodrigues, Kata Pengantar: Dr. Sri Margana, Penerjemah: Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2018.
11. WP. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009.