Jakarta – Suluh Nuswantara Bakti dan Aliansi Kebangsaan menggelar bedah buku berjudul “Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif”, karya karya Yudi Latief PhD, pakar Aliansi Kebangsaan, Jumat (13/11/2020). Yudi Latief adalah penulis yang konsisten pada historikal idealism atau dunia gagasan sebagai lawan dari historikal materialism. Yang banyak menggabungkan pemikiran-pemikiran Max Weber, Durkheim dan Robert K Merton — para sosiolog Amerika.
Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka ini memiliki tebal 452 halaman dan berisi tentang konsep transformasi pendidikan dengan menyumberkan pada konsep dan visi-misi pendidikan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yakni sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya untuk dipelajari dan dikembangkan dalam hidup.
Bedah buku yang dimoderatori Bambang Pharma ini, menghadirkan cendikiawan muslim Prof. Azyumarzi Azra, MA, pakar pendidikan nasional Ki Dharmaningtyas, aktivis pendidikan Dhitta Putri Saravati, dan Yudi Latief, PhD sebagai narasumber. Sementara itu sebagai keynote speech adalah Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.
Pendidikan Yang Tidak Didasari Oleh Budaya Bangsa Akan Hasilkan Generasi Yang Tercabut Dari Kebudayaan Bangsanya Sendiri
Dalam pengantarnya, Pontjo Sutowo mengatakan jika bedah buku ini sengaja diadakan dalam suasana peringatan “Hari Pahlawan”, untuk menghormati para pahlawan bangsa. Bangsa Indonesia pada saat ini juga memiliki sejumlah tokoh pendidikan yang sudah diakui sebagai pahlawan nasional, yaitu Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, Dewi Sartika, Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Ahmad Dahlan.
“Bedah buku ini sekaligus refleksi perenungan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari penjajahan termasuk perjuangan pembebasan dari kebodohan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional,” katanya.
Pontjo menegaskan, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Menurutnya, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dan hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan maju atau mundurnya peradaban bangsa. Signifikansi budaya terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif. Dari perspektif budaya sendiri, Indonesia adalah multikultur. Karena itu, pendidikan nasional yang harus dikembangkan adalah pendidikan yang berwawasan multikulturisme.
Dalam pandangannya, pertautan antara pendidikan dan multikultural merupakan solusi atas realitas budaya bangsa Indonesia yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.
Buku Sebagai Landasan Kritik Terhadap Kebijakan Dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Yudi Latief dalam pemaparannya menyampaikan, pendidikan adalah benih harapan. Buku ini menarik karena memunculkan beragam interpretasi dari berbagai kalangan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Ada juga yang menyebut buku ini menjadi landasan kritik terhadap kebijakan dalam sistem pendidikan kita hari ini.
“Menariknya, Kemendikbud sendiri mensyukuri buku ini karena menjadi basis landasan bagi pendidikan merdeka yang sedang dikembangkan hari ini,” kata mantan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila ini.
Menurutnya kembali, buku ini berisi semacam peta jalan besar yang mana nantinya akan ditulis buku-buku lainnya. Buku ini belum sampai kepada bagaimana sistem dan model pendidikan kreatif.
Sumbangan terbesarnya dalam buku ‘Pendidikan’ ini adalah susunan argumentasinya yang ‘kokoh’ tentang dasar kebudayaan bangsa. Dengan hal tersebut, maka kebudayaan nasional, di samping yang telah berkembang pada tingkat domestik, adalah hasil dialog dengan pihak luar —yang distrukturkan oleh corak geografis bersifat Nusantara dan dikelilingi lautan itu. Dari sini pula, Yudi mendapat perspektif meletakkan pengertian ‘puncak-puncak kebudayaan daerah’ yang menjadi dasar ‘kebudayaan nasional’.
Dalam konteks ini, secara konseptual dan ideal maka pendidikan tidak bisa direduksi kepada usaha menciptakan kemampuan teknikal belaka. Proses pendidikan sendiri adalah menciptakan metode pengajaran untuk mereproduksi manusia-manusia otonom dan kreatif. Seperti juga kebudayaan nasional yang mampu sintas (survive), arah utama pendidikan pada esensinya adalah menciptakan manusia-manusia kreatif dan otonom. Dengan itu, betapa pun ia harus berhadapan dengan serangkaian disrupsi (akibat perkembangan teknologi) secara terus-menerus, bangsa ini akan selalu siap.
Gunakan Pendekatan Konseptual Ala Ki Hajar Dewantara
Pakar pendidikan nasional Ki Dharmaningtyas, menilai buku tersebut menggunakan pendekatan konseptual dengan menggali filosofi Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara (KHD) yang menganalogikan kesatuan kebudayaan sebagai Tata Surya.
Dalam filosofinya, KHD menyampaikan kebudayaan harus terus bergerak, tidak boleh statis, ibarat planet-planet dalam tata surya. Jika ia berhenti bergerak, akan menimbulkan kehancuran planet dan tata surya itu sendiri. Selanjutnya walaupun berbeda-beda semua planet berpusat pada satu utama yang sama, yaitu matahari.
Menurutnya, Yudi Latif mengawal satu kontinum cita-cita dan nila-nilai kebijakan dari para penemu-penemu pejuang bangsa dengan melakukan inovasi-inovasi.*