Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, yang proses penyusunannya menimbulkan kegaduhan antara pro dan kontra, ternyata implementasinya melahirkan sejumlah masalah krusial di lapangan. Bahkan beberapa pasal telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Karena itu UU Sisdiknas sangat mendesak untuk direvisi.
Banyak persoalan krusial yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai dasar untuk merevisi UU Sisdiknas. Persoalan krusial tersebut, di antara lain adalah sebagai berikut.
Persoalan Krusial Penyebab Perlunya Revisi UU Sisdiknas
Pertama, pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. UU BHP adalah amanat dari UU Sisdiknas Pasal 53 agar penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan dibatalkannya UU BHP, Pasal 53 ini tidak bermakna lagi; jika tidak direvisi, hanya menjadi pasal sampah belaka.
Kedua, masalah yang selalu muncul setiap tahun dan menghabiskan energi adalah ujian nasional (UN). UN sebetulnya tidak punya pijakan yang jelas dalam UU Sisdiknas karena Pasal 57-59 hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan, yang implementasinya tidak tentu berupa UN. Namun, oleh pemerintah diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan UN dari SD hingga SMTA, dan PP No 19/2005 itulah yang dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk melaksanakan UN. Bunyi Pasal 57-59 yang mengatur masalah evaluasi pendidikan saatnya perlu direvisi agar lebih tegas dan tidak multitafsir. Memang pada tingkat kebijakan, sekarang telah ada perubahan mengenai fungsi UN, namun kalau UU dan PP yang menjadi rujukannya tidak direvisi, dikhawatirkan nanti ganti menteri ganti kebijakan.
Ketiga, masalah anggaran pendidikan yang problematik. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan, ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).” Namun, dalam realitasnya, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008, anggaran 20 persen termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bunyi Ayat 1 Pasal 49 tidak ada maknanya lagi, sehingga perlu disesuaikan lagi.
Keempat, pasal 50 ayat (3) yang mengamanatkan agar setiap daerah menyelenggarakan minimum satu satuan pendidikan bertaraf internasional yang kemudian menjadi dasar bagi Pemda untuk membangun rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) juga telah dibatalkan oleh MK pada tahun 2013, sehingga pasal ini pun perlu direvisi.
Kelima, bunyi pasal 55 ayat (4) yang berbunyi: Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah juga telah dikoreksi oleh Putusan MK tahun 2011 yang menghilangkan kata “dapat,” sehingga ayat ini juga saatnya untuk direvisi.
Keenam, hendaknya pendidikan agama diselenggarakan dengan semangat plural dan multikultural sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi.
Persoalan Lain Yang Ikut Memperkuat UU Sisdiknas Perlu Direvisi
Selain persoalan krusial tersebut terdapat adanya persoalan lainnya. Persoalan ini ikut memperkuat agar UU Sisdiknas untuk segera direvisi. Adapun persoalan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang saling berkaitan dan tidak boleh tumpang tindih atau saling menegasikan satu dan lainnya.
Kedua. Perlu dimasukkannya kata “guru” di dalam UU Sisdiknas karena makna guru tidak bisa disimplifikasikan dengan istilah tenaga pendidik. Guru memiliki makna filosofis mencerahkan, sedangkan tenaga pendidik memiliki makna fungsional semata.
Ketiga. Tuntutan untuk mengembalikan materi pelajaran Pancasila ke dalam kurikulum resmi dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sebaiknya diatur di dalam UU Sisdiknas, sehingga cukup kuat, bukan hanya PP atau Peraturan Menteri (Permen) saja.
Keempat. Mengembalikan ruh pendidikan nasional. Patut diakui bahwa praksis pendidikan kita, terutama justru di sekolah-sekolah negeri cenderung eksklusif. Padahal, sampai dengan berakhirnya masa Orde Baru itu, sekolah-sekolah negeri adalah pilihan pertama bagi orang tua murid yang ingin menyekolahkan anaknya tanpa adanya hambatan-hambatan suku, agama, etnis, dan biaya. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya, banyak orang tua yang merasa memilih menyekolahkan ke sekolah negeri itu karena kepepet, cari biaya yang lebih murah, tapi dari segi ideologinya mereka tidak sepenuhnya sreg.
Kelima. Adanya perkembangan psikologi anak yang mengalami percepatan akibat gizi yang baik dan dukungan teknologi sehingga batas terbawah usia anak bersekolah yang saat ini enam tahun pun perlu dikoreksi. Selama ini, UU Sisdiknas hanya mengatur bahwa: ”setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34 Ayat 1). Artinya, batas minimum masuk SD adalah enam tahun. Jika kurang dari enam tahun, meskipun anak sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung, tetap tidak bisa diterima. Di lapangan, usia masuk SD ini menjadi praktik jual beli kursi—terlebih di SD negeri favorit—tarifnya mencapai jutaan rupiah. Akibatnya, anak-anak yang di bawah enam tahun mau masuk ke SD negeri tidak diterima. Mereka akhirnya memilih sekolah ke SD swasta.
Batas minimum usia masuk SD enam tahun itu memang perlu dikaji lagi. Pada masa lalu (sebelum dekade 1980-an), ketika gizi keluarga belum baik, pendidikan orangtua masih rendah, kesadaran bersekolah rendah, baru ada TVRI, media massa dan sarana komunikasi masih terbatas, tentu saja perkembangan fisik dan mental anak pun lambat. Tapi dengan gizi yang bagus, orang tua terdidik, fasilitas mendukung, dan perkembangan teknologi; menjadikan perkembangan fisik dan mental anak lebih cepat. Batas usia enam tahun mungkin menjadi kurang relevan lagi.
Keenam. Menyikapi masuknya pendidikan asing ke Indonesia. Pasal 65 Ayat 1-3 telah mengatur masuknya pendidikan asing di Indonesia, baik untuk pendidikan dasar maupun perguruan tinggi, bahwa lembaga pendidikan asing yang boleh membuka cabang di Indonesia adalah yang terakreditasi atau diakui di negaranya. Namun pasal ini dinilai terlalu liberal karena Amerika Serikat saja yang dikenal liberal sangat melindungi pendidikan bangsanya, sebaliknya kita justru mengundang asing untuk turut mendidik bangsa kita. Keberadaan Pasal 65 ini perlu atau tidak?
Ketujuh. Kemajuan teknologi, yang melegalkan pembelajaran secara online ini akan berdampak pada penyusunan standar pelayanan, terutama menyangkut standar prasarana dan sarana. Proses pembelajaran online itu akan memiliki implikasi ideologis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yanga cukup luas dan kompleks sehingga perlu dirumuskan secara jernih dalam UU Sisdiknas yang akan datang.*
Penulis: Irawan Djoko Nugroho
Sumber:
Draft Naskah Akademik Undang-Undang Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbudiknas) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah akademik ini disusun oleh: Yayasan Suluh Nuswantoro Bakti (YSNB).