IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Pengaruh Budaya Majapahit di Bugis

Banyak yang menyangka, Majapahit tidak memiliki pengaruh di Indonesia Timur dalam hal budaya. Pendapat tersebut tentu tidak benar.

Dalam Seminar Cerita Panji sebagai Warisan Budaya Dunia yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI Jakarta tanggal 28-28 Oktober 2014, ditemukan adanya adopsi kisah Panji di Bugis. Kisah Panji dalam Lontara Bugis-Makassar dikenal dengan judul Kelana Gunung Pere’.

Isi Cerita Kelana Gunung Pere’

Isi Cerita Kelana Gunung Pere’ yang ditulis dengan aksara Lontara’ dengan bahasa Bugis ini adalah sebagai berikut.

Seorang Kelana pertapa dari Palembang bernama Kelana Gunung Pere’ merantau ke Jawa untuk menaklukkan semua negeri di Jawa. Negeri pertama yang ditaklukkan adalah Kabakuneng, Tigale, Baluba, Pajenaka, Wawalangi dan Kabangcumati. Ia juga mengalahkan Mataram. Raja Sangamata Singosari mengutus Partawiraja untuk menjumpai Kelana Gunung Pere’ dan sekaligus melihat keadaan pasukannya.

Kelana Gunung Pere’ mengutus Bapasangawale untuk membawa surat kepada Raja Sangamata yang isinya agar beliau menyerahkan putrinya. To Manggong menghadap Raja Sangamata dan menyampaikan bahwa ia sanggup melawan Kelana Gunung Pere’ dan bersedia pula menggantikan Tuan Putri. To Manggung merubah dirinya menjadi seorang perempuan cantik dan Kelana Gunung Pere’ pun jatuh cinta padanya.

Karena cintanya kepada Aria Parabasa maka Kelana Gunung Pere’ menunjukkan letak kematiannya. Akhirnya Kelana Gunung Pere’ pun dapat dikalahkan, sehingga ibukota Kerajaan Singosari tidak jadi diserang.

Adaptasi Cerita Panji di Bugis

Dalam penyalinan cerita Panji, pallontara (penyalin) naskah lontara Bugis Makassar mengadaptasi unsur-unsur lokal dalam cerita tersebut. Misalnya anakarung (putra-putri bangsawan), To mabbicara (juru bicara), dan ponggawa (pemimpin). Selain itu tokoh sentral Tumenggung dalam istilah bahasa Jawa juga diadaptasi menjadi To Manggong sebagai tokoh lokal masyarakat Bugis Makassar.

Dengan adanya adaptasi tersebut, cerita Panji kemudian diterima di kalangan masyarakat Bugis. Para passure (pembaca naskah) menjadikannya senandung penting dikalangan masyarakat Bugis. Hal ini karena mereka menganggap bahwa To Manggung, sesungguhnya adalah seorang pahlawan dari Bugis.

Menurut H. Ahmad Saransi, adaptasi cerita Panji di Bugis merupakan bagian dari ‘memori kolektif’ yang menjadi benih tumbuhnya satu kesadaran bersama yang melahirkan suatu tingkah laku kolektif. Faktor ini menjadi embrio bagi lahirnya suatu nation kelak dikemudian hari di Nusantara, (H. Ahmad Saransi, 2014: 7).

Panji Bugis Berawal Dari Majapahit

Adaptasi kisah Panji ke bahasa Bugis menurut H. Ahmad Saransi dilaksanakan sebelum pertengahan abad ke-15, dimana pada saat itu agama Islam berpengaruh kuat di masyarakat Bugis. Hal ini karena dalam studi awal pada naskah Kelana Gunung Pere’, tidak ditemukan suasana Islam dan tidak memakai aksara ha. Aksara ha merupakan adopsi dari huruf Arab, ((H. Ahmad Saransi, 2014: 7).

Karena itu, besar kemungkinannya adaptasi tersebut terjadi pada masa Majapahit. Menurut para ahli, kisah Panji memang berkembang dalam zaman Majapahit, artinya berkembang bersamaan dengan tumbuhnya Majapahit menjadi kerajaan klasik terbesar di Nusantara. Kisah Panji bahkan merupakan simbol kejayaan Majapahit itu sendiri, dan simbol pencapaian peradaban kedaton-kedaton di Jawa bagian timur dalam era Majapahit berkuasa. Kebesaran dan kejayaan Majapahitlah yang sebenarnya menjadikan kisah Panji terkenal di Nusantara bahkan keluar Nusantara, (Agus Aris Munandar & Ninie Susanti, 2014: 10).

Selain diadopsi di Bugis, kisah Panji juga diadopsi di Bali, Lombok, Sumatera, Semenanjung Melayu, Kamboja, Thailand dan Myanmar. Karena kebesaran Majapahit, maka para penduduk wilayah Asia Tenggara rela mengadopsi kisah Panji sebagai salah satu khasanah sastra mereka, (Agus Aris Munandar & Ninie Susanti, 2014: 10).

Adhie Cahyono/Irawan JK

Bagikan ya

Leave a Reply