Pendidikan Indonesia jauh dari target yang diharapkan. Dalam indeks pendidikan contohnya, Indonesia di peringkat bawah. Pada Education Index yang dikeluarkan oleh Human Development Reports pada 2017, Indonesia dicatat berada di posisi ketujuh di Asean dengan skor 0,622. Pada Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2019, Indonesia dicatat berada di posisi keenam di Asean dengan skor sebesar 38,61.
Rendahnya indeks pendidikan tersebut, membuat pendidikan belum mampu menghadirkan manusia unggul yang diharapkan. Pendidikan Indonesia bahkan menjadi jembatan dihadirkannya kolonialisme baru bagi Indonesia. Seperti pelajar Indonesia lulusan luar negeri, lebih banyak menjadi kaki tangan industri asing serta memiliki mindset sebagai agen asing saat kembali ke Indonesia. Berbeda dengan lulusan luar negeri pra kemerdekaan, yang menjadi agen perubahan bangsa secara positif. Karena itu, banyak masukan agar pendidikan direvisi.
NU Circle misalnya, mendesak agar cetak biru pendidikan segera dibuat agar tujuan pendidikan terarah dan tidak bersifat umum tetapi sesuai karakter pembangunan bangsa. YSNB mengharapkan agar pendidikan Indonesia memasukkan di dalamnya Pendidikan Kebangsaan, Etika, Logika, dan Agama. Sementara Dr. Yudhie Haryono Direktur Nusantara Centre mengharapkan pendidikan Indonesia kembali ke jati diri bangsa yaitu berbasis konstitusi.
Republik dan Kerajaan
Ketika cetak biru Indonesia disusun oleh BPUPK, pertentangan antara pendukung Republik dan pendukung Kerajaan mengemuka. Sejarah mencatat pendukung Republik menang dan pendukung Kerajaan kalah. Kekalahan itu membuat Kerajaan yang masih bertahan dari tekanan kolonial Belanda, dihapuskan karena tidak sesuai dengan Mental Republik.
Menariknya Kerajaan menerima Mental Republik tersebut, dan bahkan secara sukarela menjadi barisan pendukung Republik sekalipun dengan beberapa catatan. Penerimaan ini tentu saja aneh karena Kerajaan dan Republik berbeda dan saling bertolak belakang.
Penerimaan tersebut kala itu terjadi karena pendukung Republik memiliki mental melaksanakan kebaikan di segala bidang, bertumpu pada kebersamaan, membangun kemakmuran bersama, mendorong diri aktif dalam kancah universal, membangun keunggulan dan kemandirian negara, mengotimalkan pribumi menjadi tuan rumah yang berdaya saing, serta menghadapi musuh yang sama yaitu semua bentuk penjajahan. Mental yang tidak dimiliki oleh kerajaan. Karenanya kerajaan dan masyarakat pendukungnya kemudian memilih ikut bersama Republik, mau tidak mau.
Mental para pendukung Republik tersebut kemudian dituangkan dalam UUD 1945 dan menjadi acuan bernegara. Karena itu, ia sudah seharusnya menjadi acuan dalam mencetak warga negara yang unggul.
Mental Republik Sebagai Meja Statis
Mengacu pada pendapat Dr. Yudhie Haryono terkait pembahasannya mengenai pengertian meja statis dan dinamis, maka sesungguhnya dapat dikatakan jika konstitusi bukanlah sebuah meja statis. Dalam perkembangannya, konstitusi disadari tidak sempurna sehingga kemudian muncul inisiatif untuk disempurnakan. Sekalipun usaha penyempurnaan tersebut tidak jadi terlaksana, namun diperoleh kesadaran jika konstitusi memang belum sempurna. Belum mampu mewadahi Mental Republik yang ada.
Karena itu yang perlu menjadi meja statis seharusnya adalah Mental Republik. Mental yang mampu terus memberikan alternatif kebaikan demi bangsa saat kondisi tengah tidak berpihak. Kala Indonesia diakui kemerdekaannya namun dalam format Negara Serikat, maka bukan konstitusi yang mampu menyatukan Indonesia kembali. Negara Serikat merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Keberadaannya ditandatangai oleh Ratu Juliana dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, sebagai bentuk pengakuan Belanda kepada kemerdekaan Indonesia. Dan di seluruh Indonesia, setidaknya terdapat 16 Negara Bagian.
