IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Merakit Kembali Nilai Keindonesiaan

Nilai Keindonesian adalah nilai-nilai yang menyatukan masyarakat suku bangsa di Nusantara guna membentuk dan membangun sebuah negara bangsa modern bernama Indonesia yang setara, mandiri, bermartabat, saling melindungi, memberi manfaat kebaikan secara bersama, serta memiliki peran penting dalam kehidupan dan ketertiban dunia. Dengan Nilai Keindonesiaan ini, masyarakat suku bangsa di Nusantara menjadi bersaudara, dan melepas nilai adat sebelumnya untuk menjadi negara bangsa yang maju (baik bidang industri, kedokteran, pemerintahan, pendidikan, maupun militer) dengan berpondasi pada ilmu pengetahuan modern.

Nilai Keindonesian ini hadir seiring didirikannya negara Indonesia. Puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Dapat dikatakan bila Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seperti sebuah manifesto Restorasi Meiji. Manifesto untuk memodernisasi dan westernisasi dalam berbagai sektor kehidupan. Melalui semangat Nilai Keindonesiaan, Indonesia kemudian saling bergotong royong untuk berbenah diri dan berusaha mandiri serta berusaha mengejar ketertinggalannya dari negara yang telah maju terlebih dahulu. Sepanjang tahun 1945-1950 dengan muaranya lahirnya Mosi Integral M. Natsir tanggal 3 April 1950, Indonesia melakukan perubahan cepat dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, riset, dan teknologi yang tidak pernah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelumnya.

Perlawanan Arus Kedaerahan

Gelombang naiknya semangat Nilai Keindonesiaan pada awalnya mendapat sambutan positif dari para pemilik budaya dari kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelumnya. Mereka dengan suka rela atau terpaksa kemudian melepaskan hak tahtanya demi memenuhi tuntutan masyarakatnya yang tengah menginginkan perubahan.

Karena itu Nilai Keindonesiaan dapat mengalir, tanpa perlawanan kuat dari mereka. Namun kuatnya Nilai Keindonesiaan tersebut ternyata dipandang terlalu membahayakan. Belanda kemudian menghadangnya dengan menghadirkan kembali gelombang Arus Kedaerahan sebagai prasarat Belanda mau menyerahkan kedaulatannya atas wilayah Hindia Timur Belanda.

Hingga Koferensi Meja Bundar (KMB) Pemerintah Belanda yang mendapat tekanan internasional, tetap dengan tegas tidak mengakui Republik Indonesia. Namun mengingat Republik Indonesia yang berbasis Nilai Keindonesian terus tumbuh berkembang, maka Pemerintah Belanda kemudian mengatur siasat untuk meredam Nilai Keindonesiaan sekaligus membuka peluang Belanda kembali ke Indonesia. Pemerintah Belanda dalam KMB kemudian membuat keputusan, di mana di antaranya sebagai berikut.

Pertama. Belanda hanya mau menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir Desember 1949 dan bukan kepada Negara Republik Indonesia. Kedua. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Dalam uni itu, Indonesia dan Belanda akan bekerja sama. Kedudukan Indonesia dan Belanda sederajat. Ketiga. Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar utang-utang Hindia Belanda sebelum tahun 1949.

Keputusan yang tentu sangat merugikan tersebut, terpaksa diterima delegasi Indonesia, karena delegasi Indonesia tidak memiliki nilai tawar lain. Sebab secara militer, Indonesia telah kalah kala ibukota Negara Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda. Sebagai akibatnya, RIS berdiri dan berdasarkan Piagam Konstitusi RIS, terdapat 7 negara bagian serta 9 satuan kenegaraan.

Adapun 7 negara bagian adalah: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan. Sementara itu 9 satuan kenegaraan adalah: Jawa Tengah, Belitung, Kalimantan Barat, Daerah Banjar, Kalimantan Timur, Bangka, Riau, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara.

