IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Nasikh Dan Mansukh Di Dalam Hikayat Hang Tuah

Hikayat Hang Tuah adalah sebuah hikayat yang dihadirkan secara multidimensi. Ia bisa dilihat tidak dari satu sudut pandang saja, namun juga bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, cara, dan ukuran yang beragam. Semuanya bergantung penuh pada pengetahuan diri seseorang.

Pengarang Hikayat Hang Tuah sepertinya memang sengaja menghadirkan karyanya untuk disesuaikan dengan bahasa pendengarnya. Pengarang seperti tengah menerapkan filsafat komunikasi Jawa yaitu dupak bujang, esem mantri, dan semu bupati atas karyanya. Dari ketiganya, penerapan dari sudut pandang dupak bujang dan esem mantri adalah sebagai berikut.

Penerapan Pada Sudut Pandang Dupak Bujang

Pada dasarnya pengarang Hikayat Hang Tuah dalam memaparkan karyanya dalam bentuk eksplisit dan implisit. Pada penghadiran secara eksplisit, pengarang memaparkan secara apa adanya sebagaimana pemaparan yang ada. Pemaparan secara eksplisit ini dikhususkan kepada para pembaca yang masih memiliki sudut pandang dupak bujang. Karena itu bila seorang peneliti atau pembaca terjebak dalam pemaparan sebagaimana yang dihadirkan pengarang apa adanya, maka Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah akan dilihat sebagai tokoh pahlawan Melaka yang gagah dan garang serta sebagai diplomat dan sufi (mystic) yang bijaksana, sabar dan wara’ sebagaimana misalnya yang terbaca oleh Kassim Ahmad (Kassim Ahmad 1966: xii).

Pemahaman ini kemudian berimbas dengan melihat Hikayat Hang Tuah hanya menggunakan alur progresif atau alur maju semata dalam menghadirkan jalan cerita yang ada. Alur maju adalah jalan cerita yang menyajikan urutan yang dimulai dari tahap perkenalan menuju tahap penyelesaian secara sistematis dan tidak mengacak.

Konsep ini akan berujung pada anggapan bahwa Hikayat Hang Tuah merupakan sebuah epik ataupun karya sastra yang tidak masuk akal. Uniknya ternyata tidak hanya Kassim Ahmad saja yang terjebak sebagai pembaca pada sudut pandang dupak bujang, namun ternyata semua peneliti ahli yang pernah meneliti Hikayat Hang Tuah melakukan hal sama.

Penerapan Pada Sudut Pandang Esem Mantri  

Dalam penghadiran sebagai esem mantri, pengarang Hikayat Hang Tuah memaparkannya dalam bentuk implisit. Sekalipun dihadirkan dalam bentuk implisit, namun bukan semata-mata hanya tersirat. Pengarang Hikayat Hang Tuah secara sengaja memaparkan karyanya tidak linier. Ada inkonsistensi dan interpolasi di dalamnya. Dan dari banyaknya inkonsistensi yang ada, pengarang mengemasnya dalam sebuah konsep yang disebut dengan nasikh dan mansukh sehingga membuat pembaca hampir tidak menyadari keberadaan bentuk implisit dari bentuk eksplisit yang dihadirkan.

Nasikh dan mansukh pada awalnya adalah sebuah konsep yang terdapat dalam kajian ilmu Ushul Fiqh. Menurut Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, nasikh berarti pembatalan hukum syara’ yang telah berlaku dengan hukum syara’ yang datang setelahnya, (Aavi Lailaa Kholily 2018:167). Sementara itu pengertian mansukh adalah obyek atau hukum yang dihapus, (Manna Kholil Al-Qattan 2008:286).

Pada Hikayat Hang Tuah, pengarang menghadirkan nasikh dan mansukh dengan penerapannya sedikit berbeda dengan konsep awalnya. Penerapan ini tampak jelas dalam pengisahan Feringgi. Kisah Feringgi pada era Hang Tuah yang merupakan sebuah interpolasi, dicatat mulai dihadirkan dari kisah Sang Jaya Nantaka hingga kisah hiperbolik Hang Tuah mengalahkan Feringgi yang berujung Feringgi menjadi musuh Melaka, tiba-tiba kisah tersebut diabaikan pada akhir kisah. Pada akhir kisah, Hikayat Hang Tuah menghadirkan kisah yang tidak ada hubungannya dengan penceritaan sebelumnya mengenai Feringgi. Feringgi bukan sebagai musuh sehingga diijinkan membeli tanah dan membuat sebuah gedong di depan istana Melaka. Dapat dikatakan bila kisah interpolasi Feringgi dan kisah hiperbolik Hang Tuah mengalahkan serbuan Feringgi yang bermuara Feringgi menjadi seteru – mengacu pada konsep nasikh dan mansukh – bagai kisah yang dibatalkan (mansukh) saat dihadapkan dengan kisah baru yang mengisahkan Feringgi bukan sebagai seteru (nasikh).

Banyak kisah nasikh dan mansukh lain yang ternyata juga dihadirkan dalam Hikayat Hang Tuah. Seperti misalnya kisah Hang Tuah menunjukkan kekuatannya dengan mengalahkan Perlente dan Pengawitan sebanyak 7000 orang di Majapahit saat menjadi duta pengganti Sultan Melaka, HHT XIII. Kisah ini ternyata hanya mansukh karena Betara Majapahit dicatat mengabaikan kehebatan Hang Tuah. Hang Tuah dikisahkan bahkan disuruh mendatangkan Sultan Melaka ke Majapahit (nasikh) sebagai bentuk kelemahan dari diri Hang Tuah terhadap Betara Majapahit, HHT XIII.

Demikian pula kisah saat Hang Tuah kembali menunjukkan kekuatannya setelah menghadirkan Raja Melaka di Majapahit atas suruhan Betara Majapahit, dengan mengalahkan 40 penjurit yang kepetengan dan penjurit amat kepetangan bernama Petala Bumi. Tindakan Hang Tuah tersebut dilukiskan mampu membuat Betara Majapahit takut, HHT XIV. Namun sekalipun dikisahkan mampu membuat takut Betara Majapahit, kisah ini ternyata hanya mansukh. Sebab Betara Majapahit tetap berani dan kuasa menahan Hang Tuah dan Raja Melaka. Raja Melaka baru diperbolehkan pulang ke Melaka, setelah Bendahara Paduka Raja mengirim surat ke Majapahit memberitahukan bahwa paduka anakanda (chuchu Seri Betara) gering (nasikh), HHT XIV.

Fungsi Nasikh Dan Mansukh Dalam Hikayat Hang Tuah

Secara umum, dihadirkannya nasikh dan mansukh dalam Hikayat Hang Tuah memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah untuk memperkuat pengisahan cerita. Hal ini karena Hikayat Hang Tuah dihadirkan sebagai sebuah karya sejarah sekaligus sebagai karya sastra.

Nasikh dan mansukh dalam Hikayat Hang Tuah juga sebagai sarana mendeligitimasi tokoh Hang Tuah sebagai pahlawan Melaka yang gagah dan garang yang dihadirkan dalam sudut pandang dupak bujang. Hal ini untuk menunjukkan jika hubungan Melaka dengan Majapahit sesungguhnya bukan permusuhan. Sementara itu, khusus untuk nasikh adalah untuk menghadirkan realitas sejarah yang sesungguhnya.*

 

Sumber:

Buku Segera Terbit. Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit. Penulis: Irawan Djoko Nugroho.

Bagikan ya

Leave a Reply