Agensi Islam sudah banyak yang berkuasa, tetapi mengapa cita-cita negara ini seperti semakin tak terengkuh? Jika kita tak mampu menjawabnya, ini akan makin menegaskan betapa sulit menemukan Islam subtantif. Sebuah Islam yang menggerakkan perubahan sekaligus memenangkannya. Ini penting sebab, kini kita bisa lihat betapa masif orang menyembah baju, teks dan batu akhir-akhir ini tetapi mendaku paling muslim.
Misalnya saja, berbondong-bondong orang juga merasa lebih Islami hanya karena jilbab dan baju koko plus celana cungkring. Berduyun-duyun orang juga merasa punya investasi sorga hanya dengan menghapal dan melombakan hafalan Alquran. Bergerombol orang-orang merasa menjadi suci dan mabrur hanya dengan mencium batu hitam dan tamasya di dua kota. Lalu, panggil memanggil dengan akhi dan ukhti.
Islam Memiliki Gagasan Awal Yang Gigantik
Inilah “Islam yang menjauhkan terengkuhnya cita-cita negara Indonesia.” Padahal, Islam merupakan gagasan awal dan perealisasian yang begitu dahsyat, gigantik, berdentum dan spektakuler, sayangnya kini tinggal ampas dan debunya saja. Maka, jika bangsa lain melihat bulan berpikir untuk membangun pemukiman di sana, islam hari ini melihat bulan hanya untuk kapan makan bersama. Jika bangsa lain membaca kitab suci untuk mempraktekkan subtansi isinya, ummat muslim menghapal dan membuat musabaqahnya saja.
Bagaimana membuktikannya? Mari kita lihat teksnya lalu konteksnya. Aku hanya akan kutip beberapa saja sebab terbatas.
1)Islam berarti “menyelamatkan martabat” (QS An Nisa/4:125).
2)Islam berarti “menyelamatkan diri” (QS Al Baqarah/2:131. Ali Imran/3:83).
3)Islam berarti “menyucikan diri” (QS As-Syu’ara/26:89).
4)Islam berarti “menyelamatkan dan menyejahterakan” (QS Al An’am/6:54).
5)Islam berarti “mendamaikan” (QS Muhammad/47:35).
Dari beberapa teks itu, kata “islam” berasal dari akar kata Arab, s-l-m (sin, lam, mim) yang berarti mendamaikan, menyucikan, menyelamatkan dan membariskan. Dalam pengertian religius subtantif, islam berarti “ketundukkan kepada kebenaran lewat jalan penyelamatan” (diri, kelompok, bangsa, harta, tahta dan cita-cita).
Karena itu, konteks Islam adalah melawan kezaliman, penjajahan, kejahiliyahan dengan cara:
1)Aslama: menyerahkan diri pada hukum baru yang revolusioner agar;
2)Salima: selamat dan menyelamatkan sehingga;
3)Sallama: membangun peradaban baru yang;
4)Salam: aman, damai, sentosa, adil, sejahtera dan menzaman.
Singkatnya, saat itu Islam adalah jalan baru. Alternatif dari jalan lama yang berputar-putar pada feodalisme (umur), fasisme (klan), oligarkisme (abu lahab), status quo (abu jahal). Jalan baru itu beride pada anti status lama dan berpraktek pada equalitas, progresifitas, gotong-royong, beyond sara (suku, ras, agama) dan adaptif-menzaman.
Sebab, jika Muhammad hanya dakwah baju, batu dan teks maka ia tak akan jadi musuh bersama konglomerasi ekonomi-politik saat itu. Muhammad dijadikan musuh bersama karena punya gagasan revolusi ekonomi-politik dan mematrialisasikannya dengan berbaris bersenjata dan dominatif.
Sejarah Nabi Muhammad Adalah Sejarah Merubah Struktur Lama Yang Oligarkis
Karena itu, sejarah besar Muhammad adalah sejarah merubah struktur lama yang oligarkis, kleptokratis, kolutifis, kartelis, eksploitatis dan predatoris menjadi struktur yang adil dan sesama bersama. Ia merubah kesukuan menjadi peradaban. Ia membariskan orang-orang miskin, kalah dan cacat menjadi tuan di atas tanah air mereka. Ia buat tanah suci (bagi para revolusioner-syuhada) dan tanah haram (bagi para begundal kolonial).
Jadi, Islam Muhammad itu adalah revolusi terhadap kaidah “extra exlesiam nulla konglomerata.” Yaitu merevolusi bekerjanya ekonomi-politik jahiliyah (tanpa sistem) yang menghasilkan: keterjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesakitan, kesenjangan, ketakmandirian, ketergantungan, kebingungan, kegelapan bagi orang-orang biasa dari kalangan rakyat jelata.
Jika hari ini Islam menyempit jadi ritual dan selebritas, itulah Islam yang menyedihkan sekaligus menyesatkan. Tinggal sampahnya. Ia akan dikenang saja seperti kita mengenang Majapahit, Mataram Kuno dan Sriwijaya.
What must be done? Tak ada cara lain kecuali kita harus merevitalisasi isu-isu dari penghambat terealisasinya cita-cita negara. Mari kita fokus pada 9 K: 1)Keterjajahan, 2)Kemiskinan, 3)Kepengangguran, 4)Ketimpangan, 5)Ketergantungan, 6)Kebodohan, 7)Kesehatan, 8)Konflik, dan 9)Kepunahan.
Kita harus buat protokolnya dan realisasikan satu persatu demi manusia nusantara, insan pancasila. Jangan mudah tertipu dengan isu ecek-ecek mainan oligarki: arabisme, lgbt, teroris dll sebagai pengalihan persoalan subtantif.
Tentu saja pemberantasan kemiskinan itu bertumpu pada peran pemerintah sesuai peran dan fungsinya untuk melindungi kaum miskin dari amok kolonial dan kumpeni penjajah. “Oleh sebab itu, pada saat ini perlu adanya sangsi konstitusional terhadap Pemerintah Negara yang mengabaikan tugas konstitusionalnya dalam memberantas kemiskinan,” demikian kata Bung Hatta saat mengkritisi pemerintah pasca pensiun dari tugas negara.
Di atas segalanya, hati-hatilah tuan-tuan. Sebab, kapitalisme selalu berjanji membangun jembatan walau di negeri itu tak ada sungai. Kapitalisme juga berjanji mencetak alkitab walau di negeri itu tak ada kaum beragama. Janji adalah buah harapan yang menjadikan penikmatnya ketagihan. Hiperjanji adalah ontologi kapitalisme: Benua baru, harapan baru. Pasar baru, masyarakat baru. Hemmm, kapitalisme memang dahsyat sebagai opium kehidupan.
Ada pesan dari Albert Einstien buat orang-orang seperti kita yang berjuang dalam nilai-nilai idealisme. Menurutnya, “kantong kosong tidak pernah menghambat kemajuan kalian. Yang bisa menghambat kalian hanyalah kepala kosong dan hati kosong” (Albert Einstein, Fisikawan Terbesar). Kini, kita harus terus berusaha dan bertakwa. Sekuatnya. Secerdasnya.(*)
Penulis:
Dr. Yudhie Haryono
Sumber gambar: http://homedesigningersing.com/