IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Omahipun Simbah

Dalam Sejarah Dinasti Song (960-1279) tepatnya era Song Utara karena dikisahkan sebelum tahun 992, disebutkan bila rumah orang Jawa indah dengan menggunakan atap genting. Rumah mereka indah dan dihiasi dengan genting berwarna kuning dan hijau. Ketika para pedagang Tionghoa tiba di sana, mereka diterima sebagai tamu di dalam bangunan umum. Hidangan makanan yang dimakan para tamu itu begitu banyak dan bersih, WP. Groeneveldt, 2009:24.

Keterangan tersebut menunjukkan informasi sebagai berikut. Pertama. Rumah orang Jawa indah. Kedua. Rumah orang Jawa beratap genting berwarna kuning dan hijau. Ketiga, ada bangunan umum untuk menerima tamu (ruang tamu?). Keempat. Mereka mampu menjamu tamu dengan makanan yang banyak (baik variasi atau jumlahnya) dan bersih. Kelima, tidak dicatat bangunan tersebut bertingkat atau tidak. Keenam, tidak dicatat juga apakah rumah tersebut dari kayu atau batu bata.

Ketika dicatat ‘para pedagang’ Cina sebagai sosok yang datang ke Jawa, maka dapat dipastikan bila ‘para pedagang’ tersebut tentu pedagang besar atau saudagar. Hal ini karena mereka termasuk para pedagang antar negara. Namun lepas dari proses kedatangannya yang oleh Robert Dick-Read pernah dicatat bahwa pada abad ke-5 dan ke-7 sebagian besar bangsa Cina yang melakukan perjalanan ke Samudera Indonesia lebih senang menggunakan kapal-kapal Kun-lun daripada kapal-kapal mereka sendiri (Robert Dick-Read, 2008: 58-59), menjadi pertanyaan kemudian, rumah orang Jawa yang dimaksud indah menurut Sejarah Dinasti Song tersebut seperti apa?

Sebelum membahas pengertian indah bagi rumah orang Jawa, informasi Sejarah Dinasti Song itu dapat dikatakan sebagai satu-satunya informasi yang mendiskripsikan mengenai rumah orang biasa dan bukan bangunan istana. Deskripsi yang tidak hanya melihat dari luar namun juga dari dalam ruangan yang ada. Kemungkinan besar, catatan ini merupakan catatan saudagar Cina saat disambut dan dijamu kliennya yaitu saudagar Jawa, kala mereka berada di Jawa yang kemudian diabadikan dalam Sejarah Dinasti Song.

Perbandingan Informasi Sejarah Dinasti Song Dengan Yingya Shenglan

Selain informasi Sejarah Dinasti Song, Yingya Shenglan (1416) juga mencatat informasi rumah penduduk Jawa. Di mana dicatat sebagai berikut.

Pertama. Rumah tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari bata. Tingginya sekitar satu meter dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk, WP. Groeneveldt, 2009:64.

Kedua. Penduduk negara ini tidur sambil duduk. Mereka tidak memiliki tempat tidur atau dipan, WP. Groeneveldt, 2009:68.

Ketiga. Jika mereka menerima tamu, mereka tidak menawarkan minuman tetapi menawarkan pinang, WP. Groeneveldt, 2009:69.

Informasi Yingya Shenglan ini tentu sangat menarik karena memiliki sudut pandang yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan informasi Sejarah Dinasti Song. Perbedaan itu diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama. Penulis Yingya Shenglan tidak seperti penulis Sejarah Dinasti Song yang mendasarkan pada penerimaan pribadi sebagai tamu. Sekalipun dicatat adanya informasi menerima tamu, namun tidak dicatat diterima di ruang apa. Informasi penawaran pinang dan bukan minuman apalagi makanan juga menunjukkan tamu yang diterima, tidak dianggap tamu penting atau tamu yang dianggap sebagai saudara atau juga sebagai sebuah bentuk kehati-hatian.

