Universitas Negeri Surabaya (Unesa) bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Aliansi Kebangsaan, dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (DKT), (29/7/2020). Tema yang diangkat adalah Pendidikan sebagai Wahana Mengokohkan Budaya Bangsa.
Diskusi yang dihadiri lebih dari 400 peserta ini, dibuka oleh rektor Unesa Prof. Dr. H. Nurhasan, M.Kes dan sambutan dari Pontjo Sutowo selaku Pembina YSNB-Ketua Aliansi Kebangsaan-Ketua Umum FKPPI ini menghadirkan tokoh-tokoh pendidikan yaitu Prof. Dr. Muchlas Samani (Rektor Unesa periode 2010-2014), Prof. Dr. Zainudin Maliki (Komisi X DPR-RI), Ki Darmaningtyas (Pengurus PKB Tamansiswa), Dr. Iwan Sjahril (Dirjen GTK Kemendikbud), M. Ramli Rahim (Ketua Umum IGI), Ahmad Rizali (Ketua bidang Pendidikan NU Circle), dan Najelaa Shihab (Pendiri Sekolah dan Kampus Guru Cikal) dengan dipandu oleh Bambang Pharmasetiawan (Pembina Yayasan Budaya Cerdas dan Pendiri SD Kupu-Kupu&SMP-SMA Garuda Cendekia).
Dalam sambutannya, Nurhasan mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses kebudayaan dan pemberdayaan untuk menjadikan generasi penerus bangsa yang berbudaya dan berkepribadian Indonesia. Konsep inilah yang dikuatkan oleh prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses kebudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (pasal 4 ayat 3 UU No. 20/2003 Sisdiknas). Lebih lanjut dikatakan Nurhasan bahwa seperti pernah diucapkan Ki Hadjar Dewantara sewaktu beliau menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UGM, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Di sini terlihat adanya kesungguhan yang luar biasa pada saat itu bahwa melalui pendidikan kita harus bisa mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa yang lain. Dengan demikian sudah seharusnya bangsa Indonesia mendesain sistem pendidikannya sendiri bukan sekedar tambal sulam dari berbagai negara lain tanpa membuihkan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia. Bukannya Indonesia sejak awal sudah membangun sistem bernegaranya sendiri seperti dilakukan para pendiri republik ini, jadi Indonesia harus memiliki sistem pendidikannya sendiri dengan tidak mengekor kemana-mana. Ini penting sebagai landasan dalam revisi UU Sisdiknas.
Keberhasilan Pembangunan Bertumpu pada Rezim Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Sementara Pontjo Sutowo mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ranah mental spiritual atau tata nilai sangat bertumpu pada rezim pendidikan dan ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya kebudayaan dapat dibentuk. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai moral harus dimulai sejak usia dini, baik melalui jalur pendidikan keluarga (in-formal), jalur non-formal, dan pendidikan formal. Namun karena perkembangan keadaan saat ini, dimana peran keluarga dan masyarakat dalam pendidikan moral atau karakter cenderung menurun, maka diharapkan pendidikan formal menjadi penjurunya.
Lebih lanjut Pontjo Sutowo mengatakan bahwa Pendidikan yang ‘tepat’ (right education) berperan sangat besar dalam pembangunan mental spiritual bangsa. Pendidikan yang tepat, akan berperan dalam proses menjadikan orang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan warga dunia yang baik. Sebaliknya, pendidikan yang tidak tepat bisa menggerus potensi kebajikan yang pada awalnya ada pada seseorang.
Oleh karena itu, tantangan suatu bangsa adalah membangun sistem pendidikan yang tepat yang sesuai dengan konteks sosial-budaya, sejarah, lingkungan alam bangsa yang bersangkutan, dan kebutuhan masa depan. Kepentingan dan urgensi dari membangun sistem pendidikan yang tepat semakin besar mengingat risiko dari kegagalan pendidikan tidak hanya membuat suatu bangsa terpuruk secara ekonomi dan sosial, namun juga mengancam eksistensi bangsa itu sendiri, ujar Pontjo.
Dalam rangka ikut membangun pendidikan yang tepat itulah kami dan para kolega seperjuangan mendorong dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang saat ini sudah masuk Prolegnas 2020, ujarnya Pontjo selanjutnya. Dalam rangka mendorong percepatan pembahasan RUU tersebut , YSNB, FKPPI, Aliansi Kebangsaan dan para kolega seperjuangan telah menyampaikan aspirasi dalam bentuk Naskah Akademik yang sudah kami sampaikan dan paparkan dalam RDPU dengan Komisi X DPR-RI pada tanggal 6 Juli 2020 yang lalu. Kami mengusulkan RUU Sisdiknas dirubah menjadi RUU Sisbuddiknas (Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional), karena dalam pandangan kami, Kebudayaan dan Pendidikan merupakan dua entitas yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Meskipun pendidikan merupakan investasi dalam menghadapi tantangan masa depan, pendidikan nasional kita harus tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia, tegas Pontjo.
