Penetrasi asing adalah sebuah tindakan yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan bagi upaya bangsa dalam menjalankan pembangunan nasional guna memajukan peradaban bangsa dan negara Indonesia. Termasuk tentu saja, dalam pembangunan budaya nasional.
Pengertian penetrasi asing terkait budaya nasional di sini, adalah keinginan untuk mempengaruhi dan menguasai budaya nasional Indonesia demi kepentingan asing. Penetrasi asing ini umumnya masuk, kala kekuatan asing bekerja sama dengan orang, kelompok, atau organisasi di dalam negeri, yang secara sadar atau tidak telah menjadi kolaborator, atau bahkan menjadi agen atau proxy kekuatan asing tadi untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang mereka inginkan.
Para kolaborator atau proxy kekuatan asing tersebut, umumnya adalah anak-anak bangsa yang mempunyai sifat dan perilaku menempuh jalan pintas. Seperti misalnya, mencari keuntungan bagi diri pribadi.
Bentuk Penetrasi Asing Dalam Budaya
Banyak contoh bentuk penetrasi asing dalam budaya yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan bagi upaya bangsa dalam menjalankan pembangunan nasional. Maksud sifat mengganggu atau menjadi hambatan itu, di antaranya adalah dengan membuat besarnya neraca impor negara, membuat industri dalam negeri menjadi tergerus, kepercayaan diri sebagai sebuah anak bangsa menghilang, atau terserapnya modal bangsa ke pihak asing.
Adapun beberapa contoh bentuk penetrasi asing dalam budaya yang bersifat negatif tersebut, adalah sebagai berikut. Hadirnya film asing, konser dengan menghadirkan artis asing, penggunaan pakaian, make up, alat rumah tangga sehari-hari yang diproduksi asing sementara produk nasional sebagai subtitusi telah ada, franchise makanan dan minum serta restoran asing, iklan yang menghadirkan artis asing. Di samping itu juga, seperti: marketplace yang menjual produk-produk asing atau unicorn yang saham utamanya dikuasai oleh asing.
Semua penetrasi asing tersebut selain bisa menghadirkan kebiasaan baru juga hanya memperkaya industri dan tenaga kerja asing. Sementara itu, ia juga dapat memacu hadirnya sifat konsumerisme yang tentu saja tidak baik bagi pengembangan budaya bangsa.
Perlu Dukungan Regulasi
Guna menekan penetrasi asing yang negatif tersebut, pemerintah kiranya perlu melakukan sebuah regulasi, untuk setidaknya mengurangi dampak buruk yang ada. Misalnya dengan menghadirkan BUMN yang memproduksi alat rumah tangga sehari-hari, membuat peraturan pembatasan pemutaran film dan konser asing, atau membatasi masuknya produk-produk asing yang subtitusinya sudah diproduksi secara nasional.
Tentu saja terdapat banyak kebujakan lain, yang intinya dapat melindungi produk nasional dan tentu saja budaya nasional yang ada. Hanya saja sayangnya gerakan untuk hal tersebut, belum ada. Kalaupun ada belum bersifat terstruktur.
Dalam pidatonya saat membuka Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan tahun 2021 di Istana Negara beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa mencintai produk Indonesia saja tidak cukup, sehingga kampanye benci produk asing harus digaungkan.
“Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia, harus terus digaungkan, produk-produk dalam negeri. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri,” kata Presiden Jokowi.
Ajakan yang tentu saja sangat baik. Hanya saja sayangnya ajakan presiden tersebut tidak diikuti dengan kebijakan regulasi, sebagai akibatnya kebijakan yang terjadi kemudian lebih bersifat bottom-up. Misalnya saja langkah marketplace Shopee yang membatasi masuknya penjual cross border untuk 13 kategori produk ke pasar Indonesia. Ke-13 produk tersebut adalah: hijab, atasan muslim wanita, bawahan muslim wanita, dress muslim, atasan muslim pria, dan bawahan muslim pria. Kemudian outerwear muslim, mukena, pakaian muslim anak, aksesoris muslim, peralatan salat, batik, dan kebaya.
Namun kebijakan bottom-up ini tentu saja memiliki kelemahan. Di mana salah satunya, hanya bisa untuk produk kecil dari banyak produk yang dijual di marketplace. Atau dapat dikatakan, hanya lebih bersifat charity.*
Penulis: Irawan
Sumber:
- AK-YSNB, Menggalang Ketahanan Nasional Dengan Paradigma Pancasila, 2019.