Jagung adalah salah satu sumber makanan rakyat yang ada di nuasantara maupun di dunia. Jagung berfungsi sebagai salah satu makanan pokok yang digemari di Indonesia.
Selain di gunakan kan sebagau makanan pokok jagung juga dapat di jadi laukpauk dan camilan yang cukup populer di Indonesia dan di dunia.
Ia menyebut dalam karyanya, pernah mengisahkan adanya sebuah kisah yang terjadi di ladang jagung. Pembacanya yang sangat kritis, kemudian membulinya atas kisah tersebut. Tidak benar kata pembaca tersebut, jagung telah ada di era Majapahit. Sekalipun ia dapat menerangkan kepada pembacanya bahwa karyanya sebagai sebuah fiksi, namun rasa penasarannya masih terlihat mengemuka sehingga ia menyempatkan diri bertanya kepada saya, menurut data filologisnya. Benarkah jagung sudah dikenal pada era Majapahit?
Asal Usul Jagung
Secara umum, sejarah asal usul jagung ternyata sangat kompleks. Menurut R. Neni Iriany, M. Yasin H.G., dan Andi Takdir M dalam “Asal, Sejarah, Evolusi, dan Taksonomi Tanaman Jagung”, Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, teori asal usul jagung berasal dari 3 tempat. Asia, Andean, dan Meksiko.
- Teori Asal Asia
Tanaman jagung yang ada di wilayah Asia diduga berasal dari Himalaya. Hal ini ditandai oleh ditemukannya tanaman keturunan jali (jagung jali, Coix spp.) dengan famili Andropogoneae. Kedua spesies ini mempunyai lima pasang kromosom. Namun teori ini tidak mendapat banyak dukungan.
- Teori Asal Andean
Tanaman jagung berasal dari dataran tinggi Andean Peru, Bolivia, dan Ekuador. Hal ini didukung oleh hipotesis bahwa jagung berasal dari Amerika Selatan dan jagung Andean mempunyai keragaman genetik yang luas, terutama di dataran tinggi Peru. Kelemahan teori ini adalah tidak ditemukan kerabat liar jagung seperti teosinte di dataran tinggi tersebut. Mangelsdorf seorang ahli biologi evolusi yang mengkhususkan perhatian pada tanaman jagung menampik hipotesis ini.
- Teori Asal Meksiko
Banyak ilmuwan percaya bahwa jagung berasal dari Meksiko, karena jagung dan spesies liar jagung (teosinte) sejak lama ditemukan di daerah tersebut, dan masih ada di habitat asli hingga sekarang. Hal ini juga didukung oleh ditemukannya fosil tepung sari dan tongkol jagung dalam gua, dan kedua spesies mempunyai keragaman genetik yang luas. Teosinte dipercaya sebagai nenek moyang (progenitor) tanaman jagung.
Jagung yang dianggap berasal dari Meksiko, didasarkan pada petunjuk-petunjuk arkeologi budidaya jagung primitif di bagian selatan Meksiko, Amerika Tengah, sejak 7 000 tahun lalu. Sisa-sisa tongkol jagung kuno yang ditemukan di Gua Guila Naquitz, Lembah Oaxaca berusia sekitar 6250 tahun; tongkol utuh tertua ditemukan di gua-gua dekat Tehuacan, Puebla, Meksiko, berusia sekitar 3450 SM, (“Origin, History and Uses of Corn“. Iowa State University, Department of Agronomy. 11 Februari 2014; Roney, John (2009). “The Beginnings of Maize Agriculture“. Archaelogy Southwest 23 (1):4, lihat wikipedia). Bangsa Olmek dan Maya ditengarai sudah membudidayakan di seantero Amerika Tengah sejak 10 000 tahun yang lalu dan mengenal berbagai teknik pengolahan hasil. Teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7 000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru pada 4 000 tahun yang lalu. Pada saat inilah berkembang jagung yang beradaptasi dengan suhu rendah di kawasan Pegunungan Andes, (Bakalar, Nicholas. Corn, Arrowroot Fossils in Peru Change Views on Pre-Inca Culture. National Geographic News. Edisi 2 Maret 2006, lihat wikipedia). Sejak 2500 SM, tanaman ini telah dikenal di berbagai penjuru Benua Amerika, (Roney, John (Winter 2009). “The Beginnings of Maize Agriculture“. Archaeology Southwest. 23 (1): 4, lihat wikipedia).
