JAKARTA, MENARA62.COM – Pendidikan Indonesia saat ini masih menyisakan berbagai masalah terkait dengan unsur-unsur pendidikan, mulai dari persoalan kurikulum, guru, peserta didik hingga sarana dan prasarana. Berbagai persoalan tersebut tak kunjung bisa diselesaikan bahkan cenderung menjadi beban sistem pendidikan nasional dari waktu ke waktu.
Imbasnya, kualitas pendidikan nasional masih memprihatinkan. Indikatornya bisa dilihat dari berbagai indeks seperti indeks pendidikan (education index) dalam Human Development Index, Global Talent Competitiveness Index (GTCI), laporan PISA (Programme for International Student Assessment), dan indek-indeks lainnya.
“Padahal pendidikan adalah harapan bagi kita untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” kata Pontjo Sutowo, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X DPR RI, Senin (6/7/2020). Selain YNSB, kegiatan tersebut dihadiri juga oleh Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN), Forum Komunikasi Putra/Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI), dan Aliansi Kebangsaan.
Menurut Pontjo, sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, dalam lingkungan perkembangan global serta kemajuan teknologi dewasa ini, Indonesia membutuhkan warga negara unggul yang cerdas, bangga, setia, menjunjung tinggi, dan rela berkorban demi negara dan bangsanya. Untuk membangun warga negara unggul seperti itu, pendidikan nasional adalah harapan besar sebagai upaya kolektif-sistemik negara untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Harapan besar itu lanjut Pontjo, sebenarnya sudah dirumuskan oleh pendiri bangsa melalui desain Indonesia Raya. Indonesia Raya, itulah cita-cita dan mimpi besar Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Indonesia Raya merupakan desain peradaban yang harus dituju, yaitu satu peradaban yang kukuh kebangsaannya karena berparadigma Pancasila dan berpijak pada Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan nusantara serta berwawasan kebangsaan.
Pontjo menilai, sistem pendidikan nasional Indonesia seharusnya tidak hanya berfungsi untuk membangun manusia Indonesia terbatas pada dimensinya sebagai manusia individu dalam rangka memperbaiki kehidupannya. Lebih dari itu, pendidikan nasional juga harus membangun manusia Indonesia dalam dimensinya sebagai warga masyarakat dan warga negara untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu bangsa yang majemuk.
Untuk itulah maka “visi pendidikan nasional” sudah sepatutnya menegaskan perannya dalam membangun landasan yang kuat bagi perkembangan multikultur yang sehat, produktif dan memuliakan kehidupan, memperkuat kebangsaan, memperkuat solidaritas nasional, serta menyiapkan generasi muda untuk menyongsong tugas dan tantangan masa depan. Dengan demikian, pendidikan nasional sudah seharusnya dibangun di atas wawasan sejarah, wawasan kebudayaan, wawasan kebangsaan, wawasan kemanusiaan, wawasan pengetahuan dan teknologi, dan wawasan masa depan.
Revisi UU Pendidikan Nasional
Agar pendidikan nasional tidak semakin terpuruk, Pontjo Sutowo yang juga Ketua Aliansi Kebangsaan memandang perlunya dilakukan revisi Undang-Undang Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Revisi tersebut diantaranya reorientasi kembali pendidikan nasional Indonesia agar tetap berparadigma Pancasila, sehingga menghasilkan Peta Jalan Pendidikan dan Cetak Biru Pendidikan yang sesuai dengan nalar publik.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo
Terkait pembenahan sistem pendidikan nasional, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, didukung oleh Aliansi Kebangsaan dan KB-FKPPI, bersama para kolega seperjuangan yaitu Nusantara Center, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), NU Circle Bidang Pendidikan, Gerakan Berantas Buta Matematika (Gernastaka), Yayasan Budaya Cerdas, dan lainnya, jelas Pontjo, telah melakukan kajian melalui serial FGD yang diselenggarakan sejak 31 Juli 2019. Mengambil tema utama “Pendidikan sebagai Penjuru dalam Membangun Warga Negara Unggul”, hasil kajian tersebut selanjutnya disusun dalam bentuk Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional Indonesia.
Terdapat tujuh pokok pikiran baru yang tertuang dalam Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional Indonesia tersebut.
Pertama, menghadirkan kembali kebudayaan sebagai ontologi pendidikan. Menurut Pontjo Kebudayaan dan Pendidikan merupakan dua entitas yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya, dan bersumber dari budaya besar Indonesia yang terus tumbuh serta berkembang. Pendidikan adalah alat untuk membentuk kebudayaan karena pada dasarnya kebudayaan dapat dibentuk.
Kedua, meringkas kerangka dasar kurikulum menjadi “Trimatra Pendidikan” yaitu Kebangsaan, Etika, dan logika. Ini dimaksudkan bahwa penyusunan mata-pelajaran harus mengacu pada kerangka dasar kurikulum ini. Dengan demikian, maka desain struktur kurikulum inti pendidikan kita pada dasarnya ada empat, yaitu “Agama-Kebangsaan-Etika-Logika”.
“Berbeda dengan negara lain yang tidak menempatkan Agama di dalam kurikulumnya, Indonesia harus menempatkan Agama di dalam kurikulumnya karena selain berhubungan dengan etika, Agama juga berhubungan dengan kebangsaan/nasionalisme,” tukas Pontjo.
Ketiga, mensentralkan kembali pengurusan pendidikan. Diakui Pontjo, saat ini, pendidikan dikendalikan oleh tiga level pemerintahan, yaitu pusat, provinsi,dan kabupaten/kota. Pembagian kewenangan dan kewajiban antara ketiganya perlu diperjelas, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan kesenjangan karena tidak ada yang merasa bertanggungjawab, termasuk double counting dalam anggaran pendidikan. Dengan pembagian kewenangan seperti ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak memiliki kepanjangan tangan sampai ke bawah, karena guru dimiliki oleh kabupaten/kota (SD dan SMP) dan provinsi (SMA/SMK).
