IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Tiga UU Pendidikan Yang Pernah Diberlakukan Di Indonesia

Sejak merdeka, Indonesia dicatat pernah menerapkan 3 UU Pendidikan. Semua UU Pendidikan itu masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan.

Ketiga UU Pendidikan tersebut adalah UU No.4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, terdapat sejumlah UU lain yang lebih khusus, yaitu UU No. 22/1961 tentang Perguruan Tinggi, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Satu lagi undang-undang yang pernah ada tapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) adalah UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Secara umum diskripsi singkat ketiga UU Pendidikan yang pernah diterapkan di Indonesia tersebut adalah sebagai berikut.

1. UU No. 4 Tahun 1950

UU No. 4 Tahun 1950 merupakan UU tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Ini adalah UU Pendidikan yang pertama. UU ini terdiri dari 17 bab dan 30 pasal.

Pada Bab I Aturan Umum Pasal 1 dikatakan:
(1) Undang-Undang ini berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah.
(2) Jang dimaksud dengan pendidikan dan pengadjaran di sekolah ialah pendidikan dan pengadjaran jang diberikan bersama-sama kepada murid-murid jang berdjumlah sepuluh orang atau lebih.

Sedangkan Pasal 2:
(1) Undang Undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengadjaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat.
(2) Pendidikan dan pengadjaran disekolah-sekolah agama dan pendidikan masjarakat masing-masing ditetapkan dalam undang-undang ini.

Pasal 3 menjelaskan mengenai tujuan pendidikan. Dikatakan bahwa: ”Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang tjakap dan warga Negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air”.

Pasal 4 menyatakan bahwa: ”Pendidikan dan pengadjaran berdasar atas azas-azas jang termaktub dalam “Pantja sila”, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudajaan kebangsaan Indonesia”.

Berdasarkan bunyi pasal 1-4 di atas, nampak bahwa posisi UU No. 4/1950 itu amat jelas, yaitu hanya membatasi diri berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah dan tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat, karena untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama dan pendidikan masyarakat, ditetapkan dengan UU tersendiri.

Rumusan mengenai tujuan pendidikan dalam UU No. 4/1950 juga amat sederhana, jelas, dan indikatif (susila, cakap, demokratis, dan bertanggung jawab), serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat maupun tanah air. Demikian pula rumusan mengenai dasar pendidikan dan pengajaran, tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 saja, tapi juga pada kebudayaan kebangsaan Indonesia.

Undang-undang yang disusun pada masa Pemerintahan RIS ini juga amat menjunjung tinggi semangat kebhinekaan sehingga menjadi sangat toleransi terhadap keberadaan sekolah-sekolah yang didirikan oleh kelompok masyarakat sebagai bagian integral dari syiar agama mereka, seperti yang terlihat jelas pada pasal 13 ayat (1) yang menyatakan: Atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama untuk kejakinan hidup, maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikulir.

Sedangkan persyaratan menjadi guru diatur dalam pasal 15 dan 16 yang menyatakan: ”Sjarat utama untuk menjadi guru, selain idjazah dan sjarat-sjarat jang mengenai kesehatan djasmani dan rochani, ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberi pendidikan dan pengadjaran seperti jang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang ini”. Sedangkan pasal 16 menyatakan: “Di dalam sekolah guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau kejakinan hidup”.

Semangat kebebasan warga untuk memilih suatu agama itu diatur dalam pasal 20:
(1) Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan peladjaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti peladjaran tersebut.
(2) Tjara menyelenggarakan pengadjaran agama di sekolah-sekolah Negeri diatur dalam peraturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan bersama-sama dengan Menteri Agama.

Semangat yang sama tercermin dalam UU No. 22/1961 tentang Perguruan Tinggi pasal 9 ayat (2) butir (b) yang menyatakan bahwa: “Pada PTN diberikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta, apabila menyatakan keberatannya”.

Sementara itu pemberian otonomi terhadap sekolah-sekolah swasta tercermin dari pasal 26 yang mengatur mengenai hari libur:
(1) Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan menetapkan untuk tiap djenis sekolah Negeri hari-hari liburan sekolah, dengan mengingat kepentingan pendidikan, faktor musim, kepentingan agama, dan hari-hari raja kebangsaan.
(2) Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan menetapkan untuk tiap djenis sekolah Negeri djumlah sekurang-kurangnya dari pada hari sekolah satu tahun.
(3) Sekolah-sekolah partikulir dapat mengatur hari liburannja sendiri dengan mengingat jang termaktup dalam ajat (1) dan (2) pasal ini.