Jagung di Nusantara
Jagung masuk Nusantara diperkirakan pada abad ke-16 oleh penjelajah Portugis, (Milho, Makk, and Yu Mai: Early journey of maize to Asia. Chapter 6: Maize in the southeast Asian archipelago and Australia, lihat wikipedia). Akibat riwayat yang cukup tua ini, berbagai macam nama dipakai untuk menyebutnya. Kata “jagung” menurut Sejarawan Denys Lombard merupakan penyingkatan dari jawa agung, berarti “jewawut besar”, (Lombard, D. 1996. Jaringan Asia. Penerbit Gramedia. p. 263, lihat wikipedia), nama yang digunakan orang Jawa dan diadopsi ke dalam bahasa Melayu. Beberapa nama lokal adalah jagong (Sunda, Aceh, Batak, Ambon), jago (Bima), jhaghung (Madura), rigi (Nias), eyako (Enggano), wataru (Sumba), latung (Flores), fata (Solor), pena (Timor), gandung (Toraja), kastela (Halmahera), telo (Tidore), binthe atau binde (Gorontalo dan Buol), dan barelle´(Bugis), (Zea mays L.. Laman tanaman obat Departemen Kesehatan, lihat wikipedia). Di kawasan timur Indonesia juga dipakai luas istilah milu, ( Sop jagung “Milu siram” yang menggoda selera. Blog untuk Sup Jagung Siram, lihat wikipedia), yang nyata-nyata merupakan adaptasi dari kata milho, berarti “jagung”, dalam bahasa Portugis.
Sedikit berbeda dengan dengan penjelasan di atas, R. Neni Iriany, M. Yasin H.G., dan Andi Takdir M tidak menyebut asalnya. Mereka hanya mencatat jagung mulai berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1500an dan pada awal tahun 1600an, yang berkembang menjadi tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Mereka juga mengungkapkan ada pendapat yang menyatakan jika jagung telah ada di Filipina sebelum Magellan tiba di negara ini, pada tahun 1521.
Jagung Menurut Kajian Filologis
Jika kita kembali ke dalam sumber asli dari Jawa Kuna, istilah jagung ternyata ditemukan dalam Bhomakāwya 40.3, Arjunawijaya 31.10 dan Parthayajña 12.5. Dalam Parthayajña 12.5, jagung dicatat dalam untaian kalimat sebagai berikut: jawawut jagung jarak. Arti kata jawawut adalah jawawut (Panicum viride), (Zoetmulder, 1995: 418). Jagung atau dengan variasi pengucapan jabung berarti jagung, (Zoetmulder, 1995: 405). Arti kata jarak adalah tumbuh-tumbuhan dari keluarga Euphorbiceae, dalam berbagai varietas (ricinus, jatropha). Dipakai sebagai pagar dan minyak dari bijinya dinyalakan dalam lampu, (Zoetmulder, 1995: 414). Sementara itu dalam Bhomakāwya 40.3 disebutkan sebagai berikut: kubwan ikājawa hana jagung ….
Melalui keterangan di atas, maka dapat dikatakan jagung merupakan tanaman yang sudah dikembangkan dan dimuliakan pada masa Majapahit bahkan jauh sebelumnya. Hal ini karena jagung dicatat dalam Bhomakāwya yang secara umum dimasukkan kedalam karya-karya Kaḍiri, (Zoetmulder, 1983: 404). Sedangkan Arjunawijaya dan Parthayajña adalah karya era Majapahit. Arjunawijaya bahkan digubah pada masa raja Rājasanagara atau Hayam Wuruk, (Zoetmulder, 1983: 429).
Penjelasan tersebut sekaligus menolak pendapat Sejarawan Denys Lombard yang menyatakan jika jagung merupakan penyingkatan dari jawa agung, yang berarti “jewawut besar”. Sebab jagung merupakan bahasa Jawa Kuna. Kata ‘agung’ dalam Jawa Kuna tidak ada. Sangat disayangkan Sejarawan sekelas Denys Lombard tidak bisa membedakan mana bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Baru.
Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan jika penggambaran adanya ladang jagung yang dilukiskan oleh penulis Best Seller Serial Gajah Mada, mas Langit Kresna Hariadi, kiranya tidak keliru. Hal ini karena jagung sudah dikenal di era Majapahit bahkan sebelumnya. Kisah jagung ternyata juga tidak sederhana, sebab kisah ini juga mampu mengungkap pendapat tanpa dasar dari Sejarawan Besar Sekelas Denys Lombard, serta pendapat yang membesarkan penjelajah Portugis tanpa melihat data pembanding sebelumnya.*
Adhie Cahyono/Irawan JK