IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Membumikan Kembali Sejarah Kegemilangan Maritim Indonesia

Menurut sejarah terutama hingga abad awal abad ke-15, terdapat 7 zona komersial maritim dunia.  Lima zona dikemukakan Hall dan dua dikemukakan Irawan.

Menurut Hall, lima zona komersial maritim dunia terdapat di Asia Tenggara. Mereka adalah: pertama, zona Teluk Benggala, yang mencakup India Selatan, Sri Lanka, Birma, dan pantai utara Sumatera. Zona kedua adalah kawasan Selat Malaka. Zona ketiga adalah kawasan Laut Cina Selatan, yang mencakup pantai timur Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Vietnam Selatan. Adapun zona keempat adalah kawasan Sulu, yang mencakup daerah Pantai Barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Lalu, zona yang terakhir adalah kawasan Laut Jawa, yang melibatkan kawasan Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara. (1)

Sementara itu menurut Irawan Djoko Nugroho, 2 zona komersial maritim dunia lain adalah sebagai berikut. Pertama, zona  kawasan Laut Arab, yang mencakup Cochin, Malabar Oman, dan Aden. Dan kedua, zona kawasan Laut Merah, yang mencakup Mombasa, Mogadishu, Muza, Berenike, yang berujung ke Alexandria. Dua zona komersial ini juga penting karena produk akhir dari kawasan Asia Tenggara pada akhirnya bermuara ke kawasan Laut Merah untuk kemudian didistribusikan ke seluruh Eropa. (2)

Khusus dari lima komersial pertama, menurut Houben, Laut Jawa merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Karena itu, Laut Jawa memiliki fungsi kohesif yang mengintegrasikan berbagai elemen kehidupan masyarakat yang melingkunginya. (3)  Laut Jawa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi.

Membaca Kembali Sejarah

Sangat menariknya, peranan 7 zona komersial maritim dunia ternyata masih dapat dilihat sampai saat ini. Terlebih kala terusan Suez mulai dibuka. Hingga awal abad 15, semua zona komersial maritim dunia tersebut dikuasai kerajaan-kerajaan Jawa. Terakhir oleh Demak awal.

Semua itu terjadi karena Jawa selain dicatat mendominasi seluruh kawasan komersial juga karena Jawa dicatat sebagai satu-satunya negara yang menjadi pemenang konfik diseluruh kawasan zona komersial. Misalnya Jawa dicatat menang dalam  konflik terbuka antara Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatera, Jawa dengan Kalimantan. Jawa dengan Sulu, Jawa dengan Bali, Jawa dengan Dompo, dan Jawa dengan Sulawesi. Demikian pula Jawa dicatat menang dalam konflik tertutup antara Arab dan Jawa. (4)

Dengan semua kemenangan tersebut, Jawa keluar sebagai pengelola komoditas utama perdagangan kala itu, yaitu rempah-rempah. Tidak berlebihan bila Duarte Barosa mencatatkan jika Jawa menjadi pelaku tunggal export rempah hingga senjata hingga ke Aden, dan bahkan juga Suez. (5)

Untuk mendukung semua itu, pelabuhan-pelabuhan di Jawa sebagaimana catatan Ma Huan, dicatat memiliki fasilitas infrastruktur terlengkap dari pada pelabuhan lain di Asia Tenggara.(6) Jawa juga memiliki pelabuhan terbanyak di dunia (7) serta memiliki teknologi kapal besar terbanyak (8) dan terbaik pada masanya. (9)

Dan ketika Jawa menarik diri dari 7 penguasaan zona komersial maritim dunia era Mataram, semua negara maritim di Nusantara dan juga di Asia Tenggara tidak mampu menggantikannya.

Penarikan diri Jawa sepenuhnya dilakukan melalui Perjanjian antara Sultan Agung dan Belanda. Perjanjian itu berisi larangan bagi rakyat Mataram berdagang di sebelah timur Makasar atau barat Malaka. Sebagai gantinya, Belanda membayar biaya kompensasi setiap tahun sebesar 60.000 gulden. (10) Sebelum melakukan perjanjian, Bernard H.M. Vlekke mengatakan bila pengaruh Eropa masih sangat kecil. “Sampai awal abad ke-17, kehadiran orang Eropa di Kepulauan Indonesia membawa perubahan kecil dalam konstelasi politik di wilayah itu”. (11)

Mengambil Peran Ulang Sejarah Maritim

Menghadirkan kembali sejarah keemasan Nusantara masa lalu yang dalam hal ini dilakukan oleh Jawa, sesungguhnya bukan merupakan sebuah pekerjaan yang berat. Dimulai dari melihat kembali flashback kejatuhannya.

