PADA 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda meletus, menciptakan gelombang Tsunami setinggi 30 meter, melesat ke daratan dengan kecepatan tinggi, mengempaskan setiap bangunan dan benda yang berada di jalur lintasannya.
Pemerintah kolonial melaporkan pada bencana terdahsyat abad ke-19 itu sekitar 36 ribu orang lebih tewas dan menyebabkan bencana susulan lain seperti kegagalan panen serta kelaparan. Sementara itu jutaan kubik abu vulkanik yang memapar langit menyebabkan hari dirundung gelap berkepanjangan.
Johanna Beijerinck, istri kontrolir perkebunan Willem Beijerinck di Katimbang, pesisir pantai Lampung Selatan menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Krakatau. Dalam catatan hariannya terungkap betapa mengerikannya letusan tersebut.
“Aku mendengar suara berisik batu apung yang menimpa atap rumah, di atasnya terdengar suara geledek dari gunung, serupa auman mengerikan, yang kecepatannya hampir menyamai kecepatan cahaya,” kenang Johanna dari catatan hariannya yang disebut Bethany D. Rinard Hinga, penulis buku Ring of Fire, sebagai rekaman kesaksian paling rinci mengenai letusan Krakatau yang pernah ada.
Johana Beijerinck, suami dan anak-anaknya menempati sebuah rumah di bibir pantai Katimbang, yang terletak sekitar 25 mil atau kurang lebih 40 kilometer dari Gunung Krakatau. Dari sekira 3000 orang warga Katimbang, seribu di antaranya tewas akibat hujan abu panas, termasuk bayi 14 bulan anak pasangan Beijerinck. Empasan gelombang laut dari episentrum letusan juga bergerak ke arah pesisir pantai wilayah lainnya.
Dari kesaksian Ong Leng Yauw, warga Karangantu Banten, sebagaimana dikutip dari makalah Romi Zarman, “Letusan Krakatau 1883 dan Korban-korbannya di Desa Nelayan Karangantu Banten: Kesaksian Ong Leng Yauw” dalam jurnal Wacana Etnik No. 1, vol. 4, April 2013, letusan Krakatau mengakibatkan gulungan ombak setinggi pohon kelapa yang meluluhlantakan bangunan dan menelan ribuan korban jiwa di daerah Banten.
Ong yang saat itu berusia 14 tahun menuturkan sebelum tsunami terjadi, air laut surut sehingga banyak orang lari menuju pantai dengan rasa takjub memunguti ikan yang tergeletak menggelepar. “Koetika Krakatau hampir meletoes itoe aer laoet poenja gerakan ada loear biasa anehnja. Sebentar soeroet begitoe djaoeh ka tengah hingga dasar laoetan seperti kering, dan banjak orang toeroen ka tengah aken djoempoetin ikan-ikan jang bergeletakan, dan kamoedian dateng ombak bergoeloeng-goeloeng satinggi poehoen kelapa jang mendampar sampe djaoeh ka tengah daratan,” ujar Ong mengenang kembali kejadian tersebut pada 1937, saat dia berusia 68 tahun.
Desa Karangantu terletak di pesisir utara Banten, kini termasuk wilayah Kota Serang. Karangantu adalah pelabuhan nelayan di muara sungai Cibanten yang masih berada di dalam areal kota lama Kesultanan Banten. Ong selamat dari terpaan gelombang tsunami karena tersangkut pada sebatang pohon. Saat tsunami surut, dia menemukan seluruh wilayah Karangantu rata dengan tanah, termasuk rumah orangtuanya.
Kenangan bencana Krakatau juga bisa tersua di dalam memoar PAA Djajadiningrat, mantan bupati Serang kelahiran 1875, yang salah satu keluarganya juga menjadi korban. Djajadiningrat menuturkan pamannya yang bertugas di Anyer kehilangan anak-istrinya akibat tersapu gelombang tsunami Krakatau. Dia bisa selamat dari amukan Krakatau dengan berlari menyelamatkan diri ke atas perbukitan di sekitar Anyer.
Simon Winchester dalam bukunya Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 menjelaskan letusan Krakatau bukanlah peristiwa alam biasa yang tak hanya mendatangkan akibat lebih jauh dari sekadar kehancuran fisik dan hilangnya jiwa manusia. Ia juga menimbulkan dampak sosial dan politik bahkan temuan teknologi komunikasi.
