Inti dari tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk warganegara unggul yang memanusiakan manusia sehingga mampu merealitaskan janji konstitusi, ternyata lebih banyak menjadi sebuah utopia semata. Hal ini terjadi, karena ada banyaknya problematika pendidikan nasional yang terus menghalangi inti dari tujuan pendidikan nasional itu dapat terwujud.
Karena itulah maka problematika ini tentu saja perlu segera diurai dan diselesaikan agar perealisasian tujuan pendidikan nasional dapat berjalan dengan baik. Adapun problematika pendidikan nasional yang ada tersebut, adalah sebagai berikut.
Delapan Problematika Pendidikan
Pertama. Masih adanya gap antara amanat konstiusi dengan realitas yang ada. Misalnya saja dalam preambule konstitusi terdapat kata ‘melindungi’, faktanya masih banyak yang tidak sekolah. Ada kata ‘mencerdaskan’, faktanya masih banyak yang buta huruf. Ada kata ‘menyejahterakan’, faktanya ketimpangan makin tajam. Ada kata ‘menertibkan’, faktanya makin krodit dan tidak tertib.
Kedua. Masih ada kesenjangan antara definisi pendidikan sesuai UU No. 20 Tahun 2003 dengan desain dan pelaksanaan “Sistem Pendidikan Nasional” yang ada. Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi diri peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun kenyataannya, pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional yang ada, belum sesuai dengan definisi yang ditetapkan tersebut. Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan segenap bangsa Indonesia sebagai sebuah konsep yang luas, justru direduksi oleh pendidikan nasional dengan hanya pada batasan kognitif dan intelektual saja. Sementara aspek sikap, perilaku relatif tertinggalkan.
Ketiga. Kurikulum pendidikan yang ada belum menjawab kebutuhan membentuk manusia Indonesia sebagai insan individu hamba Tuhan, warga masyarakat, dan warganegara Indonesia. Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanizing human being), sehingga pendidikan bertugas membantu anak didik mengembangkan diri agar pada saatnya dapat memerankan dirinya secara kodrati sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan kehidupan di mana dia tinggal serta sebagai warganegara. Keharmonisan dalam mengaktualisasikan diri pada tiga peran tersebut, seharusnya menjadi titik incar pendidikan.
Keempat. Pendidikan masih belum menjadi bentuk rekayasa sosial (social engineering), sehingga dalam konteks bernegara, ia seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga keutuhan NKRI serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945. Untuk menghasilkan performance yang optimal pada ketiga perannya, setiap individu memerlukan 3 (tiga) domain yaitu generic skills (kompetensi), specific skills (konten), dan character (mental). Oleh karena itu dalam proses pendidikan ketiganya, seharusnya dapat dikembangkan secara bersama (tidak dipisahkan), dan secara seimbang. Ki Hajar Dewantara berpesan agar ketiganya tidak dipisah-pisahkan agar anak dapat tumbuh sempurna. Konsep Ki Hajar yang sangat komprehensif ini seharusnya dapat dijabarkan dalam kurikulum dan disosialisasikan agar dapat dipahami oleh seluruh pendidik.
Kelima. Masih rendahnya gotong-royong menyangkut tata kelola pendidikan. Terutama, dalam kaitannya dengan alokasi dana yang sudah disiapkan sesuai amanat UUD dengan keluaran atau output pendidikan nasional saat ini. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan menengarai adanya paradoks antara semakin besarnya anggaran pendidikan di satu sisi dan semakin merosotnya mutu pendidikan nasional di sisi lain. Pada APBN 2018, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp.444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat ke Rp.508 triliun. Namun ternyata mutu pendidikan nasional masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat antara lain dari hasil PISA 2018 yang masih menempatkan Indonesia dalam peringkat bawah untuk kemampuan literasi, matematika dan sains. Di antara penilaian untuk 78 negara, Indonesia berada di urutan 72 untuk literasi (skor 371), peringkat 72 untuk matematika (skor 379), dan ranking 70 (skor 396) untuk sains.
Keenam. Tata kelola guru sebagai unsur penting dalam sistem pendidikan nasional ternyata juga masih menyisakan berbagai masalah terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, rekruitmen, kompetensi, penempatan, status dan kesejahteraan, persebaran guru. Oleh karena itulah, maka sudah sangat mendesak kiranya untuk membenahi tata kelola guru yang mampu melahirkan guru berkualitas sebagai jabatan profesional. Apalagi tantangan masa depan dan tuntutan perkembangan jaman terus berubah.
Ketujuh. Masih rendahnya pemerataan kesempatan belajar. Akibat rendahnya pemerataan kesempatan belajar ini, maka akan memiliki berpengaruh bagi kualitas manusia Indonesia secara keseluruhan. Searusnya, salah satu peran pemerintah dalam pendidikan adalah mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar strata sosial, dan antar umur. Keberpihakan kepada yang “terbelakang” seharusnya juga dapat terwujud dalam kebijakan pendidikan nasional yang ada.
Kedelapan. Pendidikan pada saat ini dikendalikan oleh 3 (tiga) level pemerintahan, pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Namun ternyata pembagian kewenangan dan kewajiban antara ketiganya masih belum jelas. Sehingga perlu lebih diperjelas lagi, agar dapat menghindari terjadinya tumpang tindih dan kesenjangan karena tidak ada yang merasa bertanggungjawab. Termasuk double counting dalam anggaran pendidikan.
Penyebab Problematika Terjadi
Munculnya problematika tersebut, tentu memiliki banyak jawaban yang ada. Namun melalui pendekatan postkolonial studies, didapati jawaban bahwa semua itu karena bangsa ini tidak menganggap “pendidikan” sebagai the battle of sovereignty (pertempuran kedaulatan) guna mendapatkan security and prosperity (keamanan dan kemakmuran). Padahal, organisasi tertua pendidikan di Indonesia yaitu Taman Siswa menyebutnya sebagai “alat perlawanan terhadap semua kolonialisme”.
Organisasi intelektual tertua Budi Oetomo pada masa lalu juga sudah menyebutnya sebagai, “alat memerdekakan”. Sayangnya pada saat ini, bangsa ini masih terlalu banyak melakukan pendidikan hanya sebagai pendidikan saja. Kini negara bahkan memfasilitasi liberalisasi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menghilangkan hak-hak warganegara. Bukan sebagai kewajiban nalar sadar sebagai waktu yang meraksasa dan berwawasan Nusantara.
Sebagai akibatnya, pendidikan nasional kemudian memanen persoalan fundamental yaitu academic poverty (kemiskinan akademis). Cirinya ada dua. Pertama. Defisit narasi. Kedua. Defisit referensi. Muara dari kurikulum yang defisit narasi dan defisit referensi tersebut, maka warga didik mengalami fraktal, mimikri dan keterpecahan jiwa. Pada hilir pendidikannya, sering menghasilkan agensi yang “mengucapkan apa yang tidak dipikirkan” dan “mengerjakan apa yang tidak diucapkan”.
Dengan telah terindikasinya problematika pendidikan dan penyebab problematika yang ada, maka bangsa ini akan menjadi semakin mudah untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional yang ada. Hal ini karena akar permasalahan telah diketahui sehingga tinggal untuk diselesaikan. Kini tinggal menunggu good will pemerintah untuk menyelesaikannya.*DN
Sumber Rujukan:
Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan Dan Pendidikan Nasional (SISBUDIKNAS) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disusun YSNB, Jakarta, Mei, 2020.