Menurut Howard Gardner dalam buku Five Minds for The Future, setiap warganegara sebuah bangsa wajib memiliki nalar agar menumbuhkembangkan discipline mind dan seterusnya akan berlanjut ke creative and synthetic mind lalu menjadi emphatic mind yang akan menumbuhkan dasar-dasar karakter kemanusiaan (humanisme) sejak dini. Ketika keempat minds ini sudah mendarah daging di usia muda, maka ethical mind akan bertumbuh di jenjang SMA/MA/SMK serta Perguruan Tinggi.
Pernyataan Howard Gardner tersebut menunjukkan jika Pendidikan Dasar perlu mendapat perhatian utama sejak dini, agar setiap warganegara dapat memiliki karakter kemanusiaan. Sebab karakter ini akan dapat terus tumbuh, pada usia dewasanya.
Aplikasi Dalam Pendidikan Dasar
Mengacu pada pendapat Howard Gardner di atas, maka dalam aplikasinya, pendidikan harus didorong untuk fokus bekerja di jenjang Pendidikan Dasar yaitu SD/MI. Selain itu juga perlu mendorong Presiden untuk segera membuat Inpres SD/MI yang mengintruksikan semua jajaran agar “mengeroyok” jenjang SD/MI. Tentu saja dengan acuan mengoreksi 8 (delapan) SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SI (Standar Isi) dan SP (Standar Proses) serta SE (Standar Evaluasi) dari SD/MI, agar mampu menopang pencapaian tujuan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2050.
Tidak hanya berhenti di situ saja. Standar Mutu Guru SD/MI pun wajib dikoreksi, baik mulai dari pre service hingga in service. Fokus pre service pada mutu Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan fokus in service pada pelatihan yang tepat guna langsung bisa diterapkan di kelas. Dengan adanya Inpres SD/MI ini, semua pemangku kepentingan akan didorong untuk dapat bergotong-royong memperbaiki mutu kompetensi murid SD/MI.
Pendidikan Perlu Adaptif Dengan Kemajuan Teknologi
Seiring dengan Pendidikan Dasar mampu dapat dikoreksi, maka pendidikan di level menengah dan tinggi yang juga memiliki tantangan yang tidak sedikit, juga perlu mendapat perhatian lebih. Hal ini karena tempat bekerja terus berubah dengan kecepatan yang terus meningkat akibat teknologi yang mengubah industri dan pekerjaan. Inilah sebuah era baru yang sering disebut era disrupsi yang menjadi fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Era perubahan besar yang mengubah tatanan lama menjadi tidak tak terpikirkan sebelumnya dengan fenomena menjamurnya e-commerce dan banjir informasi tanpa kepakaran.
Di sini, produk pendidikan di level menengah dan tinggi harus dapat menyesuaikan. Ini berarti perlu transformasi besar-besaran dalam kurikulum, pembelajaran holistik dan kemitraan yang kuat (antar sekolah dan dunia kerja, pusat dan daerah, pemerintah dan masyarakat).
Pada kebudayaan dan pendidikan di era disrupsi, sudah semestinya dikerjakan-dikembangkan-dikurikulumkan 2 (dua) kemampuan dasar yang dibutuhkan warganegara. Yaitu, solving problems creatively dan living/working together in a harmony. Keduanya bermakna kemampuan untuk memecahkan masalah, bahkan saat masalah itu belum ada, menggunakan teknologi yang sekarang juga belum ada. Jadi, kemampuan berlogika, kemampuan bernalar yang baik, tapi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar di mana walaupun dia sendirian, tapi tidak bisa hidup sendiri (living or working together in a harmony) atau cross culture collaboration. Di sini, bisa ditambahkan pula menjadi grit is a key of success in uncertainty atau ketangguhan adalah kunci kesuksesan dalam ketidakpastian.
Bila semua hal tersebut tidak segera dikerjakan, maka pendidikan yang ada sesungguhnya sedang mengulang dan mewarisi model pendidikan kolonial yang melahirkan mental kolonial: berjiwa instan dan inlander, berkarakter mendendam, melupa dan myopic. Satu warisan yang mengkhianati cita-cita para pendiri republik dan rabun pada cita-cita bersama untuk menjadi negara-bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur sepanjang masa.
Pendidikan Harus Memastikan Terwujudnya Cita-Cita Nasional
Agar tidak kembali mengulang model pendidikan kolonial, tokoh Pendidikan nasional Daoed Joesoef (2001) pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Jangan menanti apapun dari masa depan, karena bangsa ini sendirilah yang harus menyiapkannya.
