IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Berepotensi Memperlemah Kualitas Manusia, Klaster Pendidikan RUU Cipta Kerja Diminta Dicabut

Beberapa kelompok organisasi dan pakar pendidikan yang diprakarsai oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali menggelar agenda membahas RUU Cipta Kerja yang menyangkut bidang Kebudayaan dan Pendidikan, pada hari Rabu kemarin. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa seluruh pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menyangkut bidang Kebudayaan dan Pendidikan harus dicabut.

Menurut Pengurus YSNB Bambang Pharmasetiawan dalam keterangan persnya di Jakarta (11/9/2020) mengatakan jika pertemuan dan diskusi tersebut tidak mempermasalahkan Omnibus Law atau yang sering disebut UU Payung. Sebab Omnimbus Law pada dasarnya baik, karena ingin mensolusikan banyak hal secara integral menyeluruh atau komprehensif dari seluruh aspek, tidak parsial persektor sehingga ditakutkan tumpang tindih. Namun yang dimasalahkan adalah pasal-pasal yang tidak sesuai lagi dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

“Karena itu dalam diskusi tersebut, pembahasan hanya dibatasi guna menyorot sektor Kebudayaan dan Pendidikan saja”, kata Bambang Pharmasetiawan.

Berpotensi Memperlemah Kualitas Manusia Indonesia

Menurut Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo, YSNB sebagai organisasi yang banyak berkiprah di bidang kebudayaan, merasakan bahwa pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan budaya bangsa. Menurutnya kembali, pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja telah mencabut pendidikan dari kebudayaan. Padahal pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya.

Menyadari hal itu, maka YSNB mengajak berdiskusi beberapa organisasi dan pakar pendidikan sebagai bentuk keprihatinan atas dicabutnya pendidikan dari kebudayaan pada pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja. Pencabutan itu justru berpotensi memperlemah kualitas manusia Indonesia, padahal Indonesia harus mencetak warga negara unggul. Dan disepakati bahwa seluruh pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menyangkut bidang Kebudayaan dan Pendidikan harus dicabut,” kata Pontjo Sutowo.

Pontjo menjelaskan, banyak contoh di era modern ini ada sebuah negara yang besar dan kuat secara ekonomi dan militernya, namun karena lemah dalam budaya maka negara itu tercerai berai menjadi negara yang kecil-kecil.

“Sebaliknya ada sebuah negara yang kecil juga dilanda konflik atas keberadaan negara tersebut dan ekonominya pun bukan apa-apa, namun bangsanya tetap eksis hingga saat ini dan terus berjuang. Ini memberikan contoh yang nyata/riil kepada kita tentang kekuatan budaya itu,” katanya.

Menurut Pontjo Sutowo kembali, semua program pemajuan ekonomi dari pemerintah harus didukung semua pihak, namun pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kebudayaan dan pendidikan. Karenanya pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan dan harus sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Banyak Masalah Mendasar Di Pasal-Pasal Pendidikan RUU Cipta Kerja

Di tempat yang sama, Pakar Pendidikan Ki Darmaningtyas mengatakan, ada beberapa masalah dasar pada pasal-pasal pendidikan RUU Cipta Kerja. Diantaranya adalah hilangnya frasa kebudayaan dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian perubahan frase “prinsip pendidikan nirlaba” menjadi “dapat nirlaba”. Juga perubahan frase “ijin pendirian sekolah/perguruan tinggi” menjadi “ijin pendirian badan usaha”. Kesemua ini, sesuai dengan tujuan pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja ini yaitu untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pendidikan dan Kebudayaan.

“Belum lagi ada pasal-pasal yang dalam UU nomor 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional yang tadinya sudah dibatalkan MK malah sekarang dihidupkan kembali, yaitu pasal-pasal Badan Hukum Pendidikan. Secara umum, ruh atau ideologi RUU Cipta Kerja ini adalah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ideologi ini diusung oleh WTO yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, bukan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga,” katanya.

Menurut Ki Darmaningtyas kembali, WTO menempatkan pendidikan sebagai industri tersier yang sah untuk diperdagangkan, sehingga negara-negara anggota WTO dapat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan di negara-negara lain sebagai mekanisme untuk memperoleh keuntungan finansial.