Kedua. Informasi penduduk tidur sambil duduk dan tidak memiliki tempat tidur atau dipan, menunjukkan sesungguhnya pengamatan penulis Yingya Shenglan pada penduduk yang tengah bertugas di wilayah khusus tempat rombongan dari utusan Cina berada, bukan di pemukiman umum. Gambaran Yingya Shenglan bahwa penduduk tidur sambil duduk juga seperti menunjukkan bahwa penduduk yang dilihat, demikian siaga. Penduduk tersebut seperti diwajibkan untuk selalu berjaga atas segala kemungkinan yang bisa terjadi dari setiap provokasi yang mungkin terjadi dari pasukan utusan yang datang, sehingga kala provokasi berlangsung mereka mampu segera bereaksi dengan cepat.

Bahwa rombongan dari utusan Cina berada di wilayah khusus, dapat dilihat dari perbandingan informasi Yingya Shenglan dengan Hikayat Banjar. Pada informasi Yingya Shenglan disebutkan bila tempat keberadaan utusan Cina berada di 1,5 hari selepas turun dari perahu dan berjalan ke Majapahit. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah kita di Majapahit, WP. Groeneveldt, 2009:64. Informasi ini ternyata setengah dari jarak menurut catatan Hikayat Banjar. Dalam Hikayat Banjar dicatat sebagai berikut. Ditangah djalan itu tiga hari datang ka-Majapahit, maka terkabar oleh orang pada radja itu, J.J. Ras, 1984: 300. Melalui perbandingan itu, terdapat jarak 1,5 hari lagi dari waktu yang ditempuh utusan Cina bila hendak sampai ke istana Majapahit yang sesungguhnya.

Dengan perbandingan itu pula maka dapat dikatakan bila utusan Cina menurut Yingya Shenglan sesungguhnya tidak diterima di istana yang sebenarnya. Sehingga informasi tentang diskripsi istana dan rumah tinggal penduduk lebih bersifat temporary karena berada di sebuah wilayah khusus. Rumah tinggal penduduk yang dilukiskan, lebih tepat disebut barak untuk membantu mengurus dan mengawasi tamu yang sangat banyak yang tidak diterima di istana yang sesungguhnya.

Tidak sampainya seluruh utusan Cina diterima di istana Majapahit juga tampak pada informasi meninggalnya utusan Cina akibat terjadi kekalahan istana Raja Timur saat diserang Raja Barat, WP. Groeneveldt, 2009:52. Bila semua utusan menyertai, maka kematian utusan tidak akan terjadi sebab dapat menimbulkan perlawanan dan kerusuhan besar, hal ini karena utusan Cina yang dikirim berjumlah sangat banyak. Dan ternyata memang tidak ada perlawanan dan kerusuhan akibat terbunuhnya utusan yang ada. Menurut Catatan Zheng He jumlah utusan Cina secara keseluruhan sebanyak 27.800 prajurit, WP. Groeneveldt, 2009:59. Menjadi wajar bila tidak semua prajurit tersebut kemudian diterima di istana Majapahit yang sesungguhnya.

Pengertian Indah

Kala para pedagang Cina menyebut rumah orang Jawa indah, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud indah pada sebuah bangunan adalah indah dalam bidang seni arsitekturnya hingga kemewahan bahan bangunan yang digunakannya. Karena tidak ada informasi mengenai kemewahan bahan bangunan yang digunakan, maka hanya akan dititikberatkan pada keindahan seni arsitekturnya semata.

Mengingat informasi Sejarah Dinasti Song (960-1279) mengenai rumah orang Jawa ditulis sebelum tahun 992, maka diperkirakan informasi ini terjadi pada tahun 960-992. Tahun di mana Jawa kemungkinan besar diperintah antara Sri Isyana Tunggawijaya, Makutawangsawardhana, hingga awal Dharmawangsa. Darmawangsa sendiri dicatat memerintah antara tahun 991 – 1017 M, (Sudrajat, M. Pd., 2012: 15-16). Mereka semua adalah para raja dari Medang.