Karena itu pendidikan perlu segera dilakukan usaha revitalisasi, agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern. Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan. Tetapi tentu saja bukan sembarang revitalisasi. Melainkan revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhinneka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan.
Hal ini disebabkan karena Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia. Dengan basis tersebut serta hadirnya warganegara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setrilyun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya.
Reorientasi Baru Untuk Pendidikan Nasional
Agar pendidikan mampu berjalan sesuai relnya yang bermuara menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern, maka perlu diadakan reorientasi pada pendidikan nasional yang ada. Adapun beberapa usaha reorientasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Visi pendidikan nasional harus menegaskan kembali peran sistem pendidikan nasional dalam membangun landasan yang kuat bagi perkembangan budaya yang sehat, produktif dan memuliakan kehidupan, memperkuat kesadaran berbangsa, memperkuat solidaritas nasional, serta menyiapkan generasi muda untuk menyongsong tugas dan tantangan masa depan. Oleh karena itulah sistem pendidikan nasional yang harus dibangun dan kembangkan adalah sistem pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, serta berakar kuat pada budaya dan nilai-nilai keindonesiaan.
2. Meskipun pendidikan merupakan investasi dalam menghadapi tantangan masa depan, pendidikan nasional harus tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri.
3. Kesadaran bahwa pendidikan merupakan proses jangka panjang dan bersifat irreversible, sehingga harus dilakukan secara hati-hati dan memikirkan perkembangan iptek-industri jangka panjang. Kehati-hatian sangat diperlukan karena kekeliruan dalam mendesign pendidikan dan dalam mengambil kebijakan dapat berakibat fatal bagi sebuah generasi. Banyak studi terkait dengan kemampuan masa depan yang harus dibangun, dan jika dirangkum menjadi 2 (dua), yaitu problem solving creatively yang merupakan ujung dari personal skill, dan living together in a harmony yang merupakan ujung dari social skill. Adalah menjadi kenicayaan bahwa 2 (dua) kemampuan utama tersebut harus diterjemahkan ke dalam kurikulum pendidikan.
4. Pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigma Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan adalah dunia pendidikan yang mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, bermental kreatif, dengan kemampuan pengurusan (tata-kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama. Untuk itu, proses pendidikan harus mampu mengembangkan kreativitas berbasis keragaman kecerdasan insani dengan panduan kompas nilai yang dapat menjaga keselarasan keistimewaan pribadi dengan tertib kosmos dan harmoni dunia.
5. Pendidikan masa depan sepatutnya tidak hanya berkutat pada pengajaran teori, tapi perlu memperkuat pengajaran dan praktek nilai. Pepatah mengatakan: “Di atas sekelompok teori kita membangun sebuah mazhab (school of thought), di atas sekelompok nilai kita bangun ‘budaya’.
6. Indonesia adalah negara dengan heterogenitas sangat tinggi. Oleh karena itu frasa “satu sistem pendidikan nasional” yang diamanatkan oleh UUD 1945 perlu dimaknai secara bijak. Pola one fit for all perlu dicermati, pada aspek mana tepat diterapkan dan pada aspek mana tidak mungkin diterapkan. Sebagai gambaran, kurikulum SD/SMP yang diterapkan bagi anak-anak Papua yang kemungkinan besar akan bertani tidak harus tepat sama dengan yang ditempuh anak-anak Jakarta yang kemungkinan besar akan kuliah untuk bekerja di bidang industri;
7. Dalam era disrupsi dengan penuh lompatan (discontinuity) diperlukan pendidikan yang fleksibel dengan memberikan peluang setiap anak didik mengembangkan potensinya. Prinsipnya “semua anak adalah bintang” sehingga diperlukan proses pendidikan yang memfasilitasinya. Akhirnya mereka dapat tumbuh berkembang secara sempurna. Oleh karena itu struktur pendidikan, baik vertikal maupun horizontal perlu dirancang fleksibel, agar anak didik dimungkinkan untuk meliuk pindah dari satu jalur ke jalur lainnya, sesuai dengan minat dan capaian belajarnya.
Dengan reorientasi tersebut pendidikan nasional akan dapat memastikan tercetaknya warganegara unggul, tercapainya cita-cita nasional, terbentuknya Indonesia Raya dan hadirnya peradaban alternatif mercusuar dunia di masa depan.*(DN)
Disarikan dari:
Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan Dan Pendidikan Nasional (SISBUDIKNAS) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disusun YSNB, Jakarta, Mei, 2020.