Menurut sejarah, kejatuhan maritim Jawa dimulai dari penafian pola pikir filosofi maritim sebagai satu-satunya jalan keluar kebangsaan, sebagaimana dilakukan oleh Mataram. Filosofi maritim selain dianggap sebagai bagian dari Ma Lima yang harus dijauhi, juga mendowngrade  kedududukan para pedagang menjadi kasta yang hina. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hinduisme dan Budhisme sebelumnya. Hinduisme misalnya menganggap para pedagang sebagai kasta Caņḍāla (12), atau paria atau orang hina.

Mataram kemudian mengagungkan filosofi baru yaitu daratan dengan petani sebagai sebuah kasta yang lebih mulia dari pedagang. Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), saat menerima utusan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Rijckloff van Goens, dicatat dengan bangga mengatakan jika dirinya bukan seorang pedagang layaknya Sultan Banten. Karena itu Sultan Agung dengan sengaja tidak menarik pajak perdagangan dan pelayaran di bandar-bandarnya atau menerapkan pajak 0 persen.

Sayangnya keangkuhan Sultan Agung yang menganggap filosofi daratan sebagai jalan keluar kebangsaan baru terbukti gagal. Mataram tidak hanya hancur tapi juga menyeret Asia ke dalam masa kegelapan sejarah.

Untuk itu, dalam mengambil peran ulang sejarah ada beberapa hal yang harus dilakukan. Seperti diantaranya, sebagai berikut.

 

No Diskripsi Bentuk
1 Sangsi sejarah Menjadikan Mataram sebagai zaman kegelapan Nusantara
2 Sejarah kegelimangan maritim masa lalu menjadi pembelajaran Menghadirkan kajian, mata pelajaran, buku sejarah baru, film, dan sebagainya, yang bertumpu pada pembahasan sejarah gemilang maritim masa lalu
3 Memperkuat filosofi maritim yang bertumpu pada penguatan ekspor Menghadirkan filosofi maritim sebagai evaluasi dan jalan keluar kebangsaan
4 Memilih pemimpin yang mengutamakan kepentingan nasional Menjadikan kriteria pemimpin yang mengutamakan kepentingan nasional, sebagai pemimpin terpilih
5 Merevitalisasi kembali keunggulan maritim masa lalu dalam kehidupan saat ini Menghadirkan kemajuan maritim masa lalu dalam format kekinian. Baik dalam infrastruktur pelabuhan, terknologi perkapalan, dan sebagainya.
6 Membudayakan kembali teknologi Kemampuan menghadirkan teknologi terbaik pada masa lalu misalnya dalam dunia perkapalan, harus dapat menjadi orientasi utama kebangsaan.
     

 

Bila hal tersebut dapat dilakukan, maka mengambil peran ulang sejarah kegemilangan kemaritiman masa lalu dapat diwujudkan.*

 

Penulis: Irawan Djoko Nugroho (Filolog Jawa Kuna)

 

Catatan:

[1] A.M. Djuliati Suroyo, 2007: 9

2 Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011, hal:  14.

3 A.M. Djuliati Suroyo, 2007: 9-10.

4 Lihat Sejarah Dinasti Song, Yuan dan Ming, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Banjar, Nagarakrtagama, Catatan Abu  Zaid Hasan tahun 916 M, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Calon Arang dan Carita de Parahyangan.

5 Duarte Barbosa, A Description of the Coast of East Africa and Malabar in the Beginning of The 18th Century, diterjemahkan oleh H.E.J Stanley (1866). Duarte Barbosa adalah keponakan Magellan, yang berkelana di Samudera Hindia dan Indonesia selama 15 tahun. Lihat Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009), hlm. 396-397. Lihat pula Irawan Djoko Nugroho, op.cit, hal: 59-60.

6 Lihat Irawan Djoko Nugroho, 2011, hal: 239.

7 Pelabuhan yang dicatat Tome Pires di pantai utara Jawa ada 25 buah. Sementara itu dalam catatan Prasasti Trawulan seluruh pelabuhan di Jawa berjumlah sekitar 78 buah. Lihat Irawan Djoko Nugroho, 2011, hal: 235-239.

8 Lihat peta kepemilikan kapal di Asia hingga akhir abad ke-15, dalam Irawan Djoko Nugroho, 2011, hal: 288.

9 Lihat perbandingan kapal jong Jawa dengan kapal Portugis menurut Gaspar Correia dalam Robert Dick-Reid, 2008: 69.

10 Lihat Bernard H.M. Vlekke, 2008:182. Untuk perundingan damai, lihat H.J. de Graaf, De vijf gezantschapsreizen van Rijjklof van Goens, hal: 25-30.

11 Ibid, hal:135.

12 Zoetmulder, 1995, hal: 156.

 

Bagikan ya

Leave a Reply