Meskipun para raja tersebut memiliki pusat pemerintahan di Jawa Timur dan tidak lagi di Jawa Tengah, namun sebagai raja Medang maka informasi rumah menjadi lebih dekat dengan informasi relief candi-candi yang berasal di Jawa Tengah. Beruntung dari semua relief candi yang ada, terdapat informasi yang dimaksudkan. Informasi tersebut adalah informasi yang terdapat dalam relief candi Borobudur.

Rumah Dalam Relief Borobudur

Di dalam relief Borobudur, selain melukiskan manusia, binatang, kapal dan bangunan, juga melukiskan perkakas serta peralatan yang digunakan manusia. Untuk bangunan yang dihadirkan, umumnya adalah profil-profil istana, bangunan yang menyerupai bangunan candi, dan bangunan terbuka atau mirip sebuah pavilion atau gazebo. Namun dari semua bangunan yang dihadirkan terdapat bangunan yang bukan merupakan profil istana, tapi merujuk pada sebuah gambar rumah. Sekalipun gambar tersebut secara umum telah rusak, namun sebagian masih dapat dikenali.

Sebelum membahas mengenai rumah, perlu diketengahkan di sini bahwa konsep rumah menurut tradisi Jawa pada masa lalu terdiri dari dua bangunan. Bangunan rumah sebagai tempat yang ditinggali dan lumbung sebagai sarana menyimpan padi atau hasil palawija lainnya. Lumbung bahkan menjadi penanda kaya atau miskinnya penghuni rumah. Bukan rumahnya itu sendiri. Semakin kecil lumbungnya, maka pada masa lalu dipastikan pemiliknya miskin (P.J. Zoetmulder, 1983: 256). Dalam Sumanasāntaka sebuah kakawin era Kaḍiri, sebuah desa disebut miskin bila memiliki lumbung kecil-kecil dan sapi yang sangat kurus hingga seperti domba. Sumanasāntaka 28.6: alumbung alit-alit/těka ri sapi nikālit norākral-kral aměḍusi, (P.J. Zoetmulder, 1983: 272).

Gambaran yang dibuat oleh mpu Monaguṇa penulis Sumanasāntaka tersebut, ternyata seperti manivestasi pandangan orang Jawa pada era Jawa Kuna umumnya. Hal ini membuat relief tentang rumah menjadi sangat minim. Para pembuat relief lebih tertarik melukiskan lumbung yang lebih variatif dari pada rumah itu sendiri. Ini seakan menunjukkan jika rumah pada masa lalu memiliki gaya dan desain yang lebih seragam sehingga kurang menarik untuk dihadirkan dalam ulasan puisi atau gambar relief karena dianggap biasa pada masa itu. Demikian pula pada penggambaran di relief Borobudur juga misalnya. Pelukisan desain lumbung lebih banyak dan variatif daripada pelukisan rumah.

Karena itulah saat membahas rumah pada masa Jawa Kuna, mengetengahkan lumbung dan pagarnya menjadi seperti sebuah keharusan. Hal ini karena ketiganya sesungguhnya merupakan satu kesatuan. Dalam tradisi Jawa Baru, tradisi rumah juga memiliki lumbung dicatat masih ada. Misalnya saja dikisahkan dalam kisah Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Baju Nawang Mulan dikisahkan disimpan di lumbung dan ditemukan lagi selepas padi yang ada di lumbung habis, (JJ. Ras, 1987: 25-26).

Dalam relief Borobudur, bentuk rumah, lumbung, dan pagar adalah sebagai berikut.

1. Rumah

Relief rumah tampak pada relief cerita Lalitavistara di candi Borobudur. Cerita Lalitavistara berisi kisah kehidupan Buddha Gautama. Dalam photodharma.net,  relief yang di dalamnya terdapat lukisan rumah mendapat keterangan sebagai The Statues worship Siddhartha. Berikut relief rumah di candi Borobudur.

