Judul di atas merupakan sebuah judul yang seperti hendak menyitir pernyataan kekecewaan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebelumnya, yaitu: “aneh negara zonder tentara”. Serupa tapi tidak sama, kekecewaan karena negara Indonesia seperti era Oerip, telah melangkah ke arah yang tidak seharusnya.
Pada saat ini, hampir semua sepakat bila keterpurukan Indonesia, salah satunya disebabkan oleh faktor budaya yaitu lemahnya karakter bangsa. Karakter bangsa merupakan perwujudan dari nilai-nilai luhur bangsa yaitu Pancasila, yang merupakan pengejawantahan dari konsep religiositas, humanitas, nasionalitas, sove-reinitas dan sosialitas.
Dan hampir semua juga sepakat, jika jalan keluarnya adalah semua pihak harus bergandengan tangan untuk menempatkan “budaya sebagai panglima” di Indonesia. Adapun caranya adalah dengan menghadirkan kembali karakter bangsa terutama pada para pendidik, tenaga kependidikan, dan para pemimpin masyarakat. Tanpa hal tersebut, keterpurukan Indonesia bahkan dapat terus berlanjut sampai titik terendah.
Kepribadian Ganda Dalam Berbudaya
Namun sayangnya, menghadirkan budaya sebagai panglima pada dasarnya tidak semudah membalik tangan. Hal ini karena sesungguhnya Budaya Indonesia seperti didesain tanpa sangsi budaya. Sebagai akibatnya kepribadian ganda dalam berbudaya menjadi sebuah penyakit menular yang terus menyerang siapa saja, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Salah satu kepribadian, demikian menekankan pentingnya memperkuat budaya bangsa. Beberapa slogan utamanya adalah sebagai berikut. NKRI Harga Mati, Bhinneka Tunggal Ika, Perkuat Toleransi Bangsa, Saya Indonesia Saya Pancasila, dan Membangun Kebudayaan Asli Bangsa.
Namun demikian, kepribadian lainnya membiarkan pelemahan bangsa. Baik seperti melalui pelemahan hukum, memperbesar impor dan korupsi. Di samping itu, juga membuka peraturan yang menguntungkan investor, membiarkan suku bunga tertinggi di dunia bagi UMKM sehingga daya saing menurun, dan menutup mata bila budaya Indonesia saat ini adalah budaya Barat seperti ilmu pengetahuan, kesehatan, pendidikan, militer, hingga sistem bernegara.
Kepribadian ganda dalam berbudaya tersebut, pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah paradoks budaya. Paradoks yang hingga saat ini semakin banyak dijumpai. Dan para pemilik kepribadian ganda dalam berbudaya tersebut, uniknya tidak lagi melihatnya sebagai sebuah tabu yang harus dihindari. Namun, ia telah menjelma menjadi sebuah kewajaran semata.
Budaya Gagal Versus Budaya Malu
Ada slogan RRI sangat terkenal hingga saat ini, yaitu Sekali di Udara, Tetap di Udara. Slogan ini mewakili budaya masa lalu yang dicerminkan dalam peribahasa ‘Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang’. Maknanya sama, budaya Indonesia yang dikembangkan hingga saat ini, lebih didesain sebagai takut gagal dan bukan budaya malu.
Pada slogan ‘Sekali di Udara, Tetap di Udara’, dapat dibaca bahwa kepentingan tertinggi hanya tetap dapat terus mengudara sekalipun konten cerita atau acara di bawah standar atau hanya diulang-ulang. Konten cerita atau acara di bawah standar atau hanya diulang-ulang, bukanlah tabu yang menjadikan diri seseorang dirundung malu yang membuat dirinya mengundurkan diri sebagai pernyataan gagal dalam bertugas. Dalam realitasnya, gagal mengudaralah yang ternyata berimplikasi pada indikasi kegagalan dalam bertugas.
Dalam konteks lain juga sama. Tentang hutang negara misalnya. Meningkatnya hutang negara dianggap tidak lagi tabu. Ia bahkan menunjukkan suatu negara tetap dipercaya investor dengan masih diperbolehkannya menghutang. Seberapa pun hutang yang ada, tidak akan menimbulkan tabu yang menunjukkan seseorang dianggap tidak bisa bekerja. Tabu atau masalah baru muncul kala tidak lagi diperbolehkan hutang. Karenanya, membangun negara tanpa hutang yang menyejahterakan rakyat, menjadi bukan lagi orientasi bernegara pada saat ini.
Membangun Sangsi Budaya
Kepribadian ganda dalam berbudaya tersebut di atas, sesungguhnya merupakan sebuah penyakit yang mau tidak mau harus diobati. Sebagaimana penderita kepribadian ganda, penyakit ini mendorong penderitanya untuk melakukan percobaan bunuh diri. Dalam kepribadian ganda dalam berbudaya maknanya adalah mendorong melakukan dan membiarkan negara tidak berjalan sesuai amanah konstitusi dan Pancasila. Penyakit yang tentu saja sangat membahayakan.
Menurut para ahli, metode pengobatan pada kepribadian ganda adalah psikoterapi dalam jangka panjang. Tujuan psikoterapi adalah untuk menyatukan kembali seluruh kepribadian yang terpecah. Pada kepribadian ganda dalam berbudaya, kiranya juga sama. Perlu dilakukan psikoterapi dalam jangka panjang. Psikoterapi ini dilakukan dalam bentuk sangsi budaya yang tentu saja tidak bisa instan, guna membuat pelakunya jera.
Sangsi ini selain sesuai proses hukum, juga harus memutus semua penghormatan dan respek yang pernah diberikan kepadanya. Cap gagal, tidak bersama rakyat, bahkan khianat kepada konstitusi harus mengiringinya, sehingga membuat seseorang yang melakukakan kepribadian ganda dalam berbudaya, tidak lagi menjadi barometer orang sepeninggalnya. Biarpun berat, namun hal tersebut kiranya akan dapat menyatukan kembali seluruh kepribadian yang terpecah. Muaranya akan terjadi satu kata dan satu perbuatan dalam bernegara, dan terlaksananya amanah konstitusi dan Pancasila sesuai jalurnya.*
Penulis: Irawan