Indonesia dicatat masih belum konsisten dengan sistem ketatanegaraan yang dianutnya. Hal ini karena meskipun sudah 75 tahun merdeka, Indonesia terus mengalami perubahan sistem ketatanegaraan. Mulai dari sistem demokrasi terpimpin, sistem presidensial, sistem parlementer, Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi. Kondisi ini tentu saja sangat berbahaya karena pembangunan yang dilakukannya menjadi tidak berkesinambungan dan bersifat parsial.
Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Indonesia memiliki sistem demokrasi sendiri, yaitu Pancasila. Karena itu semua sistem ketatanegaraan Indonesia dirujukkan pada nilai-nilai Pancasila.
Untuk itulah maka Aliansi Kebangsaan kemudian mencoba mencari jawaban melalui pandangan dan gagasan dari para cendekia, dengan menggelar kembali diskusi publik secara virtual, Jumat (28/8/2020) untuk mengukuhkan kembali sistem tersebut. Diskusi yang diselenggarakan kali ini bertema Publik Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila dengan topik: “Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan untuk Konsolidasi Demokrasi Indonesia”.
Pada Diskusi Publik ini, hadir sebagai narasumber antara lain Andrianof Chaniago, Dosen Politik UI, Prof Dr Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Prof Dr Jumly Asshiddiqie, Pakar Hukum Tata Negara, Dr Diana Fawzi, Pengurus AIPI, Yudi Latif, Pakar Aliansi Kebangsaan dan Prof Dr Amany Lubis, dari FRI.
Pancasila Perlu Dihadirkan Sebagai Paradigma dalam Merancang Tata Kelola Negara
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, “Sebenarnya sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan fit bagi ke-Indonesiaan kita. Namun faktanya sampai saat ini kita selalu menghadapi perdebatan bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format yang tepat tentang sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan corak hidup, budaya dan kondisi obyektif bangsa.”
Mengutip teori Barry Buzan dalam bukunya People, States and Fear (1983), menjelaskan bahwa the idea of the state atau ideology/falsafah/dasar dibentuknya suatu negara merupakan faktor sentral yang harus menjadi rujukan utama dalam pemilihan sistem ketatanegaraan sebuah bangsa. Dikatakan faktor sentral karena berfungsi memberikan arah/ petunjuk/ pola dasar bagi pembentukan institusi-institusi pemerintahan negara atau sistem pemerintahan negara.
Merujuk teori tersebut, jelas Pontjo, dalam konteks Indonesia, maka yang dimaksud dengan the idea of the state sebagai faktor sentral dalam pengembangan sistem pemerintahan negara adalah Pancasila. Dengan demikian, sistem ketatanegaraan Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan tentu tidak bisa dipisahkan dari Pancasila sebagai ideologi atau jalan hidup berbangsa dan bernegara yang secara yuridis-konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai filsafat dan ideologi negara.
“Karena itu nilai-nilai Pancasila haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia,” tegas Pontjo.
Sistem Kelembagaan Tata Kelola Negara Tidak Bisa Dipungut Sembarangan dari Negara Lain
Berdasarkan paradigma Pancasila, lanjut Pontjo, pengembangan ranah institusi sosial politik (tata kelola negara) diarahkan untuk memungkinkan perwujudan bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial politik hendaknya dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi kenegaraan yng dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan).
Hal-hal tersebut termanifestasi dalam kehadiran pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan.
Untuk meralisasikan cita-cita tersebut, jelas Pontjo, tentu model dan sistem kelembagaan tata kelola negara tidak bisa dipungut sembarangan dari pengalaman negara-negara lain. Tetapi kita harus menyuling dari pengalaman kesejarahan dan budaya bangsa sendiri. Hal ini diperkuat dengan pendapat Clayton M Christenson (2019) yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya berjudul Wawasan Pancasila (2020). Bahwa institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana ‘mengekspor’ apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.*