 

Gambar 1. Rumah dalam Relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00054.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

Keterangan:

Gambar rumah ini merupakan satu-satunya yang ada di Borobudur. Relief rumah ini terdiri dari: 1. Tangga menuju rumah. Dapat dikatakan rumah dibangun lebih tinggi dari lingkungan disekitarnya. 2. Rumah susun dua. 3. Teras dengan atap dari lantai dua yang menjorok ke depan.  4. Atap rumah memiliki hiasan dipuncaknya. 5. Detail seperti jendela dan pintu di sisi bangunan rumah.

2. Lumbung

Pelukisan lumbung di relief Borobudur sangat variatif. Relief lumbung sangat banyak terdapat di relief cerita Karmavibhangga, relief cerita yang terdapat di kaki candi. Lumbung secara umum ditandai dengan adanya gambaran tangga tinggi menuju pintu lumbung. Lumbung juga digambarkan sebagai bangunan yang sangat tertutup rapat sehingga hewan, utamanya hewan pengerat tidak bisa masuk.  Ia juga umumnya dikelilingi pagar. Berikut beberapa gambar relief tentang lumbung.

A. Lumbung Kecil

 

Gambar 2. Lumbung dalam Relief Borobudur: Karmavibhangga-Original-00157.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

 

Lumbung Ukuran Kecil

Keterangan:

Lumbung terdiri dari tangga menuju lantai lumbung namun tidak tinggi. Bangunan lumbung dibuat lebih tinggi dari lingkungan sekitar. Ukuran dasar lumbung sepanjang kurang lebih dua manusia jongkok berhadapan (±1-1,5 m?). Untuk masuk ke pintu lumbung harus melalui tangga tinggi. Ada pagar yang mengelilingi lumbung. Pagar ini sebagian dilukiskan utuh dan sebagian tidak karena hanya terlihat demikian rendah. Kemungkinan besar perelief melukiskan rendah, hanya untuk menunjukkan kondisi di dalamnya. Jadi pagar yang dilukiskan rendah tersebut aslinya juga tinggi.

B. Lumbung Sedang

 

Gambar 3. Lumbung dan Pavilion dalam Relief Borobudur: Karmavibhangga-Original-00046.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

 

Lumbung Ukuran Sedang

Keterangan:

Lumbung terdiri dari dua bangunan. Lumbung dan sebuah pavilion yang dikeliling oleh pagar. Pavilion sangat luas karena bisa memuat banyak orang. Kemungkinan peranannya untuk tempat istirahat juga sebagai tempat membantu pengeringan padi atau palawija sebelum dimasukkan lumbung. Sementara itu ukuran dasar lumbung dapat memuat orang tidur secara nyaman (±2-3 m?). Ada tangga menuju pintu masuk lumbung. Khusus untuk pagar yang mengelilingi lumbung dan pavilion, sebagian dilukiskan tinggi pada kedua sisinya, namun pada bagian depan dilukiskan rendah. Kemungkinan besar seperti sebelumnya, perelief melukiskan rendah hanya untuk menunjukkan kondisi di dalamnya. Jadi pagar yang dilukiskan rendah sebenarnya setara tingginya dengan tinggi pagar lainnya.

C. Lumbung Besar

 

Gambar 4. Lumbung dalam Relief Borobudur: Karmavibhangga-Original-00029.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

 

Lumbung Ukuran Besar

Keterangan:

Lumbung berada di tempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitar. Tampak ada orang yang memikul kayu dengan ikatan (padi?) di kedua ujungnya berusaha naik tangga menuju lumbung. Tangga menuju pintu lumbung berada di depan, dan tampak orang tengah naik tangga menuju pintu lumbung. Ukuran lumbung ini sangat tinggi dan luas, karena tampak lukisan orang dapat berdiri di bawah lumbung (pada bagian depan lumbung) dan gambar lukisan yang memuat banyak orang dengan ukuran yang lebih besar dari orang yang berdiri di bagian depan lumbung, tengah duduk-duduk. Lukisan dalam Karmavibhangga ini sepertinya hendak menunjukkan ada kegiatan orang yang aktif bekerja dan yang malas bekerja. Dalam relief tersebut, tidak dilukiskan adanya pagar mengelilingi lumbung. Kemungkinan besar lumbung tipe ini, merupakan lumbung milik orang kaya pada waktu itu dilihat dari ukurannya.