Sikap pemerintah yang memberikan otonomi kepada sekolah-sekolah swasta itu juga tercermin pada Penetetapan Presiden RI No 19 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Pancasila. Pasal 5 menyatakan: “Pengkhususan Sistem Pendidikan Nasional diperkenankan sesuai dengan ”aliran” politik dan keyakinan Agama yang dianutnya masing-masing dalam rangka Pancasila-Manipol/Usdek sebagai satu kesatuan”.

Mengenai kewajiban belajar, pasal 10 secara gamblang mengatakan:
(1) Semua anak-anak jang sudah berumur 6 tahun berhak dan jang sudah berumur 8 tahun diwadjibkan belajar disekolah, sedikitnja 6 tahun lamanja.
(2) Beladjar disekolah agama jang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewadjiban belajar.
(3) Kewadjiban itu diatur dalam undang-undang jang tersendiri.

Undang-Undang No. 4/1950 ini juga memiliki komitmen yang tinggi untuk murid-murid tidak mampu, seperti tercermin dalam pasal 19 yang menyatakan:
(1) Murid-murid yang ternjata pandai tetapi tidak mampu membayar biaja sekolah, dapat menerima sokongan dari Pemerintah, menurut aturan-aturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan.
(2) Untuk beberapa matjam sekolah dapat diadakan peraturan pemberian sokongan kepada murid-murid, dengan perdjandjian bahwa murid-murid itu sesudah tamat belajar akan bekerja dalam djawatan Pemerintah untuk waktu jang ditetapkan.

Pada Bab XIV yang membahas mengenai uang Sekolah Dan Uang Alat-Alat Pelajaran dikatakan sebagai berikut. Di sekolah-sekolah rendah dan sekolah luar biasa tidak dipungut uang sekolah ataupun uang alat-alat peladjaran (pasal 22). Di semua sekolah Negeri, ketjuali sekolah rendah dan sekolah luar biasa, murid-murid membajar uang sekolah jang ditetapkan menurut kekuatan orangtuanja (pasal 23). Untuk pendidikan pada beberapa sekolah menengah dan sekolah kepandaian (keahlian) murid-murid membayar sedjumlah uang pengganti pemakaian alat-alat peladjaran (pasal 24). Sedangkan pasal 25 menyatakan: Murid-murid jang ternyata pandai, tetapi tidak mampu membajar uang sekolah dan uang alat-alat peladjaran, dapat dibebaskan dari pembajaran biaya itu. Aturan tentang pembebasan ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudayaan.

Dari Pasal 22-25 tersebut, memperlihatkan komitmen Pemerintah pada pendidikan gratis, khususnya untuk tingkat SD, sekaligus juga komitmennya terhadap murid-murid yang tidak mampu, bahwa mereka dapat dibebaskan dari pembayaran biaya sekolah.

2. UU No. 2 Tahun 1989

Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan revisi UU No. 4/1950, Junto UU No. 12/1954. UU terdiri dari 20 bab dan 59 pasal.

Pada pasal 2 dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.

Adapun rumusan tujuan pendidikan terdapat dalam pasal 4 yang menyatakan : “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Pengaturan mengenai peserta didik ada dalam Bab VI pasal 23-26, yaitu Pendidikan Nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik (pasal 23 ayat 1). Pasal 24, setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut:
1. Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
2. Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
3. Mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
4. Pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki.
5. Memperoleh penilaian hasil belajarnya.
6. Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
7. Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Sedangkan Pasal 25:
1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Mematuhi semua peraturan yang berlaku.
3. Menghormati tenaga kependidikan.
4. Ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban, dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pada pasal 26, peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.

Jika diperbandingkan dengan UU No. 4/1950 sebelumnya, terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Dalam UU No. 4/1950 tampak jelas komitmen Pemerintah untuk memberikan dukungan pembiayaan bagi murid-murid yang tidak mampu. Juga memberikan kemerdekaan kepada setiap anak untuk mengikuti pendidikan agama atau tidak.

Bab VII yang mengatur mengenai Tenaga Pendidik terdiri dari pasal 27 sampai pasal 32 lebih mengatur mengenai tugas, fungsi, status, kewenangan, prosedur pengadaan tenaga pendidik, serta kedudukan dan penghargaan tenaga pendidik. Sama sekali tidak mengatur mengenai relasi guru dengan murid seperti yang diatur dalam Pasal 16 UU No. 4/1950 tersebut.

