Jakarta – Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia (FRI), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Harian Kompas bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengadakan FGD membahas “Restorasi Haluan Negara”, Senin (9/11/2020).
Dalam FGD ini, bertindak sebagai Keynote Speaker adalah Ketua MPR RI H. Bambang Soesatyo, SE, MBA, sementara itu Prof. Ravik Karsidi (Forum Rektor Indonesia), Prof. Dr. Soffian Effendi (Pakar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Yudi Latif Ph.D (Aliansi Kebangsaan) bertindak sebagai narasumber.
Hadir sebagai pembahas adalah Rektor Universitas Negeri Lampung yang juga pengurus FRI Prof. Dr. Karomani, M.Si, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc., M.A, dan pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahiyangan Bandung Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H. Selain itu, Staf Khusus Ketua MPR-RI Freddy Latumahina dan Johnson Rajagukguk, serta Sesjen MPR RI Dr. H. Ma’ruf Cahyono, S.H., M.H, dan Ketua Tim Perumus FGD Restorasi GBHN Dr. Prasetijono Widjojo M.J, M.A.
Dalam FGD tersebut, hadir pula pakar Aliansi Kebangsaan yang juga akademisi Universitas Pancasila Dr. M. Isnaeni Ramdhan, S.H., M.H., Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Dr. H. Alfitra Salam, APU, Pengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Drs. Ichan Loulembah, dan Moch. Nurhasim, SIP, M.si. (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Prof. Dr. Nandang A. Deliarnoor, SH., M.Hum, tokoh Nahdatul Ulama K.H. As’ad Said Ali, dan Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti, Ir. Wisnubroto. Dan berlaku sebagai moderator adalah Sekjen Aliansi Kebangsaan Ahmad Zacky Ziradj.
Adanya Banyak Kelemahan Dalam SPPN Pengganti GBHN
Dalam pengantarnya, Ketua Aliansi Kebangsaan, menyampaikan, sejak amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan GBHN sebagai haluan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan nasional kita dirancang berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun
2004.
Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan
Penjabaran untuk pencapaian tujuan nasional dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional jangka panjang.
Sementara pembangunan lima tahunan yang seharusnya menjadi tahapan pelaksanaan secara berkelanjutan dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJPN tersebut, dirumuskan dengan rujukan utamanya adalah visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang dipilih secara langsung melalui Pemilu kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Dengan sistem perencanaan seperti ini yang telah diberlakukan lebih dari 16 tahun, sejumlah persoalan mengemuka yang mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan dalam SPPN kita”, katanya.
Pontjo menambahkan, ada beberapa catatan terkait SPPN. Pertama, SPPN yang ada sekarang dinilai tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, cenderung bias terhadap agenda Eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang kekuasaan lainnya secara menyeluruh, sehingga dinilai tidak mencerminkan wujud kehendak rakyat seperti halnya GBHN. Ketiga, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 17 tahun 2007 dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah.
Keempat, RPJPN secara substantif tidak memberikan arah yang jelas tentang pembangunan yang kita tuju dalam masa dua puluh tahun ke depan. Kelima, karena Presiden ikut menetapkan Undang-Undang, pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional cenderung bias terhadap agenda kampanye Kepresidenan, sehingga banyak hal yang kurang mendapat perhatian.
“Dengan berbagai catatan atas kelemahan SPPN tersebut, pembangunan nasional yang seharusnya merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan justru kerap kali membuat agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal mendesak berjangka pendek yang seringkali bersifat tambal-sulam, dengan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental yang berjangka panjang,” tandasnya.
Dalam pandangannya, pengabaian hal-hal fundamental itulah yang sesungguhnya menjadi biang kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial.
Karena sejumlah catatan kelemahan dan kekurangan dari SPPN tersebut, muncullah berbagai pemikiran dan desakan untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional kita. Bahkan ada arus sangat kuat yang menghendaki untuk kembali menggunakan “model GBHN” seperti pernah berlaku dalam sistem perencanaan pembangunan kita di masa lalu.
Tafsir Pancasila Telah Diserahkan Kepada Pasar Bebas
Sementara itu, saat menjadi pembicara kunci, Ketua MPR Bambang Soesatyo memaparkan fokus program MPR tentang perumusan Pokok-Pokok Haluan Negara yang memberikan arah dan pemerataan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Katanya, meski tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara pasca amandemen ke-4 UUD NRI 1945, namun MPR RI tetap menjadi lembaga negara dengan kewenangan tertinggi.
“Mengingat UUD NRI 1945 adalah produk hukum tertinggi, maka MPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945, berarti memiliki kewenangan tertinggi di antara lembaga negara lainnya,” ujar Ketua MPR yang akrab disapa Bamsoet.
Ketua DPR RI ke-20 ini juga menjelaskan sesuai dengan UU. No. 17 Tahun 2014, sebagaimana diubah oleh UU No. 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), MPR memiliki beberapa tugas.
Pertama, memasyarakatkan ketetapan MPR RI. Kedua, memasyarakatkan Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika). Ketiga, mengkaji sistem ketatanegaraan UUD NRI 1945 serta pelaksanaannya. Keempat, menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD NRI 1945.
“Masyarakat selama ini lebih akrab dengan Pemasyarakatan atau Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Kemunculan Empat Pilar MPR RI memiliki sejarah yang cukup panjang. Bermula dari euforia reformasi yang telah mengubah berbagai nilai dan praktek sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Mengakibatkan TAP MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dicabut. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) dibubarkan. Hingga mata pelajaran Pancasila sebagai mata pelajaran pokok di sekolah dan perguruan tinggi dihapus.
Bambang Soesatyo menjelaskan hal-hal tersebut mengakibatkan tafsir Pancasila seperti diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, sekolah/perguruan tinggi tidak wajib memasukkan mata pelajaran Pancasila, serta setiap orang atau kelompok bebas menafsirkan sila Pancasila sesuai seleranya masing-masing.
“Untuk mengisi ruang kosong peran negara dalam membentuk mental dan ideologi bangsa akibat hilangnya Pancasila dari peredaran kehidupan berbangsa dan bernegara, Ketua MPR RI Taufik Kiemas merancang dan melaksanakan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, yang kemudian diubah menjadi Empat Pilar MPR RI. Terdiri dari Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara; UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara; NKRI sebagai bentuk negara; dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara,” katanya.*