Kedigdayaan demokrasi ala Amerika Serikat dalam tatanan dunia pada masa lalu terutama pada tahun 1970-1990an, telah membuat para pemikir Islam khususnya kelompok liberal kemudian berlomba-lomba kembali mengevaluasi Islam. Berbeda dengan para pemikir komunisme yang tetap istiqomah dalam perjuangan komunisme yang dikembangkannya namun tetap dengan mengikuti perubahan zaman sekalipun Uni Soviet runtuh, para pemikir Islam liberal lebih memilih menyalahkan Islam yang dianggap tidak mampu menjadi motor penggerak kemajuan negara. Politik Islam dianggap menjadi biangnya remuk redamnya sebuah negara di bawah negara yang melaksanakan demokrasi.
Pomeo “Islam Yes, Partai Islam No” sebagaimana yang diusung Nurcholish Madjid seperti menjadi lokomotif deislamisasi di ranah politik. Gerakan ini kemudian mengarah pada ‘memuja Barat’ dan ‘mencaci Islam’. Gerakan ini terus berlanjut secara tak terkendali dengan menempatkan Islam sebagai bukan satu-satunya agama kebenaran dan Islam bukan satu-satunya umat pilihan Tuhan, (M. Yudhie Haryono, 2006:27-54).
Kedua pandangan tersebut menjadi antitesa dari pemahaman Islam sebelumnya yang menyebut Islam sebagai satu-satunya agama kebenaran. “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”, (QS At Taubah: 33). Selain itu juga antitesa dari pemahaman Islam sebelumnya yang menyebut umat Islam sebagai umat terbaik. “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”, (QS Ali Imran: 110).
Overproud Demokrasi
Dengan membelakangi Islam, para pemikir Islam liberal kemudian mengkampanyekan demokrasi menjadi satu-satunya prasarat negara modern dan maju. Demokrasi menjelma menjadi sebuah overproud atau yang dibangga-banggakan secara berlebihan. Umat yang menentang demokrasi sebagaimana pandangan mereka kemudian mendapat stigma buruk sebagai radikalis dan fundamentalis.
Uniknya, kelompok pemikir Islam tersebut, ternyata juga menyadari jika demokrasi bukan sebagai jalan tol yang baik. Banyak kritikan atas penerapan demokrasi itu sendiri. Sebab banyak tujuan demokratisasi yang dikelola negara lain di dunia gagal. Salah satunya kemajuan negara menjadi modern dan maju, tidak tercapai.
Untuk menghadirkan sebuah negara demokrasi ternyata memerlukan sebuah kematangan demokrasi. Ada tiga pijakan untuk menghadirkan kematangan demokrasi. Pertama. Pembumian nilai-nilai demokratis. Kedua. Realisasi tingkah laku dan sikap demokrat. Ketiga. Konstitusi yang demokratis yang diakui dan dijalankan oleh semua kalangan, (M. Yudhie Haryono, 2006:60). Tidak adanya pijakan tersebut menurut Noreena Hertz (2001), hanya akan melahirkan the death of democracy. Selain itu dalam berdemokrasi juga berlaku tiga lapis rasionalitas saling imbang dan mengawasi (check and balance). Lapis rasionalitas pertama adalah rasionalitas keseimbangan antara nasion, konstitusi, dan negara. Lapis rasionalitas kedua adalah saling imbang dan mengawasi antara ketiga cabang pemerintahan: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lapis rasionalitas ketiga adalah check and balances di dalam enam paket lembaga demokrasi yaitu: partai politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif, peradilan, dan media bebas, (M. Yudhie Haryono, 2006:61).
Dengan demikian tanpa itu semua, maka tidak akan pernah ada yang namanya demokrasi. Dan demokrasi sebagai konsep yang sederhana yang bermakna dari rakyat dan untuk rakyat akan segera berubah haluan, yaitu dari rakyat oleh elit untuk para investor kapitalis, Sebagai buktinya: banyak pemimpin negara di dunia saat ini memang dipilih oleh rakyat, tetapi ternyata mereka lebih sibuk untuk ‘melayani’ pelaku kapitalis global yang tidak memilihnya, (M. Yudhie Haryono, 2006:61).
Demokrasi Hanya Menghasilkan Burung Angsa Pengiring
Banyaknya prasarat menjadi negara demokrasi dan banyaknya kegagalan pelaksanaan demokrasi membuat demokrasi hanya menjadi alat penguasaan asset oleh asing. Mimpi indah demokrasi yang diusung para pemikir Islam liberal pada kenyataannya juga tidak pernah menghadirkan negara baru setara Amerika Serikat yang disebut sebagai kampiun demokrasi. Negara yang berhasil melaksanakan demokrasi pun pada kenyataannya hanya menjadi pengiring terbang burung angsa pemimpin yang telah melaju terlebih dahulu di depan.
Demokrasi menjadi lebih mirip dengan MLM (Multi Level Marketing) di bidang politik dan tata pemerintahan. Hal ini karena mereka hanya akan menguntungkan negara yang melaksanakan demokrasi terlebih dahulu. Realitas ini tentu menjadi sebuah mimpi buruk yang harus dihindari. Terlebih tanpa demokrasi pun, seperti yang dilakukan Rusia dan China kemodernan dan kemajuan negara juga dapat diraih. Mereka bahkan bisa terbang tidak sebagai pengiring burung angsa pemimpin, namun mampu terbang indah setara dengan burung angsa pemimpin itu sendiri.