Mengenai pembiayaan atau pendanaan pendidikan diatur dalam Bab VIII yang berjudul Sumber Daya Pendidikan. Judul ini dimaksudkan tidak hanya membicarakan masalah anggaran saja, tapi lebih umum terkait dengan sumber daya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena judulnya juga kabur, maka rumusan pasalnya mengenai pembiayaan pendidikan juga kabur.

Pasal 33 dan 36 bicara tentang sumber daya pendidikan, tapi pasal 34 bicara tentang buku dan pasal 35 bicara tentang sumber pelajar. Tentu hal yang berbeda antara sumber daya pendidikan dengan sumber belajar tersebut. Pada pasal 33 tersebut mengatakan bahwa: “Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik”.

Sedangkan Pasal 36 menyatakan sebagai berikut. 1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah. 2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan. 3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Mengenai kurikulum, diatur dalam Bab IX pasal 37-39. Pasal 37 itu mengamanatkan bahwa: Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Sedangkan pasal 38 itu mengamanatkan adanya kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan atau yang akrab dikenal dengan sebutan Kurikulum Muatan Lokal.

Sementara itu isi kurikulum dijelaskan dalam pasal 39 yang secara lengkap berbunyi:
1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: a. Pendidikan Pancasila. b. Pendidikan agama. c. Pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang: a. Pendidikan Pancasila. b. Pendidikan agama. c. Pendidikan kewarganegaraan. d. Bahasa Indonesia. e. Membaca dan menulis. f. Matematika (termasuk berhitung). g. Pengantar sains dan teknologi. h. Ilmu bumi. i. Sejarah nasional dan sejarah umum. j. Kerajinan tangan dan kesenian. k. Pendidikan jasmani dan kesehatan. l. Menggambar; serta m. Bahasa Inggris.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Poin krusial dari perdebatan RUU yang kemudian disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 1989 itu adalah penjelasan ayat (2) pasal 28 yang menyatakan: ”Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Ayat (2) pasal 28 itu sendiri berbunyi: ”Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidikan yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan UUD 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar”.

Meskipun menurut mereka yang tahu undang-undang kalimat dalam menjelaskan itu tidak sekuat kalimat dalam undang-undangnya, tapi kenyataannya bunyi penjelasan ayat (2) pasal 28 tersebut telah menimbulkan kehebohan tersendiri, baik terhadap sekolah-sekolah beragama minoritas maupun bagi kekuatan politik yang mendesakkan masuknya kalimat tersebut ke dalam UU Sisdiknas. Setidaknya ada dua respon yang berbeda dari dua kelompok kepentingan yang berbeda pula. Respon yang diberikan oleh para pengelola sekolah-sekolah Kristen/Katolik terhadap regulasi baru tersebut adalah mereka makin membatasi diri dalam penerimaan murid baru. Oleh karena tidak ingin direpotkan oleh dampak dari pelaksanaan aturan tersebut, maka ada dua strategi yang mereka tempuh, yaitu tetap menerima calon murid dari non Kristen/Katolik tetapi disertai dengan pernyataan untuk patuh mengikuti aturan yang ada di sekolah tersebut; atau memilih membatasi calon murid baru dari non Kristen/Katolik dengan alasan tidak ingin direpotkan oleh aturan.

Sedangkan dari golongan yang mengusung ideologi tersebut, bunyi penjelasan ayat (2) pasal 28 tersebut menjadi alat propaganda agar orang-orang yang non Kristen/Katolik tidak menyekolahkan anaknya lagi ke sekolah-sekolah Kristen/Katolik. Propaganda itu berhasil karena didukung oleh iklim politik yang searah. Bersamaan dengan mulai diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1989 tersebut, iklim politik nasional diwarnai dengan pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada Desember 1990 di Malang. Para penentu kebijakan pendidikan nasional pun didominasi oleh mereka yang tergabung ke dalam ICMI, seperti misalnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1998), Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan beberapa eselon dua lainnya. Pada kurun waktu tersebut ditandai dengan pemberlakuan pakaian jilbab sebagai jenis pakaian yang resmi boleh masuk ke sekolah (mulai tahun 1994). Sebelumnya, pakaian jilbab tidak diperkenankan dipakai di sekolah-sekolah negeri. Sampai dengan Tahun Ajaran 1993/1994 masih ada aturan bahwa foto dalam ijazah perempuan harus terlihat kupingnya. Peraturan tersebut secara otomatis ditafsirkan bahwa pakaian jilbab tidak boleh dipakai sebagai seragam resmi di sekolah. Tapi sejak Tahun Ajaran 1994/1995 aturan tersebut dikoreksi, sehingga dengan sendirinya memperbolehkan pakaian jilbab sebagai seragam resmi di sekolah.

