IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Renungan Di Hakteknas

Pesawat N-250 “Gatotkaca” itu meluncur mulus di landasan pacu bandara Husein Sastranegara. Lepas landas, dan terbang sekitar 35 menit di langit biru kota Bandung dan Jawa Barat umumnya. Sebagai anak bangsa, kita patut bangga menyaksikan peristiwa bersejarah pada 10 Agustus 1995 itu.

Setelah berhasil merakit Helikopter BO-105 buatan Jerman, kemudian melalui proses panjang sejak  sukses memproduksi pesawat turboprop  Casa-212 yang mulai diuji terbang pada 26 Maret 1971,  kini anak-anak bangsa melalui PT IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) boleh mempersembahkan lagi sebuah pesawat terbang modern, N-250 “Gatotkaca”, yang hari itu sukses menjalani uji terbang selama 35 menit.

Memperingati hari bersejarah itu, Presiden Soeharto, yang hadir langsung menyaksikan peristiwa tersebut, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71 Tahun 1995, lalu menetapkan tanggal  10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional atau disingkat Hakteknas.

Hakteknas Realisasinya Kini

Kini setelah sekian tahun berlalu, kecuali tidak mendengar lagi nasib pesawat N-250 lebih lanjut, kita juga perlu mempertanyakan, sejauh mana manfaat peringatan Hakteknas, yang kini sudah berlangsung selama 26 tahun, dalam mendorong kemajuan teknologi di Tanah Air? Apakah hanya sekadar peringatan untuk bernostalgia, atau benar-benar dalam rangka mendorong kesadaran kita akan pentingnya menghadirkan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air?

Kita tentu patut bersyukur jika ada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai. Meskipun demikian kita juga perlu mengingatkan bahwa ada hal-hal mendesak untuk secepatnya ditangani. Sebut saja di bidang energi, pangan,  farmasi, serta kelautan/maritim. Selain karena kebutuhan, potensi sumber daya alam kita untuk itu berlimpah. Dengan demikian kita bisa mencapai kemandirian dan meningkatkan ketahanan nasional kita.

Pertanyaan-pertanyaan di atas layak kita kemukakan, karena peran ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini begitu penting bagi kemajuan sebuah bangsa, bahkan bagi pembangunan sebuah peradaban.

Sebagaimana diungkapkan oleh Sener dan Saridogan dalam bukunya “The Effects of Science-Technology-Innovation on Competitiveness and Economic Growth” (2011), negara-negara dengan kebijakan dan strategi ekonomi berbasis sains-teknologi-inovasi memiliki keunggulan dan keuntungan kompetitif berkelanjutan. Keunggulannya tidak hanya pada tingkat daya saing global, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi penciptaan kesejahteraan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (resource based economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (knowledge based economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.

Menghadapi perubahan paradigma ini, negara-negara Barat dan beberapa negara Asia,  seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, terus konsisten mengerahkan sejumlah besar sumber-dayanya untuk menguasai Iptek, yang pada ujungnya akan mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsanya. Negara yang tidak mempunyai basis Iptek yang kuat, akan bergantung bahkan berpotensi ditelan  oleh kemajuan negara-negara lain.

Terlalu Terlena

Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan. Harus diakui, sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi kita masih berbasis sumber daya alam. Tidak heran kalau Gustav Papanek pada suatu diskusi ekonomi di Jakarta pada tahun 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya, sehingga disebut mengalami penyakit Belanda (dutch disease).

Kalau ingin maju, sejahtera, mandiri dan berdaulat dalam bidang ekonomi, serta berdaya saing global, maka sudah seharusnyalah bangsa ini mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains  dan teknologi (knowledge based economy), Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan.

Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat kita ketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional. Selain penguasaan masih rendah, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar juga masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa Indonesia  dalam percaturan global.

Dalam pengamatan saya, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan triple-helix antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.

Dunia usaha yang memiliki peran strategis, bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi, juga masih ketinggalan, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi.

Tanpa dunia usaha, inovasi teknologi tidak akan berkembang. Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus mengambil tanggungjawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan road-map pengembangan dunia usaha kita, sebagai agen perubahan menuju ekonomi berbasis sains dan tekonogi. Dengan demikian, pengusaha benar-benar yakin bahwa kemajuan yang dicapainya adalah karena invovasi yang dilakukan, bukan karena kedekatan dengan penguasa pemegang kendali sumber daya alam.

Kendala Budaya

 Selain hambatan/kendala yang saya sampaikan tadi, kita juga masih menghadapi kendala “budaya (kultural)”, sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya, “Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity” (2000), yaitu  ketidakmampuan menciptakan ‘imajinasi kultural’ (cultural imagination). Menurut dia, bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.

Sebuah bangsa menjadi besar karena kemampuannya membangun “imajinasi” masa depan, yang sudah barang tentu harus disertai perencanaan dan usaha sistematis untuk mencapainya. Lihat saja imajinasi Amerika Serikat tentang “kota ilmu dan teknologi”, yang melahirkan Silicon Valley; imajinasi India sebagai “negeri perangkat lunak”, dan imajinasi Cina sebagai “negeri perangkat keras”.

Oleh karena itulah menurut hemat saya, dalam kaitan membangun “imaginasi kultural” dalam mengejar ketertinggalan teknologi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah perubahan mindset dan visi iptek Indonesia. Sebagaimana disampaikan Prof Erani dalam diskusi pada Oktober 2020 lalu, kita harus menghilangkan mindset ”kesejahteraan yang diperoleh dengan cara penguasaan sumber daya alam”, yang akan melahirkan kolonialisme dan imperialisme (merkantilisme).

Harus diakui, sebagian besar masyarakat kita masih beranggapan bahwa teknologi itu identik dengan manufaktur, “digitalisasi”, bahkan sebatas penggunaan internet dan komputer.

Visi Iptek sangat diperlukan untuk mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan langkah pembangunan iptek, membuat kebijakan dan memperjelas posisi penetrasi Iptek ke dalam pembangunan. Beberapa Negara seperti Cina, Korea, India, bahkan Malaysia yang saat ini memunyai basis Iptek yang kuat, dimulai dengan meletakkan visi iptek yang benar sehingga kebijakan-kebijakan ipteknya menunjang.

Untuk meletakkan visi iptek Indonesia ke depan serta mengurangi berbagai hambatan/kendala dalam peningkatan sains dan teknologi, tentu dibutuhkan suatu kepemimpinan yang mampu mensinergikan semua stake-holders teknologi. Faktor kepemimpinan juga menjadi sorotan AIPI, yang tertuang dalam “Buku Putih: Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju  Indonesia 2045” yang dipublikasikan pada tahun 2017.*

 

Penulis:

Pontjo Sutowo, Pengusaha, Ketua Aliansi Kebangsaan, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Ketua Umum FKPPI

Bagikan ya

Leave a Reply