IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Hikayat Hang Tuah, Memori Dunia Perjalanan Melaka Ke Turki Tahun 1481

Hikayat Hang Tuah adalah satu-satunya hikayat yang paling unik. Hal ini karena di dalamnya terdapat kronogram dari peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita. Kronogram ini tidak dijumpai dalam hikayat-hikayat lain dan bahkan tidak ditemui dalam hikayat Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), yang pada saat ini dianggap sebagai salah satu pensejarahan penting terkait Melaka. Sayangnya kronogram ini hingga lebih dari 2 abad diabaikan oleh semua peneliti ahli Hikayat Hang Tuah seperti Sulatin Sutrisno, Ahmat Adam, Kassim Ahmad, Hooykaas, Henri Chambert-Loir, dan Muhammad Haji Saleh misalnya, sampai saat ini.

Pendapat mayoritas peneliti ahli tersebut sesungguhnya wajar karena mereka baru melihat Hikayat Hang Tuah dari sisi adanya adegan-adegan yang tidak masuk akal yang berakibat tidak mungkin digunakan sebagai sumber informasi tentang kejadian sebenarnya. Menurut Henri Chambert-Loir pendapat tersebut didasarkan karena selama masa satu abad dalam Hikayat Hang Tuah, kesultanan Malaka terus saja diperintah oleh ketiga orang yang sama, yaitu Sultan, Perdana Menteri dan Hang Tuah, (Henri Chambert-Loir 2011:24).

Kassim Ahmad bahkan dengan tegas menyebut Hikayat Hang Tuah terbagi dalam dua bagian. Bagian perlawanan dan bagian pengembaraan. Pada bagian perlawanan, Hang Tuah digambarkan sebagai seorang pahlawan: gagah, garang, dan berani. Dalam bagian kedua: Hang Tuah bertukar peran sebagai seorang pengembara-diplomat dan sufi (mystic) bijaksana, sabar dan wara’, (Kassim Ahmad 1966: xii). Karena itu Kassim Ahmad kemudian berpendapat bahwa tidak mungkin bagian pertama ini ditulis dalam waktu kemegahan Melayu sudah hapus. Sebaliknya, apabila kemegahan itu sudah tiada, maka timbulah keperluan untuk membelakangkan kenyataan, lalu lari untuk mencari kepuasan di tempat-tempat lain kecuali dari kekuatan diri sendiri. Inilah gambaran yang terlukis dalam bagian kedua, bagian yang mencerminkan kejatuhan Melayu, (Kassim Ahmad 1966: xii). Dengan kata lain kronogram dalam Hikayat Hang Tuah dianggap tidak pernah ada dan Hikayat Hang Tuah menjadi sebagaimana anggapan para ahli lain, masuk dalam kategori fiksi.

Perjalanan Ke Turki Sebagai Jejak Rekam Sejarah

Sayangnya penempatan fiksi pada Hikayat Hang Tuah sesungguhnya tidak berdasar. Banyak novum baru yang mencatat Kisah Hang Tuah Di-utus Ka-Turki yaitu kisah yang dicatat dalam BAB 25 dan 26 dalam Hikayat Hang Tuah. Menurut Naskhah Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Kuala Lumpur karya Kassim Ahmad yang terbit tahun 1964, bukan kisah yang membelakangkan kenyataan. Kisah ini bahkan  merupakan awal pengisahan cerita Hikayat Hang Tuah. Pengarang Hikayat Hang Tuah menjadikannya sebagai dasar kisah yang kemudian dilengkapi dengan kisah lainnya. Baik asal usul Raja Melaka, Hang Tuah dan akhir kisah Hang Tuah dan Melaka.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya prolog Hikayat Hang Tuah diambil berdasar kisah di Turki. Pada prolog dicatat sebagai berikut. Bismi’llahi’rrahmani’rrahim; wabihi nasta’inu bi’llahi‘l-a’la. Ini hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuan-nya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuan-nya. Kalimat: Ini hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuan-nya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuan-nya sebagai pembuka Hikayat Hang Tuah tersebut, ternyata diambil dan dikembangkan penulis dari pujian Sultan Rom (Sultan Beyazid II) kepada Hang Tuah. Maka titah baginda, “Hai Mangkubumi, baik-lah itu. Barang kehendak-nya utusan itu kita anugerahkan, kerana ia-lah hamba bijaksana dan setiawan, sangat ia hendak berbuat kebaktian kapada tuan-nya”, HHT XXVI:471.