3. Pagar Lumbung

Pelukisan pagar lumbung dalam relief Borobudur berupa kayu. Dalam relief Borobudur sendiri pagar kayu terdiri dari dua jenis. Papan dan kayu bulat. Khusus untuk detail pelukisan papan dan kayu bulat adalah sebagai berikut.

A. Papan

 

Gambar 5. Pagar dari papan dalam Relief Borobudur: Avadana-Level-1-Original-00049.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

Keterangan:

Papan memiliki ujung atas berbentuk segitiga dan terlihat tebal. Papan tersebut disatukan dengan dua papan lain atau balok kayu dengan diberi sedikit jarak. Penyatuan papan dan balok tidak diikat namun di paku, dengan tanda tidak adanya gambar tali pengikat. Pakö, paku ‘paku’ adalah kata asli Jawa Kuna (P.J. Zoetmulder, 1995:734). Sebagai kata asli Jawa Kuna, menunjukkan ia telah dikenal dan digunakan pada masa lalu. Khusus untuk pagar lumbung, sesuai pelukisan pada relief sebelumnya dilukiskan rapat.

B. Kayu Bulat Utuh

 

Gambar 6. Pagar dari kayu bulat dalam Relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00119.
Sumber: (http://www.photodharma.net).

Keterangan:

Kayu utuh dibuat bulat dengan ujung atas dibuat sedikit runcing. Tonggak kayu bulat tersebut pada sebelum ujung atas, dilubangi sebagai tempat dimasukkan batang kayu lain guna mengikat jalinan tonggak kayu yang ada. Dimungkinkan di bagian bawah juga dibuat batang kayu lain yang dimasukkan guna mengikat jalinan tonggak kayu yang ada. Jarak antara batang kayu dengan lainnya, lebih rapat jika dibandingkan pagar dari papan.

Untuk pemakaian pagar antara papan atau kayu bulat utuh, kemungkinan besar disesuaikan dengan kemampuan pemiliknya. Semakin kaya pemilik rumah, dimungkinkan akan menggunakan kayu bulat utuh yang tentu harganya jauh lebih mahal daripada papan kayu.

Seni Arsitektur Rumah Borobudur

Kembali kepada desain rumah di relief Borobudur. Secara umum apabila rumah di relief tersebut direkontruksi ulang, maka akan tampak desain rumah sebagai berikut.

 

Gambar 7. Rekontruksi ulang gambar rumah dalam relief Borobudur dari Lalitavistara-Original-00054.

Bila dilihat secara lebih dalam, maka desain rumah tersebut tampak tidak hanya menggunakan kayu semata. Namun kemungkinan juga perpaduan antara batu bata dan kayu. Terlihat dari pilar tiang belakang dan lantai dua yang kokoh hingga menjorok menjadi atap teras. Hal ini ternyata juga tidak bertentangan dengan informasi Sejarah Dinasti Song karena informasinya tidak menyebut bahan yang digunakan, sehingga perpaduan antara batu bata dan kayu menjadi dimungkinkan. Pilar di area depan rumah kemungkinan besar adalah pilar berbentuk bulat dan bukan kotak atau persegi empat sebagaimana umumnya pelukisan pilar-pilar di relief bangunan istana atau bangunan serupa candi di Borobudur.