Munculnya aturan baru dalam pakaian seragam tersebut memiliki implikasi yang amat jauh terhadap praksis pendidikan di sekolah-sekolah Kristen/Katolik yang semakin eksklusif karena takut akan bayang-bayang yang mungkin muncul bila praksis pendidikan inklusif itu tetap dikembangkan. Kekhawatiran akan berbenturan dengan UU Sisdiknas yang baru itu amat dirasakan sehingga para pengelola sekolah-sekolah Kristen/Katolik memilih jalan aman, menjadi eksklusif; menerima anak-anak Kristen/Katolik saja, kecuali atas dasar kesadarannya yang non Kristen/Katolik itu mengikuti pendidikan agama di sekolah-sekolah Kristen/Katolik.

Reformasi bidang politik yang terjadi pada 22 Mei 1998 berdampak besar terhadap praksis pendidikan nasional dengan keluarnya SKB (Surat Keputusan Bersama) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Juwono Sudarsono) dengan Menteri Agama (Malik Fajar) No. 4/U/SKB/1999 dan No. 570/1999, yang kemudian ditindak-lanjuti dengan keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (Indra Jati Sidi) No. 64/C/Kep/PP/2000 yang mengatur tentang kewajiban murid mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. SKB ini berangkat dari pelaksanaan penjelasan ayat (2) pasal 28 UU Sisdiknas 1989. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) suasana semakin ramai ketika seorang Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Pendididikan dan Kebudayaan (Soenarjo) membubarkan STM yang dikelola oleh Yayasan BOPKRI di Kulon Progo lantaran sekolah tersebut tidak mau melaksanakan SKB tersebut.

3. UU No. 20/2003

UU No. 20/2003 adalah revisi terhadap UU No. 2/1989. Namun revisi ini juga telah menimbulkan kehebohan tersendiri. Pangkalnya adalah keberadaan pasal 13 ayat (1) butir (a) yang mengatur soal hak pendidikan agama bagi setiap murid. Terutama setelah disahkan menjadi pasal 12.

Tapi sesungguhnya kontroversi terhadap penyusunan RUU Sisdiknas yang disahkan menjadi UU No. 20 Tahun 2003 tidak hanya terkait dengan pasal 13 atau setelah disahkan menjadi pasal 12 saja, tapi terkait dengan beberapa hal, seperti proses liberalisasi dan privatisasi pendidikan, tidak adanya istilah guru dalam UU Sisdiknas, dan dihilangkannya Pendidikan Pancasila sebagai kurikulum wajib. Karena adanya berbagai konflik kepentingan itulah yang membuat proses penyusunan UU Sisdiknas 20/2003 menjadi amat heboh. Ada beberapa kelompok yang bertarung dalam proses penyusunan UU Sisdiknas 20/2003 tersebut, antara lain:

Kelompok pertama, para pengelola sekolah-sekolah Kristen/Katolik yang merasa semakin terancam eksistensi sekolahnya bila pasal 13 ayat (1) dalam draf RUU tersebut disahkan. Keresahan yang mereka hadapi saat itu adalah bila pasal tersebut disahkan, maka konsekuensinya mereka hanya menerima murid-murid yang memiliki kesamaan agama dengan agama yang dianut pendiri yayasan/sekolah. Kalau mereka menerima murid yang memiliki agama berbeda, konsekuensinya mereka harus menyediakan guru agama sesuai dengan yang dianut oleh murid. Kebijakan ini tentu selain bertolak belakang dengan misi sekolahnya, juga menambah biaya guru. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendirian sekolah-sekolah swasta berbasis agama adalah bagian dari syiar agama mereka. Kalau mereka harus menyediakan guru agama yang berbeda dengan agama mereka, ini sama artinya mendelegitimasi misi mereka sendiri. Dalam Pasal 13 UU No. 4/1950, Pemerintah menjamin kekhususan tersebut, tapi dalam UU No. 20/2003 dihancurkan. Para pengurus yayasan ini berkolaborasi dengan kekuatan mahasiswa dan aktivis yang concern pada gerakan membangun keragaman.