Dengan berdirinya RIS, tujuan Belanda untuk mengisolasi Nilai Keindonesiaan yang terus menguat seperti mendapat momentumnya. Hal ini karena pertama, Soekarno sebagai Presiden Negara Republik Indonesia kemudian terpilih menjadi Presiden RIS. Kedua, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 mengalami degradasi politik akut. Ia menjadi setara dengan negara bagian lain. Dapat dikatakan, RIS adalah sebuah kemenangan besar atas perang asimetri yang dilakukan Belanda.

Mosi Integral Natsir

Sayangnya harapan tinggi Belanda atas kemenangannya dalam melaksanakan perang asimetri melalui dihadirkannya RIS gagal. Partai Masyumi tetap teguh dalam mengusung Nilai Keindonesiaan yang ada. Perlawanan balik atas perang asimetri segera dilakukan. Melalui Mosi Integral yang digagas M. Natsir, RIS sebagai negara yang telah disetujui PBB dan Belanda dibuat runtuh tanpa perlu pertempuran penyatuan yang berdarah-darah. Bila harus melalui operasi penyatuan, Negara Republik Indonesia dengan Presidennya Mr. Assat seorang anggota pengurus DPP Partai Masyumi, kemungkinan besar akan dapat dipandang sebagai deklarator dan akan mudah dilenyapkan oleh banyaknya negara bagian yang ada, serta dengan dukungan penuh dari pihak Belanda tentunya.

Kemenangan operasi penyatuan RIS tanpa pertempuran, adalah kemenangan mutlak perang asimetri yang ditorehkan dari sebuah usaha diplomatis tanpa melibatkan sama sekali angkatan bersenjata. Sebuah kemenangan riil bangsa Indonesia atas perlawanannya terhadap Belanda. Muhammad Hatta bahkan menyebutnya sebagai sebuah proklamasi kedua. Sayangnya pernyataan Muhammad Hatta tersebut masih kurang tepat. Hal ini karena Mosi Integral memiliki dimensi yang lebih kompleks dari proklamasi pertama. Baik dari sisi hukum maupun sisi lawan yang harus dihadapi. Terlebih para pendiri bangsa pendukung Negara Republik Indonesia juga telah ikut terseret di arus gerbong RIS. Mereka semua seperti telah masuk dalam perangkap perang asimetri, selain karena meninggalkan Nilai Keindonesiaan, juga karena sesungguhnya visi mereka ternyata hanya sebatas kekuasaan. Negara impian mereka yaitu Negara Republik Indonesia secara politik juga telah lenyap, diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia versi M. Natsir.

Mosi Integral sebagai senjata utama dalam menghancurkan perang asimetri yang dilakukan Belanda melalui RIS-nya dan merupakan sebuah kemenangan yang dapat digambarkan dalam pepatah Jawa: Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake. Mosi Integral dari M. Natsir ini, menjadi kemenangan nyata perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda yang sesungguhnya. Sebab peperangan-peperangan yang melibatkan angkatan bersenjata sebelumnya, selalu kandas sehingga Belanda pada akhirnya mampu mendiktekan semua keinginannya dalam perjanjian KMB. Kesamaan harapan guna membentuk dan membangun sebuah negara bangsa modern bernama Indonesia yang setara, mandiri, bermartabat, saling melindungi, memberi manfaat kebaikan secara bersama, serta memiliki peran penting dalam kehidupan dan ketertiban dunia, terlalu sempit bila diusung oleh arus kedaerahan secara kelompok demi kelompok menjadi alasan utama adanya Mosi Integral M. Natsir.

Nilai Keindonesiaan Versus Internasionale

Kembalinya para pemimpin bangsa yang tidak konsisten dalam menjaga Nilai Keindonesiaan serta hanya memiliki visi sebatas kekuasaan untuk memimpin gerbong baru bernama Negara Kesatuan Indonesia yang berbasis Nilai Keindonesiaan, kembali terbukti bermasalah. Mereka seperti telah tercuci pikirannya akibat terperangkap dalam perang asimetri Belanda, sehingga tidak lagi percaya diri terhadap Nilai Keindonesiaan yang dulu pernah diusungnya.

