Bapak Proklamator Mohammad Hatta (1946) mengatakan, “merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat dengan mengandangkan kemiskinan secara revolusioner”.
Hal tersebut, juga bermakna bahwa negara harus hadir dalam setiap lini pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal. Dengan hadirnya negara, maka tidak lagi berlaku kata efisien. Hanya ada 1-2 orang murid di satu pulau pun negara memiliki kewajiban mendidiknya. Dalam hal ini, keadilan merupakan prinsip yang harus dipegang untuk mengurangi kesenjangan di masyarakat ataupun antar daerah. Kehadiran teknologi sekalipun tidak dapat dilaksanakan secara pukul rata, namun harus dilihat satu persatu permasalahannya secara cermat.
Banyak Pasal Mengatur Pendidikan
Mengenai permasalahan pendidikan sebenarnya ada banyak pasal dalam konstitusi yang mengaturnya. Pasal 28, 31 dan 32 UUD 1945. Negara wajib menjamin hak warga negara dalam hal hidup, membentuk keluarga, tumbuh dan berkembang, kewarganegaraan, beragama, berserikat, sejahtera, jaminan sosial, non-diskriminasi, berbudaya, berperadaban, hormat-menghormati, mutualisme antar sesama, dan lain-lain. Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, pendidikan, anggaran pendidikan, kemajuan ilmu dan tekhnologi serta kebudayaan yang bermartabat dan berlandaskan Pancasila, serta bahasa, kearifan daerah sebagai kekayaan bernilai tinggi. Dan, pada semua praktik pendidikan, harus menjadi kegiatan nirlaba (tidak mencari keuntungan dan kapital).
Sedangkan landasan tambahan di luar Pancasila dan Konstitusi adalah semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba), Wawasan Nusantara serta Wawasan Kebangsaan.
Landasan ini penting, sebab pada konsensus Proklamasi, prakteknya nanti memastikan bahwa anak didik selalu menyadari perang modern. Pada konsensus Bhinneka Tunggal Ika maka prakteknya nanti adalah mengangkat kearifan lokal masing-masing daerah ke dalam pendidikan nasional. Tentu bukan saja keseniannya yang diangkat tapi juga nilai-nilainya. Kata lanjutan Bhinneka Tunggal Ika yaitu Tan Hana Dharma Mangrva juga harus ada yaitu bahwa tidak ada kesetiaan yang mendua dalam bernegara dan berindonesia. Cinta tanah airnya harus secara fisik, formal maupun mental.
Pendidikan Harus Selalu Dalam Frame Persatuan
Pada konsensus Sumpah Pemuda maka prakteknya semua pendidikan untuk yang satu yaitu semangat persatuan dan kesatuan serta menjunjung bahasa persatuan berupa bahasa Indonesia. Pada konsensus NKRI maka prakteknya nanti bicara pendidikan nasional harus dalam frame persatuan. Tidak boleh membedakan dari Sabang sampai Merauke. Semua dari, oleh, untuk dan demi Indonesia Raya. Pada konsensus Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan maka prakteknya nanti adalah semua demi dan atas nama bangsa Indonesia.
Dengan begitu jelasnya pendidikan dalam konstitusi maka tak ada jalan bagi para pendidik kecuali menjadi agensi Pancasila dan Konstitusi. Terlebih, bangunan negara yang ada adalah Pancasilaisme (ada karena bersama warga negara). Satu untuk semua, semua untuk satu, semua untuk semua: sama rata, sama rasa, sama adil sejahteranya. Tujuan negara Pancasila adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat (spiritualis, intelektualis, kapital-sosialis), basisnya wargaisme/rakyat, institusinya musyawarah mufakat dan gotong-royong, filsafatnya adalah kesadaran ontologis Nusantaraisme (kepulauan) dan kesadaran epistemologis maritimisme (kelautan), serta kesadaran aksiologis multikulturalisme (Bhinneka Tunggal Ika), aktor pengalokasian kekayaan adalah warga negara yang berhimpun dalam MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai penjelmaan seluruh warga negara.
Pendidikan Harus Berbasis Kurikulum Yang Menghasilkan Jiwa Merdeka
Dalam UUD 1945 yang belum diamandemen, MPR bertugas menyusun GBHN. Adapun isinya adalah apa, bagaimana, siapa, kapan, dan mengapa kekayaan negara dikelola demi kemakmuran semua warga negara. Dan tentu bukan orang per orang apalagi golongan per golongan. Sebagai muaranya, keadilan-kebahagiaan ekonomi-politik akan ditujukan menjadi milik semua warganegara: bukan individu, bukan negara, bukan swasta. Asas berlangsungnya adalah semesta (menyeluruh). Hak ini dikarenakan Pancasila adalah alat sekaligus tujuan serta akibat bersama bernegara.
Sementara itu demokrasi Pancasila, adalah demokrasi yang menghadirkan keseluruhan sila-sila Pancasila. Ia juga harus dijiwai dengan semangat kegotongroyongan yang bersumber langsung dari nilai-nilai kekeluargaan seperti sebagai berikut. Ketuhanan secara kekeluargaan (yang berkebudayaan lapang dan toleran); Kemanusiaan universal secara kekeluargaan (yang adil dan beradab); Persatuan kebangsaan secara kekeluargaan (Bhineka Tunggal Ika); Demokrasi-kerakyatan secara kekeluargaan (permusyawaratan dengan hikmah kebijakan). Serta terakhir, Keadilan ekonomi secara kekeluargaan (usaha bersama dan milik bersama—Koperasi dan BUMN).
Untuk mewujudkan hal tersebut semua, maka ia harus dapat dijabarkan dalam sebuah kurikulum pendidikan. Kurikulum ini dihadirkan untuk membekali semua warga negara memiliki format yang sama. Dan tentu saja, kurikulum tersebut harus menghasilkan jiwa merdeka, mandiri, modern dan martabatif guna memproduksi warganegara Indonesia unggul dan berbudaya. Pendidikan merdeka adalah pendidikan yang mengutamakan cita-cita negara, bangsa dan sesama di atas kebutuhan identitas pribadi dan golongan. Pendidikan merdeka akan semakin meneguhkan keyakinan bahwa penjajahan dan neoliberalisme secara sistematis telah membuat Indonesia miskin, mandek, terbelakang dan hancur.*
Penulis: Irawan Dj
Sumber:
Draft Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbudiknas) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah akademik ini disusun oleh: Yayasan Suluh Nuswantoro Bakti (YSNB).