IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Merawat Kebangsaan Kita

Bangunan negara Indonesia hari ini, oleh Yudi Latif dalam tulisannya di Kompas, 11 Oktober 2018, diibaratkan berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi _(liquefaction)_ atau _sirna ilang kertaning bumi._
Sementara itu, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks Negara Gagal atau “Fragile State Index” tahun 2021 masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori _warning_ sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6.
Banyak pihak memang khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik. Saat ini saja, ketika kita sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian.
Terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik kita, yang justru menjadi faktor pemecah-belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial, seperti sentimen suku dan agama, yang hidup di masyarakat, untuk memobilisasi dukungan dalam pilpres dan pilkada. Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam, sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an yang sudah kita sepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.
Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan “The Fund For Peace” di atas, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori _warning_ sebagai negara gagal. Antara lain karena persoalan-persoalan budaya, seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.

*Pancasila sebagai paradigma*

Upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia, tentu harus selalu kita perjuangkan agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi _common domain_ yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk.
Menurut Anderson dalam bukunya, “National Integration in Indonesia (1989)”, ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun _common domain_ bangsa Indonesia. Antara lain, kesamaan sejarah, kesamaan atribut-atribut sosial budaya, saling ketergantungan antar daerah, dan kehendak untuk hidup bersama.
Selain faktor-faktor tersebut, menurut hemat saya, ada satu faktor penting yang kita miliki sejak awal kemerdekaan, yaitu Pancasila sebagai _shared values_ yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur, demi terwujudnya _common domain_ ke-Indonesia-an kita, tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan _common domain_ bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan kita, namun saat ini kita merasakan adanya berbagai “paradoks” dalam realitas kebangsaan kita. Kita memiliki Pancasila yang telah disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, namun kenyataannya kita seakan menjauh darinya.
Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan kita, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial tersebut. Antara lain adalah menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat pilkada, pilpres, dan lain-lain.
Oleh karena itu maka Pancasila harus terus didorong agar dijadikan sebagai paradigma atau “kerangka operasional” dalam membangun kebangsaan Indonesia.

*Pendidikan yang tepat*

Guna merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia maka pembangunan ”ranah mental spiritual” melalui keandalan rejim “pendidikan dan pengetahuan” sebagai agensi utamanya adalah sangat penting.
Seperti kata Yudi Latif dalam bukunya “Pendidikan yang Berkebudayaan” (2020), “Pendidikan itu ibarat benih harapan. Manakala masyarakat dilanda kegelapan, keterbelakangan, keterpurukan, kekacauan, sedang tidak tahu kunci solusinya, maka sandaran pamungkasnya adalah pendidikan. Bila benih itu mendapatkan pengairan, penerangan, dan perawatan jiwa yang baik, ia akan tumbuh jadi pohon pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban yang subur-luhur”.
Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu keluarga (pendidikan informal), masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal.
Tentu menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sistem pendidikan nasional kita saat ini sudah mampu berperan sebagai “agen transformasi sosial” dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Karena kita menyadari bahwa pendidikan yang ‘tidak-tepat’, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.
Menyadari begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk melalui “pendidikan yang tepat”, maka kami merekomendasikan kurikulum terkait muatan pendidikan nasional, yaitu “Kebangsaan, Etika, dan Logika”, yang kami sebut “Tri Matra”.
Muatan pendidikan tersebut juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI/Polri (FKPPI), NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR.

*(Pontjo Sutowo*, Ketua Aliansi Kebangsaan, PembinaYSNB, Ketua Umum FKPPI).

Pontjo Sutowo/adhie

Bagikan ya

Leave a Reply