Apa yang dilaksanakan China misalnya, hanya istiqomah dengan apa yang telah dimiliki dengan disesuaikan dengan perubahan zaman. Intinya China tidak pernah minder dengan realitas sesaat akan kemajuan Amerika Serikat pada tahun 1970-1980 dan kemudian menyalahkan jalan pedang yang mereka pilih sebelumnya. Mentalitas ini yang membuat China bergerak maju. Mentalitas ini sayangnya tidak dimiliki oleh para pemikir Islam liberal di Indonesia. Mentalitas orang kalah yang dikedepankannya, tidak saja tidak menguntungkan bagi kemajuan perpolitikan Islam di Indonesia, namun juga tidak menguntungkan bagi Islam itu sendiri.
Mensyariahkan Demokrasi
Konsep membelakangi Islam saat berhadapan dengan demokrasi yang nota bene ajaran non Islam yang menghasilkan kemajuan untuk negara yang berhasil melaksanakan demokrasi pada saat ini, sudah seharusnya dirubah. Pendekatan mentalitas orang kalah tersebut harus dibuang dengan mendatangkan mentalitas orang menang. Di mana istiqomah akan Islam harus diperkuat untuk kemudian disesuaikan dengan jalan demokrasi yang telah dipilih oleh para pendiri bangsa.
Wacana tiga pijakan untuk menghadirkan kematangan demokrasi dan berlakunya tiga lapis rasionalitas saling imbang dan mengawasi, meminjam istilah perbankan syariah sudah seharusnya memiliki ‘underlying asset’. Ada dasar pijakan yang jelas. Jangan sampai partai politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif, peradilan, dan media bebas misalnya, dapat saling bersekutu untuk kemudian sibuk sendiri ‘melayani’ pelaku kapitalis global dan bukan kepada negara, bangsa dan rakyat Indonesia.
Dasar pijakan yang ada juga seharusnya lebih diperjelas dan dipertegas dengan dihadirkannya pengawas yang mengharuskan semua tetap berada dalam perannya. Atau juga dihadirkan seperangkat aturan yang jelas dan tegas dan dapat dipatuhi bersama untuk membawa demokrasi terus dalam relnya. Upaya penghadiran pengawas dan seperangkat aturan yang jelas dan tegas tersebut dapat menjadi upaya dan sarana para pemikir Islam baru untuk menjadi mujahid, mujtahid, dan mujaddid terkait demokrasi.
Goal Mensyariahkan Demokrasi Adalah Demokrasi Berwajah Humanisme
Demokrasi yang hanya ‘melayani’ pelaku kapitalis global; demokrasi yang menjadikan rakyat tumbal para pemilik modal yang mengglobal; demokrasi yang menghadirkan negara tanpa nyawa, berdiri tanpa kaki, dan hidup tanpa fungsi yang riil bagi rakyatnya; harus menjadi menjadi tujuan utama untuk dihilangkan dalam mensyariahkan demokrasi. Mensyariahkan demokrasi harus menghadirkan demokrasi yang beradab atau demokrasi yang berwajah humanisme dan bukan demokrasi konvensional sebagaimana yang berlaku pada saat ini.
Harapan ideal demokrasi sebagaimana pandangan Peter F Drucker juga perlu diwujudkan. Harapan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama. Demokrasi harus mendapatkan kembali kontrolnya terhadap kebijakan-kebijakan domestic, ekonomi, dan fiskalsebagai akibat kebangkrutan paham ekonomi negara efisien. Kedua. Demokrasi harus menghentikan luasnya kehancuran masyarakat domestik akibat kegagalan negara sejahtera (welfare state) dengan menggantinya menjadi masyarakat sejahtera (welfare state). Ketiga. Mempromosikan dan dan merealisasikan penguatan masyarakat sipil seteguh-teguhnya. Keempat. Mengkonsolidasikan segenap potensi demokrasi lokal agar tangguh dalam menghadapi iklim demokrasi internasional, (M. Yudhie Haryono, 2006:65-66).
Perwujudan ini akan menjadi akan lebih mudah saat konsep syariah diterapkan. Hal ini karena konsep syariah menekankan pada intrumen realitas dan bukan intrumen gharar dan maysir. Penekanan yang menekankan pada adanya seperangkat aturan yang jelas dan tegas dan pengawas yang mengawasi pengawasan pelaksanaan aturan tersebut. Seperangkat aturan dan pengawas tersebut, harus mampu dihadirkan dalam melaksanakan demokrasi dan harus mampu melaksanakan fungsinya dengan baik.
Hadirnya seperangkat aturan dan pengawas yang jelas dan tegas tersebut juga harus mampu menghilangkan fungsi demokrasi sebagai Multi Level Marketing. Di mana demokrasi harus mampu menghadirkan sang angsa pemimpin baru, yaitu Indonesia yang Raya. Di sinilah ruang para pemikir Islam seharusnya bekerja dalam rangka politik Islam. Sebuah ruang untuk bermujaddid.*
Sumber:
M. Yudhi Haryono, Memaafkan Islam. Pengantar: KH. Abdurrahman Wahid. Jakarta, KalamNusantara, 2006.