Jakarta, 18 Mei 2020
* ansel da lopez *
*Belakangan* ini dalam beberapa kesempatan mulai sering terdengar keluhan terhadap UUD 2002 hasil amandemen yang berlaku sekarang. Disebut-sebut bahwa perubahan UUD tanggal 17 Agustus 1945 melalui empat kali amandemen (1999-2002) menjadi UUD NRI (Negara Republik Indonesia) 2002 terlalu memberi peluang kepada kepentingan asing.
Disinyalir bahwa proses amandemen menjadi UUD NRI 2002 tersebut diduga kuat telah disusupi kepentingan-kepentingan asing, saat berlangsung pembahasannya dalam sidang-sidang umum MPR yang lalu.
Semua sinyalemen dan dugaan tersebut tentu perlu dibuktikan. Syukur-syukur jika ada anggota MPR yang dulu ikut dalam proses amandemen berani tampil memberikan kesaksian akan hal itu.
*Terlepas* dari sinyalemen dan dugaan itu, UUD hasil amandemen itu telah berdampak signifikan terhadap perpolitikan dan tata kelola negara Republik Indonesia. Sistem pemerintahan menjadi sangat liberal. Sebut saja soal pemilihan langsung. Baik pemilihan presiden, kepala daerah dan wakil rakyat di DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Idealnya kita ingin memberikan legitimasi kepada hak politik rakyat. Namun di sisi lain, pemilihan secara langsung tersebut dalam kenyataannya telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan politik yang tidak menggembirakan. Masyarakat saling gontok-gontakan dan menjadi terpecah-pecah. Karena merasa terpilih langsung oleh rakyat, ditambah semangat otonomi daerah, pemerintah daerah pun seolah tidak mau ‘tunduk’ sepenuhnya kepada pemerintah pusat.
Kekuasaan pemerintahan oleh Presiden, kini tersandera oleh kekuatan DPR. Presiden yang tadinya memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, kini hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR. Kekuasaan membentuk UU kini berada di DPR.
Kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang telah “diamputasi” menjadi lembaga tinggi saja, juga telah ‘mengacak-acak” berbagai praktek tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Atas nama “kebebasan berpendapat”, iklim politik nasional di negara ini sekarang menjadi penuh kegaduhan, yang ditimbulkan oleh ujaran-ujaran kebencian, yang mendapatkan penyaluran sangat bebas melalui berbagai media sosial. Bahkan di tengah upaya Pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, banyak serangan _cyber_ untuk memanaskan suasana mendorong “pemakzulan presiden”.
*Keinginan* untuk mengamandemen UUD 1945 (yang asli) juga sering muncul pada masa Orde Baru. Presiden Soeharto untuk itu selalu menanggapi dengan mempersilahkan untuk menanyakannya langsung kepada rakyat melalui _referendum_. Ini setidaknya ingin mengatakan betapa pentingnya UUD 1945 sebagai konstitusi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak boleh semaunya diamandemen.
Tiba-tiba muncul Orde Reformasi. UUD 1945 ibaratnya bahkan sampai ‘dikoyak-koyak”. Kita memang tidak puas terhadap berbagai bentuk penyelenggaraan politik oleh Soeharto dengan ‘memanfaatkan’ UUD 1945 melalui kekuasaan MPR untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Namun, kita juga hendaknya mengetahui pula betapa besar dampak yang harus ditanggung bangsa ini akibat berbagai amandemen yang telah dilakukan.
Hanya dalam waktu yang relatif singkat, sampai empat kali UUD 1945 diamandemen. Sepertinya ada desain besar yang ingin dicapai. Amandemen pertama pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen kedua pada SU MPR tanggal 7-18 Agustus 2000. Amandemen ketiga tahun pada SU MPR tanggal 1-9 November 2001. Amandemen keempat tanggal 1-11 Agustus 2002, sebagai ‘kuncian’ terhadap kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
*Mungkin* banyak di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan elit kita, yang tidak menyadari sepenuhnya bahwa bangsa ini memang sedang “digempur” habis-habisan oleh negara-negara adikuasa melalui serangan-serangan non-militer guna melumpuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, untuk menguasai berbagai kekayaan alam kita.
Kita sepertinya tidak menyadari bahwa bentuk penjajahan modern sekarang tidak lagi semata-mata menggunakan invasi militer. Melainkan justru dengan cara-cara non-militer. Bentuk invasi ini dikenal sebagai Perang Generasi-IV, yang dulu kita kenal sebagai “gerakan subversi”, dengan menggunakan anak-anak bangsa guna menyusupkan kepentingan-kepentingan mereka.
Perang Generasi-IV ini seringkali disebut pula sebagai _Proxy War_ atau _War by Proxy_. Namun perang ini biasa disebut juga Perang Hybrida, karena menggunakan kombinasi perang non-militer dan perang militer.
Perang yang awalnya hanya melibatkan unsur militer, kini medan tempurnya sudah meluas ke berbagai segi kehidupan secara multidimensi. Amandemen UUD 1945 menjadi UUD NRI 2002 adalah salah satu contoh bentuk serangan non-militer tersebut. Serangan itu sepertinya langsung menghantam ke “jantung” kita. UUD 1945 adalah konstitusi dasar yang merupakan sumber segala hukum.
Penggunaan mesin perang sekarang tidak lagi terbatas pada kekuatan militer. Melainkan sudah menggunakan berbagai kekuatan lainnya. Tidak saja terhadap Konstitusi dan perundang-undangan (legislasi), tetapi juga politik, ekonomi, budaya, tenaga kerja, investasi, narkoba, genetika (bakteri, virus), dan lain sebagainya.
Dinamika ancaman juga telah bergerak begitu cepat sehingga muncul konsep peperangan baru yang disebut _accelerated warfare_, terutama ancaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, sehingga menuntut respons negara yang cepat dan kreatif.
Apakah kita masih harus tetap berdiam diri menghadapi semua kenyataan perubahan ancaman ini?
Hal utama dan mendesak untuk kita lakukan adalah meng- _update_ paradigma, sistem, doktrin, serta srategi pertahanan dan ketahanan nasional kita, menyesuaikan dengan kekinian.
Kita tidak.mungkin lagi hanya bertumpu pada pelibatan aktor tradisional yaitu militer. Melainkan juga harus melibatkan aktor-aktor lain yang dimiliki negara, dan seluruh komponen bangsa.
Oleh karena itu, pemberdayaan semua sumberdaya nasional, utamanya pemberdayaan masyarakat, menjadi sangatlah penting. ***