Menariknya prolog ini memiliki kemiripan dengan pujaan pembukaan (aśir) pada kisah bergenre kakawin. Di mana pujaan pembukaan (aśir) pada sang nayaka ‘sang pahlawan’ dalam kakawin, mesti dihadirkan oleh sang kawi sebagai ‘pahlawan’ sepanjang karyanya, koektensif dengan corpus karya itu (kāvyaśarīra), (Gerow 1971:29 dalam I. Kuntara Wiryamartana 1990:352). Pada Hikayat Hang Tuah, pujian yang ada juga kemudian dihadirkan pengarang sepanjang karyanya. Misalnya saja penghadiran kisah kebijaksanaan: Saran Hang Tuah kepada Sultan Melaka untuk beradu di istana besar (Raden Emas Ayu) selama 10 hari dan ke istana kecil (Tun Teja) selama 7 hari, HHT XII:233. Penghadiran kisah kesetiawanan misalnya: Mewakili raja saat disambut ke Majapahit karena mendengar kabar Puteri Majapahit tiada dipergunakan lagi oleh Raja Melaka, HHT XIII. Penghadiran kisah perbuatan kebaktian misalnya: Membunuh Hang Jebat yang derhaka kepada raja, sekalipun sebelumnya Laksamana telah dihukum mati oleh raja, HHT XV – XVII.

Dengan adanya ‘pujaan pembukaan’ ini, dapat diketahui bila misi utama pengarang dalam menyusun karyanya adalah menghadirkan kembali sang nayaka dalam hal ini Hang Tuah sebagai ‘pahlawan’ sepanjang karyanya selepas ia membaca kisah Hang Tuah diutus ke Turki. Atau lebih tepatnya, selepas sang pengarang ‘terinspirasi’ kala melihat pujian Sultan Rom kepada Hang Tuah. Dengan kata lain kisah Hang Tuah diutus ke Turki bukan bagian yang mencerminkan kejatuhan Melayu namun sebuah realitas.

Jika dicermati lebih jauh, kisah Hang Tuah diutus ke Turki ternyata juga banyak mengandung unsur  jejak rekam sejarah. Jejak rekam sejarah yang utama dalam kisah tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama. Pada tahun 886/1481, Turki diperintah oleh raja yang menurut Hikayat Hang Tuah adalah raja besar lagi Wali Allah. Istilah tersebut kiranya mengacu pada Hadis Riwayat Ahmad: “Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya”, (Felix Y. Siauw 2013:5). Dan raja tersebut tidak lain adalah Raja Muhammad Al-Fatih. Dalam catatan sejarah, Raja Muhammad Al-Fatih dicatat meninggal pada bulan Rabi’ul Awal 886 H (3 Mei 1481 M), (Yusuf Priyadi 2017:81) atau saat proses persiapan Hang Tuah menuju ke Rom.

Kedua. Aceh dikisahkan mulai tumbuh dengan ditandai hadirnya pelabuhan yang masih bersifat sederhana.

Ketiga. Judah merupakan pelabuhan yang chemar sehingga kapal tipe besar seperti Mendam Birahi kapal yang digunakan Hang Tuah harus lebih berhati-hati saat dilabuhkan agar tidak terkena karang.

Keempat. Mekah dan Madinah dikuasai Mesir dengan ditandai adanya Kepala Jamaah Haji dari Mesir dan bukan dari Rom.

Kelima. Mesir pada tahun 1481-1482 menurut Hikayat Hang Tuah diperintah oleh Perdana Menteri. Istilah Perdana Menteri menunjukkan ada struktur raja di Mesir. Keterangan Hikayat Hang Tuah tersebut ternyata memiliki kesamaan dengan catatan sejarah pada tahun 1481– 1482, Mesir dicatat diperintah oleh Sultan An-Nashir Muhammad bin Qaytabi (872 H/1467 M – 901 H/1495 M). Ia seorang Sultan dari Mamluk Burji. Sultan inilah yang disebut sebagai Perdana Menteri serta yang menerima Hang Tuah. Sementara itu struktur raja sekalipun tidak dikisahkan adalah Khalifah Abbasiyah di Kairo Mesir yaitu Khalifah Al-Mutawakkil Alā’llāh II (1479 – 1497).

Keenam. Pelayaran Hang Tuah ke Rom melewati Afrika dan Mesir dan berlabuh ke Kavala.

Ketujuh. Informasi adanya ‘kesakitan yang amat besar’ dalam negeri Rom menurut Hikayat Hang Tuah. Informasi tersebut ternyata memiliki relevansi sejarah. Sebab selepas kematian Sultan Al Fatih terjadi perang suksesi.

Kedelapan. Hang Tuah tertahan di Rom dan diterima Raja Beyazid II, selepas ia keluar sebagai pemenang perang suksesi.

Dengan adanya banyak jejak rekam sejarah tersebut, Kisah Hang Tuah Di-utus Ka-Turki bukan merupakan fiksi.