Keempat, menghasilkan warga negara unggul via metoda meta science yang berenergi mental Pancasila. Pendidikan nasional seharusnya tidak hanya membangun manusia Indonesia sebagai individu, tetapi juga membangun sebagai warga negara unggul. Karenanya, mereka harus memiliki knowledge (know what), attitude (know why) and skills (know how).
Kelima, menempatkan UU Sisbuddiknas sebagai UU Payung UU Sisbuddiknas dalam ruang lingkupnya diharapkan sudah menyentuh semua hal dari pendidikan formal, informal, dan nonformal. Juga sudah mencakup dari pendidikan PAUD, dasar, menengah, dan tinggi. Dengan demikian hanya ada satu UU tentang kebudayaan dan pendidikan nasional dengan turunan yang lebih rinci berupa Peraturan Pemerintah.
Keenam, pemberdayaan IPTEK melalui Quarto Helix. Salah satu komponen elementer penggerak sistem inovasi teknologi adalah sinergi dan kolaborasi yang kuat dalam “Empat pihak (Quarto Helix)”antara Lembaga Riset/Perguruan Tinggi, Industri, Pemerintah, dan Masyarakat. Dalam konsep kelembagaan “Quarto Helix,” pendidikan Indonesia terutama perguruan tinggi harus berperan ikut mengejar ketertinggalan teknologi dan industri bangsa ini. Namun harus diakui, riset dan pengembangan teknologi (risbangtek) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi belum ter-hilirisasi dengan baik ke dunia usaha/industri maupun ke masyarakat.
“Hasil risbangtek yang dilakukan oleh perguruan tinggi saat ini seringkali sebatas mengejar publikasi ilmiah terutama yang terindeks Scopus, prototype, hak paten dan sejenisnya,” kata Pontjo.
Ketujuh, adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menggabungkan anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan anak-anak regular dalam kelas yang sama dengan ratio tertentu. Pendidikan ini bertujuan untuk emansipasi dan maksimalisasi, memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus agar bisa menikmati kebudayaan dan pendidikan.
Selanjutnya Pontjo menambahkan bahwa sebenarnya masih banyak kebaruan dalam Naskah Akademik yang diusung oleh berbagai organisasi, akademisi, professional, dan pemerhati pendidikan ini seperti fokus pembenahan pendidikan dimulai dari tingkat SD/MI karena diperlukannya landasan yang kokoh untuk berpijak ke jenjang di atasnya, penjabaran tentang konsep kewarganegaraan dan kewargaan, konsep tanah air fisik-tanah air formal-dan tanah air mental, dan masih banyak lagi.
Pontjo berharap Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional Indonesia tersebut memperkaya gagasan dan pilihan solusi untuk dapat menjadi masukan bagi perbaikan rejim pendidikan di masa depan.
Komisi X DPR RI Sampaikan Apresiasi
Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf yang bertindak sebagai pimpinan rapat menyampaikan apresiasi kepada Ketua FKPPI, Ketua Aliansi Kebangsaan, Ketua Pengurus YSBN, Ketua Harian MAKN yang telah menyampaikan pandangan dan masukannya terkait permasalahan penyelenggaraan pendidikan khususnya masukan revisi UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan upaya perlindungan pengembangan pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan.
Terhadap masukan tersebut, Komisi X DPR RI menyampaikan sejumlah pandangan dan catatan sebagai berikut. Pertama, materi dan substansi naskah akademik RUU tentang sistem kebudayaan dan pendidikan nasional dapat menjadi salah satu rujukan dalam proses penyusunan dan pembahasan revisi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dan Komisi 10 DPR RI akan melakukan kajian serta pendalaman lebih lanjut.
Dua Komisi X DPR RI akan mendorong pemerintah khususnya Kemendikbud untuk melakukan penguatan SDM lembaga dan Pranata kebudayaan baik dalam bentuk program maupun anggaran sebagai bentuk implementasi UU Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Tiga, kerajaan atau keraton di Nusantara dapat diposisikan sebagai tulang punggung kebudayaan sekaligus sebagai sumber penggalian akar budaya Indonesia yang dapat dikembangkan untuk merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia
Empat, Komisi X DPR RI mendorong Kemendikbud untuk memperkuat kurikulum pendidikan dengan penguatan materi mengenai sejara- sejarah kerajaan dan keraton nusantara sebagai upaya membangun kembali fondasi pendidikan yang berkarakter.
“Naskah akademik ini akan menjadi bahan pertimbangan komisi X DPR RI bersama pemerintah khususnya dengan Kemendikbud dalam merumuskan kebijakan bidang pendidikan dan kebudayaan. Jika ada bahan tambahan penjelasan lainnya, apalagi ada data atau usulan terbaru terkait bidang pendidikan dan kebudayaan mohon segera disampaikan ke kami,” tutup Dede Yusuf.
Rapat dengar pendapat itu juga dihadiri secara virtual antara lain Prof. Dr. Muchlas Samani, mantan Rektor Unesa, Ketua Presidium Gernas Tastaka Ahmad Rizali, Mauliate Simorangkir pengamat pendidikan asal Sumut, Sururi Azis dari Pergerakan Literasi Indonesia, Dwi Puji Lestari, mahasiswa program doktoral UNJ, Wiwiet Kurniawan dosen Unpam, dan HB Arifin, Direktur Sekolah Virtual Nusantara.*
Penulis: Inung Kurnia
Sumber : https://menara62.com/pendidikan-nasional-terpuruk-revisi-uu-sisdiknas-mendesak/