Untuk lantai dua yang menjorok menjadi atap teras, dibuat terbuka sehingga dapat menjadi tempat untuk melihat pemandangan keluar. Terakhir, sisi bangunan baik di lantai satu dan dua yang terlihat ornament rumitnya rusak, kemungkinan besar adalah detail tempat bagi jendela dan pintu. Pada lantai satu karena terdapat lukisan ‘kotak’ panjang dan ‘kotak’ kecil dimungkinkan sebagai pintu dan jendela. Sementara pada lantai dua karena hanya terdapat ‘kotak-kotak’ kecil, dimungkinkan hanya sebagai jendela semata.

Dari rekontruksi ulang tersebut, terlihat bila rumah tersebut memang indah dari sisi arsitekturnya. Terlebih bila genting dicat berwarna kuning atau hijau seperti informasi para pedagang Cina. Desain bangunan itu bahkan secara sekilas memiliki gaya seperti arsitektur rumah ekslusif modern saat ini sekalipun memiliki detail-detail yang berbeda. Menjadi tidak berlebihan bila saudagar Cina kala menyebut rumah orang Jawa yang menyambutnya saat mereka datang ke Jawa, sangat indah. Informasi tersebut tentu saja wajar, karena rumah menurut relief Borobudur tersebut saat direkontruksi ulang, menurut kaca mata saat ini juga dapat dikatakan memiliki desain yang sangat indah.

Mengingat Sejarah Dinasti Song mencatat: ‘Rumah mereka indah dan dihiasi dengan genting berwarna kuning dan hijau’, maka rumah yang indah yang dimaksud tidak hanya satu. Juga tidak hanya merujuk pada rumah saudagar Jawa yang menyambut kedatangan saudagar Cina semata, namun semua rumah orang Jawa yang dilihat pedagang Cina kala mereka berada di Jawa. Hipotesa ini ternyata selaras dengan penjelasan mpu Monaguṇa penulis Sumanasāntaka yang lebih suka melukiskan lumbung daripada rumah. Di mana kemungkinan besar rumah pada masa lalu bertipe seragam sehingga terlalu biasa untuk dilukiskan karena kurang memiliki nilai puitis.

Dengan adanya kesamaan informasi antara bukti filologis dengan bukti arkeologis tersebut di atas, membuat informasi rumah orang Jawa pada masa lalu menjadi sebuah kenyataan yang tentu sangat menarik. Sebab kesamaan itu saling melengkapi dan menjadikannya sebagai sebuah realitas sejarah yang tak terbantahkan. Uniknya pula, gaya desain rumah tersebut secara umum demikian futuristic. Sadar atau tidak para insinyur modern saat ini kala mendesain rumah-rumah ekslusif modern rancangan mereka, seperti menjadikan gaya desain rumah Borobudur sebagai barometer.*

 

Daftar Pustaka

Gibb, H.A.R, Ibn Battuta Travels in Asia and Africa 1325-1354. London: Darf Publishers LTD, 1983.

Groeneveldt, W.P, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009.

Ibn Battuta, Travels in Asia and Africa 1325-1354. London: Darft Plubhishers LTD, 1986.

Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.

Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 201

Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009.

Ras, J.J., Hikayat Bandjar, a Study in Malay Historiography. BI. 1. The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.

Ras, J.J., Babad Tanah Djawi, Dordrecht-Holland/Providence-U.S.A, Foris Publications, 1987.

Robert Dick-Read, Penjelajah Bahari. Pengaruh Peadaban Nusantara di Afrika. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.

Sudrajat, M. Pd, Diktat Kuliah Sejarah Indonesia Masa Hindu Budha, Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2012.

Supratikno Rahardjo, Kota-kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997.

Tjahja Tribinuka, Rekonstruksi Arsitektur Kerajaan Majapahit dari Relief, Artefak dan Situs Bersejarah, Temu Ilmiah IPLBI 2014.

Zoetmulder, P.J., Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.

Zoetmulder, P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

 

Website

http://www.photodharma.net

 

 

Bagikan ya

Leave a Reply