Penggambaran Kota Rom Bukan Menjiplak Kota Lain

Henri Chambert-Loir dalam mengisahkan pengembaraan Hang Tuah di benua Rom mencatat sebagai berikut. Masa tinggal Hang Tuah di Rum menduduki tempat yang istimewa dalam HHT (25 halaman, yaitu HHT 452-477) dan mencakup beberapa deskripsi tentang kota itu: pemerian sebuah taman yang akan dibicarakan di bawah ini, serta beberapa pemerian lain yang seluruhnya bersifat klise. Salah satunya misalnya menggambarkan berbagai tembok dan jalan sebagaimana dilihat Hang Tuah waktu mendekatinya; deskripsi itu hampir sama dengan deskripsi kota Vijayanagar yang telah disebut di atas dan berakhir dengan kata-kata yang sama, yaitu: ―Maka dilihat oleh Laksamana beribu-ribu rumah berhala kiri kanan jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu indah-indah perbuatannya dan beribu-ribu kemah khatifah yang sudah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan berkedai, (HHT 466), Henri Chambert-Loir 2011:38-39. Ia kemudian menyimpulkan: “Singkatnya, penggambaran kota Rum terdiri atas tiga bagian: satu mengenai tasiknya (HHT 456), yang kedua mengenai tamannya (HHT 456-460), yang ketiga mengenai kotanya dilihat dari luar (HHT 466), dan ternyata ketiga lukisan tersebut disalin secara harfiah dari tiga lukisan kota lain”. (Henri Chambert-Loir 2011:42). Untuk mendukung pendapatnya, Henri Chambert-Loir kemudian menampilkan perbandingan beberapa bagian teks Hikayat Hang Tuah (edisi Kassim Ahmad, 1971), Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu, edisi Situmorang & Teeuw, 1952) dan Bustan al-Salatin (edisi Bab II, 13, oleh Iskandar, 1966) tentang kota Rum (Istambul), Vijayanagar, dan Bandar Aceh, (Henri Chambert-Loir 2011:47-56). Deskripsi kota Rum (Istambul) kemudian disimpulkan disalin dari beberapa naskah tersebut, (Henri Chambert-Loir 2011:46).

Pernyataan Henri Chambert-Loir tersebut dan juga para peneliti lain yang sejalan dengan pendapatnya ini tentu menjadi informasi yang tidak lazim, karena mereka ternyata hanya melakukan perbandingan antar teks semata. Menjadi sebuah pertanyaan kemudian, apakah informasi tersebut kemudian keliru dengan informasi terkait negeri Istanbul sendiri?

Di Istanbul era Muhammad Al Fatih memerintah, informasi rumah berhala dan masjid ternyata bukan klise. John Freely dalam ‘Muhammad Al Fatih Sang Penakluk Konstantinopel’ mencatat adanya sensus di Istanbul era Muhammad Al Fatih. Lebih lanjut ia mencatat sebagai berikut. Sensus pertama Istanbul yang dilaksanakan pada zaman Utsmani, termasuk Galata, diperintahkan Mehmet II (Muhammad Al Fatih red.) pada 1477, dua puluh empat tahun setelah penaklukkannya atas Konstantinopel, Byzantium. Sensus itu, yang hanya meliputi rumah tangga warga sipil dan tak menyertakan kelas militer atau mereka yang hidup di istana kerajaan, Topkapi Sarayi dan Eski Sarayi, menghitung keluarga dari berbagai kategori agama, etnis, dan bangsa. Hasilnya tercatat 9.486 Muslim Turki, 4.127 Yunani, 1.687 Yahudi, 437 Armenia, 267 Genoa, dan 332 keluarga Eropa dari tempat selain Genoa. Jumlah populasi Istanbul, dari sensus itu, diperkirakan mencapai 80.000-100.000 orang-menggandakan populasi yang menempati kota itu sebelum Penaklukkan. Sebanyak 70 persen warga yang tinggal di dalam kota benteng Istanbul adalah Muslim Turki dan sisanya non-Muslim, (John Freely 2019:314).

Keberadaan agama, etnis, dan bangsa di Istambul tersebut memungkinkan adanya rumah peribadatan mereka. Ini diperkuat dengan informasi bahwa sekalipun Hagia Sophia telah diubah menjadi masjid atau Aya Sofya, Gereja Besar Kebijaksanaan Ilahi diubah menjadi Aya Sofya Camii Kabir (John Freely 2019:66), namun Muhammad Al Fatih juga dicatat tetap memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kaum Kristen untuk menjalankan ibadah mereka di rumah-rumah ibadah mereka, (Felix Y. Siauw 2013:259).

Demikian pula pendeskripsian kota Rum (Istambul) dalam Hikayat Hang Tuah yang dikisahkan memiliki deskripsi yang sama dengan Bandar Aceh dalam Bustan al-Salatin sehingga dianggap menyalin darinya. Pertanyaan menggelitik segera mengemuka. Sejak kapan Bandar Aceh memiliki budidaya gandum dan anggur, yang pada waktu itu merupakan budidaya masyarakat sub tropis. Dalam catatan sejarah budidaya gandum dan anggur tidak pernah dilakukan Aceh namun dilakukan oleh Rom.

Karena itu dapat dikatakan jika deskripsi kota Rom tidak menyalin dari naskah lain, namun naskah lainlah yang menyalin dari sumber yang digunakan penulis Hikayat Hang Tuah. Hal ini karena sumber yang digunakan penulis Hikayat Hang Tuah mengacu pada kronogram 886 Hijrah (1481 M), atau lebih tua dari sumber yang dianggap disalin oleh pengarang Hikayat Hang Tuah.*

 

Sumber:

Buku Baru Segera Terbit. Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit. Penulis: Irawan Djoko Nugroho.

 

 

 

 

Bagikan ya

Leave a Reply