“Semua ini tercermin dengan diijinkannya pendirian sekolah/perguruan tinggi di Indonesia sekalipun mereka belum terakreditasi di negaranya. Juga diijinkannya guru dan dosen asing untuk mengajar di Indonesia walau pun belum tersertifikasi. Sehingga ini semua menunjukkan pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja memberikan karpet merah untuk pendidikan asing tanpa syarat apapun. Pendidikan dan kebudayaan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kekayaan budaya bangsa Indonesia bisa menjadi daya tawar tersendiri untuk melakukan kolaborasi riset dengan negara-negara maju. Tapi paradigma perancang pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja menganggap kebudayaan sebagai penghalang dan penghambat pendidikan dalam berkompetisi di kancah global sehingga pasal tentang kebudayaan dihapus,” tambahnya.

Sektor Pendidikan Nasional Terancam Menjadi Penonton Saja

Sementara itu Pengurus sekaligus Dewan Pakar YSNB Prasetyono Widjojo mengaku kawatir Trisakti Bung Karno akan terganggu. Menurutnya, Trisakti Bung Karno adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Jika kebudayaan dicabut dari pendidikan maka pembangunan manusia tidak akan berjalan.

“Jadi jangan menggeser tujuan pendidikan untuk membentuk warga negara unggul menjadi sebagai fungsi pasar saja. Lebih jauh lagi ditakutkan dalam sektor pendidikan kita hanya menjadi penonton saja di negeri sendiri,” katanya.

Aura pasal-pasal pendidikan dari RUU Cipta Kerja tambahnya, lebih bernuansa bisnis. Seharusnya, pendidikan sebagai bagian dari budaya tidak bisa dipandang dari sudut ekonomi saja seperti efisiensi, untung, dan rugi, ataupun aspek keuangan lainnya.

“Seharusnya, kebijakan keuangan bersifat affirmasi terhadap pendidikan dalam kebudayaan, imbuh Prasetyono Widjojo.

RUU Cipta Kerja Telah Menyamakan Pendidikan Nasional Dengan Dunia Bisnis

Sementara itu Pakar Pendidikan Ahmad Rizali dari NU Circle mengatakan jika semua perubahan yang dilakukan di dalam RUU Cipta Kerja, pasal per pasal, memiliki filosofi korporasi dan industrialisasi sehingga kebijakan pendidikan nasional disamakan dengan dunia bisnis. Pendekatan pembangunan manusia Indonesia menjadi tidak ada bedanya dengan mendirikan perusahaan yang menjadikan murid dan mahasiswa sebagai komoditas yang diproduksi di pabrik dan perdagangkan di pasar bebas.

Karena itu Ahmad Rizali mengingatkan jika amanat Pembukaan UUD 1945 sangat tegas mengamanatkan, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan memasukkan pasal-pasal bernuansa bisnis di bidang pendidikan ke dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah dinilai ingin melepas tanggung jawabnya dalam mencerdaskan bangsa.

“Jika pasal-pasal di bidang pendidikan ini tetap dimasukan ke dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja, sejatinya pemerintah dan DPR RI telah tidak sejalan lagi dengan para pendiri bangsa dan Konstitusi Dasar NKRI,” kata Ahmad Rizali.

Senada dengan Ahmad Rizali, Pakar Pendidikan Sururi Aziz mengatakan, jika kebudayaan (dalam hal ini kebudayaan Indonesia) dicabut dari pendidikan, maka kebudayaan mana lagi yang akan dipakai. Khusus mengenai tidak perlunya guru asing harus tersertifikasi, maka ini akan akan menghancurkan program sertifikasi guru yang sudah susah payah dibangun. Seharusnya jika ada kekurangan maka mari diperbaiki bukan dihilangkan.

Sebagai kata akhir, Ketua YSNB Wisnu Broto mengharapkan bahwa seluruh stackholder bidang Pendidikan, perlu ikut serta guna memikirkan dan memberi kontribusi dalam saran-saran yang membangun kepada legislatif dan eksekutif untuk memperoleh solusi terbaik tentang masalah pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja tersebut. “Tidak ada kata terlambat bagi perbaikan bangsa”, katanya.*(Ed.i)

Disalin dari Madaninews.id
Tanggal: 11 September 2020






Bagikan ya

Leave a Reply