Lahirnya Nasakom adalah puncak bentuk ketidakpercayaan diri tersebut. Partai Komunis Indonesia, sebagai sebuah partai yang mengusung konsep ‘Internasionale’ dan tidak berfokus pada kemandirian sebagai salah satu pilar dasar Nilai Keindonesiaan, masuk dalam poros bersama para pengusung Nilai Keindonesiaan. ‘Internasionale’ pada dasarnya adalah sebuah konsep komunis untuk bersama menjadi bagian guna mendukung hadirnya komunisme internasional. Namun sayangnya karakter komunis yang diusung Partai Komunis Indonesia bukanlah karakter alpha seperti komunis yang dikembangkan Rusia atau Cina, ia hanya berkarakter subordinasi dari karakter alpha.

Para pelajar dan sarjana yang bervisi dan misi komunis di Indonesia, hanya berorientasi untuk mendapat remahan kue dari komunisme yang dikembangkan Rusia dan juga Cina. Sebuah karakter yang tidak lebih seperti karakter ambtenaar kepada pemerintah Belanda pada era pra kemerdekaan. Sebuah sikap yang diupayakan digulung dan dilenyapkan dalam Nilai Keindonesiaan semenjak proklamasi.

Dimasukkannya konsep ‘Internasionale’ tersebut, menariknya ternyata sama seperti upaya Belanda dalam perang asimetrinya. Usaha untuk mengisolasi Nilai Keindonesiaan yang memiliki karakter alpha dengan kemandirian sebagai salah satu pilarnya, guna dipangkas melalui Arus Kedaerahan.

Konsep ‘Internasionale’ sayangnya tidak berhenti kala pemerintah berganti. Pemerintah Orde Baru ternyata tidak memilih berdiri bersama Nilai Keindonesiaan dengan karakter alpha namun meneruskan bersama konsep ‘Internasionale’ dengan karakter subordinasi dari karakter alpha. Demikian pula pada pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintah hasil Reformasi. Hanya saja, ‘Internasionale’ kemudian dimaknai dengan istilah baru ‘globalisasi’.

Ada Arus Kedaerahan Di Balik Gerakan Indigenous Local

Kala Internasionale ataupun globalisasi dikumandangkan, untuk menampakkannya menjadi seakan-akan berwajah Nilai Keindonesiaan, maka kemudian digalakkanlah kembali seni budaya daerah. Baik PKI maupun Orde Baru dicatat aktif melakukan upaya tersebut. PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) misalnya, dicatat menghidupkan seni rakyat tradisional seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang, wayang orang, atau seni batik. Sementara Orde Baru, melalui dihadirkannya lembaga-lembaga kajian kedaerahan seperti misalnya Lembaga Javanologi.

Taktik sederhana bak serigala berbulu domba ini, ternyata mampu membuatnya seperti menghadirkan komunisme ala Indonesia. Di sebut taktik karena wajah komunisme asli sebagaimana digambarkan dalam lirik lagu Internasionale versi terjemahan Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, berorientasi untuk melenyapkan adat dan faham tua. Salah satunya, tentu juga termasuk seni rakyat tradisional.

Taktik ini sesungguhnya hanya untuk menutup wajah asli yang bukan mengutamakan Nilai Keindonesiaan. Karena ujung-ujungnya ternyata sama, kemandirian bangsa digadaikan. Keberhasilan taktik sederhana tersebut, membuat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 kini bukan lagi dipandang menjadi seperti sebuah manifesto Restorasi Meiji.

Sementara itu di era Reformasi, gerakan seakan-akan berwajah Nilai Keindonesiaan dihadirkannya dengan penguatan yang disebut dengan istilah Indigenous Local. Gerakan yang pada dasarnya seperti bentuk Arus Kedaerahan sebagaimana dikumandangkan Belanda dalam perang asimetrinya melawan Negara Republik Indonesia ini, menjadi sebuah strategi menarik massa. Tidak berlebihan bila kemudian terdapat pemimpin daerah atau negara yang dengan bangga berlaku bak punggawa masa lalu kala merayakan pelantikannya. Selain itu juga dengan bangga mempresentasikan kekagumannya secara berlebihan atas budaya daerah yang dianutnya kala menjadi kepala daerah.

