IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Modern Maritime State Civic Nationalism, Bagian Kedua

Pada saat ini, sepertinya ada yang alpha dan belum maksimal dari program dan konsep pemerintahan dalam merealisasikan gagasan pembangunan nasional terkait potensi maritim, laut dan SDA samudra Indonesia. Oleh karena itu tentu kita berharap ada terobosan desain dan aksi pembangunan untuk memaksimalkan potensinya. Sejarah mencatat, betapa gagah dan beraninya nenek moyang kita dahulu berjaya di laut dan memanfaatkan SDA tersebut sehingga mempersatukan Nusantara walaupun teknologi saat itu masih minim bahkan tradisional.

So, sejarah kita adalah takdir maritim. Apa buktinya? Pertama, kita ahli waris bangsa laut dari Sriwijaya dan Majapahit. Kedua, kita memiliki yurisdiksi atas wilayah laut seluas 3,2 juta km2, jauh lebih luas dari daratan yang luasnya hanya 1,9 juta km2.

Inilah mengapa Bung Karno mengatakan bahwa Indonesia ibarat lautan yang ditaburi pulau-pulau. Keberadaan 17.508 pulau menjadikan kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Garis pantai sepanjang 95.181 km menempatkan Indonesia sebagai negara keempat yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia.

Dus, kita bukan hanya poros maritim dunia (PMD) karena berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, tetapi juga poros benua dunia (PBD) karena berada di antara Benua Asia dan Benua Australia.

Sebagai negeri bahari kita memiliki kekayaan ikan yang potensial ditangkap sebesar 6,4 juta per tahun. Terumbu karang tempat ikan 60 ribu hingga 85,7 ribu km2. Ada tambang pada 70% kawasan pesisir dan laut serta 40% cekungan lepas pantai.

Saat bersamaan, perbedaan pasang-surut, matahari, angin, gelombang, gas hidrat metan, ocean termal dan arus laut juga potensial dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan.

Kita juga punya pariwisata bahari, farmasetika laut, dan garam hingga peranannya sebagai landasan atau platform berdasarkan hasil Konnas 1996.

Total nilai ekonomi kelautan US$ 388,7 milyar per tahun berdasarkan data 1997, yang kemudian diperkirakan berkembang hingga mencapai US$ 1,2 atau 1,32 trilyun per tahun.

Dengan potensi sebesar itu para pengusaha kita harus mengantisipasi dan merebut peluang pasarnya. Selanjutnya kita harus mulai melirik ke Asia Tengah sebagai alternatif pasar di Asia. Tentu, ini memerlukan presiden yang dahsyat, elite yang cakap dan pemerintahan yang kuat. Tanpa itu, negara ini hanya jadi tempat berak dua gajah (China versus Amerika) yang berkelahi memperebutkan dunia yang penuh birahi.

Memang, akibat kolonialisme dunia lebih mengenal jalur sutra China, jalur bahasa Inggris dan jalur orientalisme Amerika. Padahal, kita punya jalur rempah yang memberi pengaruh pada kehidupan Indonesia dan dunia di masa kini.

Rempah telah diperdagangkan berabad lamanya sebelum masehi. Perdagangan ini menempuh Asia Selatan hingga Timur tengah dan Eropa, dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina. Di masa itu rempah-rempah miliki peranan penting bagi kehidupan, mulai dari urusan citarasa masakan, hingga mengawetkan mayat.

Menurut para sejarawan, dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang kartografi dan astronomi, pada abad ke 15 dan 16, penjelajah Eropa seperti Christopher Columbus dari Italia dan Portugis Vasco da Gama mencari jalan ke daerah asal rempah-rempah. Para pedagang Asia Selatan menyembunyikan peta ke daerah tersebut, hingga orang Eropa tak dapat menemukannya.

Agar dapat menguasai komoditas rempah, ekspedisi penjelajah Eropa sangat agresif. Di tengah kehidupan feodal masyarakat Eropa, penguasaan atas rempah dianggap penting agar pemiliknya dapat disejajarkan denganĀ  golongan elit. Para penjelajah mengorbankan hidup mereka untuk menguasai rempah-rempah di Asia Tenggara.

Singkatnya, jalur rempah berbasis hasil bumi dan laut harus direkapitalisasi. Ini tugas mulia; merealisasikan proklamasi, menjalankan konstitusi, menggemukan APBN, menghancurkan kemiskinan dan ketimpangan, memartabatkan negara di mata dunia. Inilah negara kelautan modern yang harusnya kita tuju bersama.

Melampaui itu semua, kedepan kita tentu berharap pemerintah melakukan penajaman kembali gagasan program dan kebijakan strategis terkait samudra Indonesia. Baik dalam perangkat UU, Anggaran, SDM dan strategi pembangunan yang berkelanjutan.

Oleh karena itu kemauan politik pemerintah dalam hal ini Presiden akan menjadi penentu, terkait arah pembangunan nasional di bidang maritim. Atau kita ganti kalau tak bisa. Sebab mestinya kita malu kalau miskin di tengah potensi kekayaan yang melimpah.(*)

 

Penulis: Dr. Yudhie Haryono

 

Sumber gambar: https://www.emaritim.com/2016/12/10-pelabuhan-terbesar-di-dunia.html

Bagikan ya

Leave a Reply