Media massa sendiri memiliki andil dalam menciptakan kesan bahwa masalah krusial RUU Sisdinas terletak pada pasal 13 saja. Sebagai contoh, ada koran yang hanya memberitakan yang pro-pro saja, sedangkan yang kontra tidak. Tapi juga ada koran yang hanya memberitakan kontranya saja, yang pro tidak diberitakan. Padahal senyatanya tidak sesederhana itu. Di antara yang kontra itu juga banyak sekali yang beragama Islam dan taat menjalankan agamanya. Sebaliknya di antara yang pro juga ada orang Kristen/Katoliknya. Karena ada peran media massa yang tidak sehat tersebut, maka perdebatan tentang RUU Sisdiknas juga tidak sehat. Kelompok pro seolah-olah merepresentasikan kelompok Islam, sedangkan mereka yang kontra yang seolah-olah merepresentasikan kelompok non Muslim, utamanya Kristen/Katolik.

Simplifikasi persoalan RUU Sisdiknas 2003 hanya pada Pasal 13 ayat 1 butir a itu amat berbahaya bagi pendidikan nasional maupun untuk kehidupan berbangsa, karena selain menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan agamanya, juga tidak menyentuh perbaikan substansi pendidikan nasional. Yang pasti, pembahasan terhadap pasal-pasal yang bersifat liberalistik dan privatisasi justru lancar karena konsentrasi publik hanya pada pasal 13 saja.

Kelompok kedua, yang turut meramaikan perdebatan RUU Pendidikan 2003 adalah para aktivis mahasiswa dan LSM yang concern pada masalah pendidikan dan mereka membaca adanya kecenderungan negara melepaskan tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan dan cenderung meliberalisasi serta memprivatisasi pendidikan. Hal itu terlihat jelas dari rumusan mengenai pembiayaan pendidikan, amanat pembentukan badan hukum pendidikan yang kemudian ditindak-lanjuti dengan keluarnya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap daerah yang kelak melahirkan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).

Sebagai contoh, pasal 46 dan 47 yang mengatur pendanaan dirasakan kabur dan kontradiktif. Pasal 46 ayat (1) menyatakan, Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Ayat (2) menyatakan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bila mengacu pada Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan anggaran pendidikan itu 20% dari APBN/APBD semestinya (1) tegas bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab negara, sehingga pasal 47 ayat (2) yang berbunyi: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, tidak diperlukan.

Kelompok ketiga, yang berkepentingan dengan RUU Sisdiknas pada saat itu adalah kelompok guru, baik yang terorganisasi dalam organisasi guru (PGRI, FGII, dll), maupun individual yang concern karena dalam RUU Sisdiknas tersebut dan sampai disahkan menjadi UU Sisdiknas tidak ditemukan kata guru. Kata guru telah diganti dengan tenaga pendidik, padahal makna filosofisnya jelas berbeda, istilah guru lebih bermakna filosofis, bukan fungsional semata.

Kelompok keempat, yang turut menambah riuh dari perdebatan RUU Sisdiknas 2003 adalah mereka yang memiliki kepedulian tinggi pada keberadaan dasar negara Pancasila, yang dalam UU Sisdiknas 2003 tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib. Secara institusional, akademisi yang banyak bersuara tentang nasib Pendidikan Pancasila itu adalah para akademisi dari UGM dan pengajar mata kuliah Pancasila di semua perguruan tinggi. UGM memang memiliki Pusat Studi Pancasila dan juga memiliki Fakultas Filsafat yang di dalamnya mendalami tentang filsafat Pancasila. Oleh karena itu mereka merasa prihatin sekali ketika Pancasila tidak menjadi mata pelajaran/mata kuliah wajib lagi.

Keempat kelompok tersebut, baik sendiri-sendiri maupun berkolaborasi menyuarakan penolakan terhadap RUU Sisdiknas. Dan kini tengah disusun UU Pendidikan baru. Namun dalam pemberitaan di media masa terbaru, RUU Pendidikan tersebut dicatat tidak memasukkan Pendidikan agama dengan diganti akhlak dan budaya.*

Penulis: Irawan Djoko Nugroho


Sumber:
Draft Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbudiknas) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah akademik ini disusun oleh: Yayasan Suluh Nuswantoro Bakti (YSNB).

Bagikan ya

Leave a Reply