Mengakhiri sambutannya Pontjo kembali menegaskan bahwa hanya dengan sistem pendidikan yang tepat, yang berwawasan sejarah, berwawasan budaya, dan berwawasan masa depan, pendidikan kita dapat menjadi wahana dalam mengokohkan budaya bangsa.
Diskusi diawali dengan pengantar diskusi oleh Bambang selaku pemandu diskusi yang menyatakan bahwa jangan main-main dengan pendidikan (karena jika salah melakukan kebijakan dan penerapan akan mengakibatkan hancurnya masa depan bangsa) dan selalu berpegang pada ajaran Ki Hadjar Dewantara.
UU Sisdiknas Harus Menjadi ‘Angkor’ Menghadapi Era Global
Sementara itu Muchlas Samani dalam pemaparannya mengatakan bahwa UU Sisdiknas harus menjadi ‘ankor’ menghadapi era global. Melihat bahwa UU Sisdiknas terakhir adalah tahun 2003 yang berarti sudah berusia 17 tahun maka sudah sepantasnya untuk dilihat kembali dan direvisi untuk menghadapi tantangan global tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar akar budaya Indonesia.
Ada dua tesis yang diajukan Muchlas, yaitu pertama UU Sisdiknas adalah babon dari segala kebijakan dan aktivitas dalam bidang pendidikan di seluruh wilayah NKRI. Yang kedua pendidikan adalah wahana untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang dicita-citakan founding father. Dengan demikian maka UU nanti harus menjadi rujukan pendidikan sebagai sebuah rakayasa sosial untuk mendesain bangsa ini ke depan sesuai dengan amanah UUD 1945.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa ada 5 prinsip dasar yang harus dipegang/dimasukkan ketika kita akan merevisi UU Sisdiknas ini yaitu pertama adalah seperti apa profil anak bangsa yg kita impikan? Yang kedua adalah untuk siapa pendidikan itu? Ketiga bahwa harus mencermati ‘trend’ era global. Selanjutnya keempat adalah pendidikan sebagai investasi negara. Dan terakhir kelima adalah pendidikan sebagai sebuah gerakan.
Dalam pemaparannya dikatakan ada beberapa hal prinsip yang harus dipegang, pertama pendidikan itu tidak bisa diulang balik (irreversible). Misalnya jika kita salah menerapkan di SD selama 6 tahun maka anak-anak kita tidak dapat disuruh mengulang kelas 1 lagi. Kedua pendidikan itu dilakukan saat ini tetapi menyiapkan anak-anak kita untuk masa depan. Atau baru dapat kita lihat sosoknya di depan. Ini sesuai dengan Ali bin Abi Thalib R.A yang mengatakan “Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka hidup bukan dijamanmu”.
Pendidikan Harus Memanusiakan
Ki Darmaningtyas dari Tamansiswa sementara itu mengatakan bahwa tidak dapat dipisahkannya Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah final sejak Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pengajaran. Mengutip dari Rumusan Tim Komisi Dikbud BPUPKI dikatakan bahwa dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah `keselamatan’ dan `kebahagiaan’ masyarakat. Ki Tyas juga mengkawatirkan hilangnya/tercabutnya frasa ‘berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia’ di pasal pendidikan tinggi dan juga berubahnya prinsip nirlaba, kekawatiran guru/dosen asing, dan perguruan tinggi asing. Sementara Ahmad Rizali menegaskan perlunya Badan Pengelola Guru yang mengatur segala hal kebijakan guru secara terpusat.
Sementara itu Prof. Maliki mengapresiasi pembuatan Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional. Namun demikian dikatakannya, saat ini yang masih berlaku adalah UU No. 20/2003 sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat saat ini haruslah tetap berpijak pada UU tersebut. Dalam UU juga dikatakan bahwa mengembangkan potensi siswa didik kita yang beriman dan bertaqwa (nilai transendensi). Sehingga kebijakan-kebijakan saat ini dan juga revisi UU No. 20 tidak boleh meninggalkan nilai transendensi tersebut.
Dalam acara ini pula dilakukan seremonial hasil penandatangan MOU, yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu pada tanggal 13 Juli 2020, antara Prof. Dr. H. Nurhasan, M.Kes selaku rektor Unesa dan Pontjo Sutowo selaku Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dan Ketua Aliansi Kebangsaan tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian, dan Pengembangan Pengabdian Masyarakat) dan bidang lainnya.*DN