Jakarta – DPR dan Pemerintah akhirnya sepakat mengeluarkan klaster pendidikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Keputusan ini dilakukan karena banyak penolakan dari berbagai pihak. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa sektor pendidikan adalah nirlaba dan tidak boleh ada unsur komersialisasi.
Untuk selanjutnya, penataan pendidikan akan tetap dilanjutkan kepada sistem pendidikan nasional selama ini yaitu UU Sisdiknas.
Keputusan tersebut mendapat apresiasi Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Pontjo Sutowo. Menurut Pontjo Sutowo, keputusan Pemerintah dan DPR RI mengeluarkan klaster pendidikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai sangat bijak. Pemerintah dan DPR RI mau mempertimbangkan berbagai masukan dari elemen masyarakat selama ini.
“Kami mengharapkan bahwa Pendidikan tetap tidak dipisahkan dari Kebudayaan pada saat pembahasan pasal-pasal Pendidikan ketika merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nanti,” kata Pontjo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (26/9/2020).
Menurut Pontjo Sutowo kembali, pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian akibat adanya perang nir militer.
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, telah mengamanatkan bahwa pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa maka akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri.
Pendidikan dan Kebudayaan adalah soal Hidup atau Mati bagi Bangsa Indonesia ke depan (education is a matter of life and death for the entire nation). Oleh sebab itu perlu ditempatkan sebagai fokus orientasi pembangunan bangsa Indonesia.
“Pendidikan sebagai sarana strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia sebagai individu yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia yang unggul,” kata Pontjo.
Memajukan Pendidikan Tidak Boleh Keluar dari Peradigmanya
Hal senada disampaikan Prasetijono Widjojo selaku Dewan Pakar YSNB. Ia menekankan seyogyanya paska pencabutan klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja, segera ditindaklanjuti dengan mempercepat pembahasan RUU Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional yang berpijak pada paradigma pembangunan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan.
Menurutnya pendidikan dan kebudayaan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan. “Bung Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan,” katanya.
Oleh karena itu, segala upaya memajukan pendidikan tidak boleh keluar dari paradigmanya. “Pendidikan nasional harus mengakar kuat pada budaya bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Pendidikan Nirlaba dan Komersial Harus Diperjelas
Sementara itu, Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti Wisnu Broto menekankan perlunya membedakan mana sekolah milik pemerintah yang bersifat nirlaba dengan sekolah swasta yang memiliki unsur komersial.
“Yang bisa diatur nirlaba adalah Sekolah Negeri dan Perguruan Tinggi Negeri,” katanya.
Sebelumnya desakan kuat disuarakan berbagai Organisasi kemasyarakatan (Ormas), Koalisi Organisasi Pendidikan, Pegiat dan praktisi pendidikan yang mendesak klaster pendidikan dicabut dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Mereka antara lain YSNB, LP Ma’arif NU PBNU, NU Circle, Diktilitbang dan Dikdasmen) PP Muhammadiyah, Ikatan Guru Indonesia (IGI), PGRI, dan sejumlah organisasi serta komunitas pendidikan di Indonesia.*