Mosi Integral RI yang menyatukan Negara Serikat yang ada, sepenuhnya berakar dari masih kuatnya Mental Republik kala itu. Mosi Integral RI yang digaungkan oleh M. Natsir tersebut, bukan hanya menyatukan kembali Indonesia yang terpecah menjadi Negara Serikat. Namun juga, membuat negara RI yang diproklamasikan tahun 1945 yang pada saat itu dipimpin oleh Mr. Assaat dengan wilayah utama Yogyakarta, ikut membubarkan diri bersama negara-negara bagian lainnya, guna kemudian bergabung ke dalam NKRI.
Mewadahi Mental Republik Dalam Pendidikan
Mental Republik sebagai mental melaksanakan kebaikan di segala bidang, bertumpu pada kebersamaan, membangun kemakmuran bersama, mendorong diri aktif dalam kancah universal, membangun keunggulan dan kemandirian negara, mengotimalkan pribumi menjadi tuan rumah yang berdaya saing, serta menghadapi musuh yang sama yaitu semua bentuk penjajahan, sayangnya belum menjadi pembahasan para pendidik kita. Pada saat ini ia disublimasi dalam ranah pendidikan kebangsaan. Padahal sekalipun mirip, keduanya berbeda.
Kebangsaan dalam salah satu artinya menurut KBBI adalah kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Sementara itu Mental Republik adalah batin atau watak dasar sebagai seorang republik. Seorang pendukung republik harus memiliki Mental Republik baru kemudian lainnya termasuk kebangsaan. Dan Mental Republik inilah yang perlu diwadahi dalam format pendidikan. Format yang menghadirkan warga negara menjadi agen perubahan bangsa secara positif.
Baru setelah itu konstitusi diajarkan guna mendukung Mental Republik tersebut. Dapat dikatakan jika konstitusi, merupakan meja dinamis yang memperkuat kodifikasi kehadiran Mental Republik. Dengan penguatan Mental Republik, maka perubahan apapun saat kondisi tengah tidak berpihak, tidak menjadikan perubahan yang menghilangkan jati diri bangsa. Seperti menerima liberalisme, konglomeratisme, penghapusan pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat pendirian republik dan sebagainya.
Mental Republik akan membuat pendulum kembali kejati diri semangat pendirian republik seperti yang ditunjukkan dalam lahirnya Mosi Integral RI. Perubahan ke arah hal yang lebih baik dan bukan perubahan ke arah kebinasaan.
Sangat dikuatirkan, jika Mental Republik hilang maka Mental Kerajaan akan kembali hadir dan tumbuh. Mental yang tidak lagi bertumpu pada kebersamaan namun pada kekeluargaan. Hal ini memang telah terjadi. Namun jika ia terus dibiarkan berlangsung, pendukung Kerajaan yang dulu menerima Republik akan menemukan ruangnya untuk hidup kembali sejajar dengan Republik. Hal ini karena ia menganggap visi Republik kini, tidak sesuai dengan kesepakatan yang diterima mereka dulu.*
Bacaan:
1. Ontologi Pendidikan Indonesia, Yudhie Haryono. Ph.D.
https://www.youtube.com/watch?v=glcj2OiOp7U
2. Pendidikan di Indonesia, Pontjo Sutowo
https://www.youtube.com/watch?v=g6jKC6s9wPA
3. Bambang Pharma, Ph.D (YSNB): Darurat, Dibutuhkan Pendidikan Kebangsaan, Tanah Air, Etika, dan Logika
https://www.youtube.com/watch?v=riQUrSpsOhg&feature=share&fbclid=IwAR1eNWQujY_4Auib11CKjaxi06_eHcnwT-En3cPZ7wunLXaEDeKxWAt8heU
4. Cetak Biru Pendidikan Ditunggu
https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2019/12/28/cetak-biru-pendidikan-ditunggu/?utm_source=bebas_kompas_id&utm_medium=social&utm_campaign=socmed_share