Pendapat Simon bukan yang satu-satunya. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebutkan letusan Krakatau merupakan salah satu penyebab terjadinya pemberontakan petani Banten pada 1888. Bencana tersebut telah menyebabkan kegagalan panen dan maraknya wabah penyakit yang semakin mengakumulasi kemarahan rakyat pada otoritas kolonial.
Meletusnya Gunung Krakatau yang memicu tsunami besar pada 1883 dan menelan puluhan ribu korban jiwa ternyata bukan peristiwa erupsi terbesar gunung yang tertanam di Selat Sunda ini. Jauh sebelumnya, Gunung Krakatau Purba pernah meledak amat hebat. Efeknya konon sampai membelah Pulau Jawa dan melahirkan Pulau Sumatra (Sumatera).
Dalam naskah Jawa kuno bertajuk Pustaka Raja Parwa, diperkirakan ditulis pada awal abad ke-5 M, tertulis: “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datang badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia.”
“Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatra,” demikian catatan yang termaktub dalam naskah itu.
Berend George Escher, ahli geologi Belanda, menyimpulkan, Gunung Batuwara yang disebut dalam naskah kuno Pustaka Raja Parwa adalah Gunung Krakatau Purba. Guru Besar Universitas Leiden yang wafat pada 11 Oktober 1967 ini memang kerap meneliti gunung-gunung api di Nusantara, termasuk Krakatau, Kelud, Galunggung, Merapi, dan lainnya.
Krakatau Purba Meledak
Dampak letusan dahsyat Gunung Krakatau Purba dirasakan hingga ke berbagai penjuru dunia. Bahkan, simpul David Keys dalam risetnya bertajuk Catastrophe: An Investigation Into the Origins of the Modern World (2000), peristiwa vulkanik di Asia Tenggara itu terkait dengan bencana alam yang menyebabkan perubahan besar di Eropa selama abad ke-6 dan ke-7 M.
Tinggi Gunung Krakatau Purba lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki lingkaran pantai mencapai 11 kilometer. Letusan pada abad ke-5 itu berlangsung sekitar 10 hari dan memuntahkan material erupsi mencapai 1 juta ton per detik. Kala itu, Selat Sunda belum ada dan Gunung Krakatau Purba masih berdiri di Pulau Jawa.
Letusan Gunung Krakatau Purba, secara langsung atau tidak, diyakini bertanggungjawab atas terjadinya berbagai peristiwa besar. Peradaban kuno macam Persia purba di Asia Barat, Nazca di Amerika Selatan, juga Maya di Amerika Tengah, mengalami keruntuhan. Juga melemahnya Kekaisaran Romawi yang kemudian digantikan Kerajaan Byzantium.
Suhu udara yang terus-menerus mendingin pasca-erupsi Gunung Krakatau Purba memicu mewabahnya penyakit sampar bubonic dan mengurangi jumlah penduduk di berbagai tempat di dunia secara signifikan.
Dikutip dari buku Disaster and Human History (2009) karya Benjamin Reilly, iklim yang tidak menentu itu menyebabkan maraknya wabah pes di sejumlah kawasan, terutama di Afrika bagian timur, dan menimbulkan kerugian besar bagi manusia.
David Keys (2000) merumuskan beberapa kesimpulan terkait letusan Gunung Krakatau Purba. Salah satunya, ledakan tersebut berdaya sangat besar dan mengguncang Jawa. Akibatnya, sebagian tanah ambles yang membentuk Selat Sunda serta membelah sebagian Pulau Jawa yang melahirkan Pulau Sumatera.
Gunung Krakatau Purba hancur setelah erupsi dahsyat pada abad ke-5 itu dengan menyisakan kaldera atau kawah besar di bawah laut. Tepi kawahnya membentuk tiga pulau, yakni Pulau Rakata, Pulau Panjang (Pulau Rakata Kecil), dan Pulau Sertung.
Setelah itu, mulai terbentuk Gunung Krakatau baru yang kelak juga meledak hebat serta hancur pada 1883. Di lokasi bekas berdirinya Gunung Krakatau Purba dan Gunung Krakatau lanjutannya di Selat Sunda, lahirlah Gunung Anak Krakatau yang kini sedang meningkat aktivitasnya dan sempat memicu tsunami pada 22 Desember 2018 lalu.