Sebagaimana bidang kedokteran yang mensyaratkan tenaga medis yang menangani pengobatan di rumah sakit harus mengerti ilmu kedokteran dan orang yang berpengalaman, maka demikian pula dengan bidang pendidikan. Berdasar Konvensi UNESCO tahun 1996 di paragraf 43, juga syaratkan hal yang serupa.
Dalam Konvensi UNESCO tahun 1996 di paragraf 43 tersebut, dicatat yang pada intinya: siapapun yang menangani pendidikan harus mengerti pendidikan, ilmu pendidikan dan orang yang berpengalaman. Sayangnya di Indonesia, Konvensi UNESCO ini telah dilanggar. Orang yang dipilih menangani pendidikan bukan dari orang yang mengerti ilmu pendidikan atau orang memiliki pengalaman.
Pendidikan Menjadi Lahan Basah KKN
Dengan melanggar Konvensi UNESCO tahun 1996 di paragraf 43, maka pendidikan yang ada kemudian tidak memiliki standar ketat. Muaranya tidak ada keinginan politik untuk menyentuh kebudayaan dan pendidikan secara professional dan tidak ada lagi kaidah-kaidah yang menjadi acuan. Selain itu juga tidak menyadari jika hal tersebut sebagai a matter of life and death karena kita menghadapi kesenjangan sosial yang parah. Akibat yang paling buruk, kebudayaan dan pendidikan menjadi lahan basah korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) bagi politisi di pusat, provinsi maupun daerah.
Karena kebudayaan dan pendidikan nasional tak dikelola oleh ahlinya dan standarnya tidak ketat, maka kegiatan parenting (ketika anak di perut ibu sampai usia belum sekolah) tidak dikerjakan secara serius. Demikian pula saat playgroup, PAUD, TK dan SD/MI. Padahal, hal tersebut seharusnya menjadi pondasi yang akan menopang kegiatan kebudayaan dan kependidikan berikutnya.
Tak Penuhi Target RPJMN 2014-2019
World Bank (WB) pada awal tahun 2019 menerbitkan review yang merujuk ke hasil PISA 2015. Dalam review tersebut, dinyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak siap menghadapi era Revolusi Industri (RI) 4.0 bahkan 2.0. Pernyataan WB ini terbukti. Berdasar hasil uji Indonesia National Assesment Program (INAP) yang kemudian disebut Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), dicatat 78% siswa SD kelas 4 memiliki kompetensi Matematika, Sains dan Membaca yang buruk. Hal ini tentu saja menghadirkan kecemasan berbagai pihak.
Kecemasan itu semakin menguat, kala melihat hasil PISA 2018 yang dirilis awal Desember 2019. Keterampilan membaca siswa Indonesia di usia 15 tahun kembali berada dalam urutan ke-18. Ketrampilan matematika juga menurun. Meski ketrampilan sains sedikit naik, tetapi rerata total menurun dan tidak satu pun yang mencapai target RPJMN 2014-2019.
Perlu Segera Mendapat Perhatian Serius
Dengan kompetensi dasar nalar (matematika, sains dan membaca) seperti hal tersebut, Indonesia akan mampu menjemput bonus demografi dan menggapai PDB peringkat 4 sedunia pada tahun 2050 menjadi sangat sulit terlaksana. Kemungkinan besar manusia Indonesia malah hanya akan menjadi buruh di negeri sendiri.
Hal ini dikarenakan adanya kondisi nalar (logic) buruk. Nalar yang buruk ini ternyata juga membuat apresiasi bangsa Indonesia terhadap budaya dan kearifan lokal Nusantara semakin menurun dan cenderung abai. Permainan, lagu dan bahasa tradisi menghilang lebih cepat daripada upaya penyelamatan dan serbuan budaya dari luar. Jika semua berlanjut, maka semua akan berakhir buruk.
Karena itulah maka pendidikan seharusnya mulai mendapat perhatian lebih, agar akibat buruk tidak terjadi. Perhatian lebih tersebut misalnya dengan mematuhi Konvensi UNESCO tahun 1996 paragraf 43 dan kemudian melaksanakan pendidikan secara lebih serius. Dengan perhatian yang serius pada pendidikan, maka Indonesia akan dapat memenuhi target RPJMN 2014-2019 dan bahkan siap menghadapi Revolusi Industri (RI) 2.0 atau 4.0.*DN
Sumber Rujukan:
Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan Dan Pendidikan Nasional (SISBUDIKNAS) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disusun YSNB, Jakarta, Mei, 2020.