Merakit Nilai Keindonesiaan

Istilah merakit Nilai Keindonesiaan adalah sebuah istilah untuk merangkai kembali semangat Nilai Keindonesiaan yang intinya untuk memodernisasi dan westernisasi berbagai sektor kehidupan negara Indonesia secara bergotong royong antara seluruh elemen anak bangsa guna mengejar ketertinggalannya dari negara yang telah maju terlebih dahulu. Semua dengan tujuan mulia terbangunnya kesetaraan, kemandirian, kemartabatan, saling melindungi, memberi manfaat kebaikan secara bersama, serta memiliki peran penting dalam kehidupan dan ketertiban dunia. Sebuah nilai yang bertumpu pada nilai  baik saat ini dan nilai baik masa yang akan datang dan bukan pada nilai masa lalu atau nilai-nilai masa lalu yang dihadirkan kembali.

Banyak hal yang perlu dilakukan kala dalam merakit Nilai Keindonesiaan. Seperti menghadirkan kembali pemahaman secara benar, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 merupakan manifesto bak Restorasi Meiji dengan orientasi utama mengejar ketertinggalan seluruh aspek kehidupan dari negara yang telah maju terlebih dahulu. Kemudian memulai pemahaman secara benar juga bahwa Nilai Keindonesiaan sesungguhnya merupakan nilai-nilai dengan berkarakter alpha yang bertumpu pada kemandirian. Terakhir, melepas pikiran bawah sadar Arus Kedaerahan sebelumnya, untuk segera menjadi negara bangsa yang maju baik bidang industri, kedokteran, pemerintahan, pendidikan, maupun militer dengan berpondasi pada ilmu pengetahuan modern.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didirikan bukanlah kelanjutan dari negara kerajaan-kerajaan di Nusantara yang beorientasi pada indigenous local. Negara ini dihadirkan untuk tumbuh sejajar kembali dengan negara modern dan telah maju terlebih dahulu.

Tidak salah bila Daoed Yoesoef pernah menyatakan bila saat anak Indonesia lahir, ia masih merupakan anak daerah mengacu pada daerah orang tuanya berasal, ia baru menjadi anak Indonesia selepas melalui pendidikan, dan tentu saja Pendidikan Keindonesiaan. Dan yang dimaksud dengan Pendidikan Keindonesiaan adalah pendidikan dalam merakit Nilai Keindonesiaan, sebagaimana disebutkan di atas.*

 

Penulis: Irawan

 

Acuan

  1. Andika Krisna Wijaya, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Surakarta tahun 1950-1965. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
  2. Catatan Awal Hubungan LEKRA-Seni Rupa. (https://simposiumjai.ui.ac.id/author/simposiumjai/page/13/). Diunduh 25/4/2021, jam 13.35.
  3. Danu Damarjati, Mengenal Sejarah Lagu Buruh ‘Internasionale’ Versi Indonesia. (https://news.detik.com/berita/d-4532002/mengenal-sejarah-lagu-buruh-internasionale-versi-indonesia). Diunduh 25/4/2021, jam 13.36.
  4. Ignatius Roni Setyawan, Refleksi Kritis Pembangunan Budaya Pada Era Orde baru dan Reformasi, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni ISSN 2579-6348 (Versi Cetak) Vol. 3, No. 1, April 2019: hlm 1-10.
  5. Zaini Muslim Ahmad, Sikap Politik Soekarno Terhadap Partai Masyumi 1957-1960. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2013.
  6. Ignatius Roni Setyawan, Refleksi Kritis Pembangunan Budaya Pada Era Orde baru dan Reformasi, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni ISSN 2579-6348 (Versi Cetak) Vol. 3, No. 1, April 2019: hlm 1-10.
  7. Nilai Keindonesiaan, Tiada Bangsa Besar Tanpa Budaya Kokoh. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2017.

Sumber gambar:

https://www.weschool.id/langkah-merakit-komputer-lengkap/

Bagikan ya

Leave a Reply