Akhir-akhir ini pemberantasan perjudian sedang digalakkan oleh pihak kepolisian kita. Begitu pula razia premanisme dan pelacuran. Judi, premanisme, dan pelacuran dianggap merupakan salah satu “penyakit masyarakat” yang banyak menimbulkan keresahan, seperti kejahatan atau tindak kriminal.
Pada zaman dulu tindak kriminal pun selalu dihubungkan dengan perjudian dan pelacuran. Maka untuk mengurangi kejahatan itu pihak aparat keamanan selalu bekerja sama dengan tuha judi atau juru judi (pengawas perjudian) dan juru jalir (pengawas pelacuran).
Sayangnya juru judi dan juru jalir hanya disebutkan sepintas bersama petugas-petugas kerajaan yang lebih berperan dalam masyarakat, seperti petugas pajak dan petugas pengadilan, sehingga kita tidak mengetahui pasti apa peran juru judi dan juru jalir ketika itu. Uniknya, sebutan juru judi dan juru jalir hanya terdapat pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Jawa Timur.
Sumber-sumber kuno yang mengungkapkan juru judi dan juru jalir antara lain adalah Prasasti Kuti (840 M), Kancana (860 M), Waharu I (873 M), Barsahan (908 M), Kaladi (909 M), Sugih Manek (915 M), Sangguran (928 M), Cane (1021 M), dan Hantang (1135 M). Menurut sumber-sumber itu pembegalan, perjudian, pelacuran, mabuk-mabukan, dan sejenisnya merupakan salah satu gaya premanisme. Untuk mengantisipasi tindakan-tindakan negatif itu, maka pihak penguasa menyusun kitab undang-undang hukum pidana. Yang paling dikenal adalah Kitab Kutara-Manawadharmasastra. Kitab ini kemudian menjadi dasar Perundang-undangan Majapahit.
Penerapan kedua kitab itu berhasil gemilang berkat kecakapan para pelaksananya, yakni Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Keduanya mampu mengangkat Majapahit sebagai negara tenteram dan makmur hingga puluhan tahun lamanya.
Pembegalan
Tindak kriminal yang paling banyak diungkapkan prasasti, terutama dari zaman Mataram Hindu, adalah pembegalan dan pembunuhan. Yang relatif panjang lebar disebutkan dalam Prasasti Balingawan (891 M), sebagaimana pernah diungkapkan epigraf Boechari (almarhum), seperti berikut: Selama beberapa waktu rakyat desa Balingawan selalu merasa resah karena terlalu sering membayar denda atas rah kasawur dan wanke kabunan. Rah kasawur adalah perkelahian berdarah, sementara wanke kabunan adalah mayat yang terkena embun. Maksudnya suatu pembunuhan yang terjadi di malam hari kemudian mayatnya dibuang sehingga terkena embun di pagi hari.
Namun pelaku perkelahian dan pembunuhan itu tidak diketahui. Berkali-kali rakyat desa hanya menemukan darah berceceran dan sesosok mayat tergeletak di tegalan Gurubhakti di waktu pagi. Karena tegalan tersebut masuk wilayah Balingawan, maka rakyat desa itulah yang harus bertanggung jawab sekaligus membayar denda.
Berbagai jenis kejahatan umumnya terdapat dalam bagian prasasti yang disebut sukhaduhkha, kira-kira berarti segala perbuatan yang buruk dan yang baik dalam masyarakat. Misalnya wakcapala (memaki orang lain), hastacapala (baku hantam), mamuk (mengamuk membabi buta), dan amungpang (merampas, merampok, memerkosa).
Adanya kasus pembegalan juga dapat ditafsirkan dari Prasasti Mantyasih (907 M). Karena itu Rakai Watukura Dyah Balitung memberikan anugerah sima (tanah yang dicagarkan) kepada lima orang patih di Mantyasih secara bergantian. Mereka dinilai berjasa karena telah memenuhi permintaan rakyat desa Kuning untuk menjaga keamanan di jalanan. Sejak adanya mereka, rakyat di desa Kuning merasa tidak ketakutan lagi.
Hal senada juga diungkapkan Prasasti Kaladi (909 M). Alkisah dulu ada hutan arangan yang memisahkan desa Gayam dan Pyapya sehingga penduduk kedua desa menjadi ketakutan. Ini karena warga desa senantiasa mendapat serangan dari Mariwung yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan khawatir akan keselamatan mereka siang dan malam (M. Boechari, 1986).
Di kerajaan Mataram Hindu bahkan pernah ada sekelompok orang yang sering mengganggu keamanan (samahala). Prasasti Rukam (907 M) menyebut demikian, “…Seluruh petani desa Rukam memohon perlindungan kepada bhatara di Limwung terhadap orang-orang yang semula sering mengganggu keamanan daerah itu…” (Titi Surti Nastiti dkk, 1982).
Bentuk kejahatan lain diinformasikan Prasasti Kamalagyan (1037 M). Mungkin ini sabotase gaya kuno. “…Ada sekelompok orang hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai dibangun. Padahal pembangunan waduk itu dilakukan dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja…,” demikian cuplikannya.
Kasus pencurian pernah dikemukakan Prasasti Wulig (934 M) dan Baru (1030 M), yakni tentang pencurian ikan di bendungan dan pencurian tanaman di kebun.
Denda
Ada kejahatan, tentu ada hukumannya. Namun sampai sejauh ini prasasti belum menyebutkan besarnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Hanya secara sepintas Prasasti Wuatantija (880 M) mengatakan mereka dikenakan denda berupa …mas ma 8 muang wuru wuruan 2 i satahun….
Beberapa prasasti seperti Waharu II (929 M) menyebutkan hukuman berupa kutukan. Pelanggar kejahatan disumpahin agar kakinya terantuk ranjau busuk, mati busung (perut membesar), menemui lima kesengsaraan (pancamahapataka), menderita sakit ayan (epilepsi), dan mendapat malu.
Kutukan dan sumpah juga dikeluarkan Prasasti Wukayana (angka tahunnya sudah rusak). Barang siapa berani mengusik sima di Wukayana, ibarat kepala ayam yang telah putus dari badannya dan tak akan kembali lagi. Ibarat telur yang hancur lebur, tak akan kembali utuh lagi. Bila orang tersebut pergi ke hutan agar dipatuk ular. Bila pergi ke ladang agar disambar petir meskipun tidak hujan. Bila datang ke sungai agar dibelit binatang air.
Soal kesadaran hukum, orang dulu pantas ditiru. Mereka tidak main hakim sendiri seperti pada zaman sekarang. Para penjahat harus dihadapkan ke sidang pengadilan, itu aturannya. Di situlah diputuskan apakah penjahat itu cukup dikenai denda atau harus dihukum badan. Besarnya denda pun berbeda-beda. Bila melakukan anjarah (merampok) sendiri dikenai denda 20.000, sementara jika beramai-ramai maksimum 160.000. Entah, belum diketahui satuan apa dendanya.
Denda, menurut arkeolog Slamet Pinardi (1986), juga dijatuhkan kepada anumpu (orang yang membunuh sepasang suami isteri di waktu malam untuk dirampas harta bendanya) dan ambaranang (orang yang membakar rumah-rumah di suatu desa dan penghuninya yang lari ke luar dibunuh).
Penerapan kitab hukum pada zaman dulu sangat ketat. Ini dapat dilihat ketika Ratu Sima memotong kaki sang anak karena dia telah melanggar undang-undang kerajaan. Meskipun para menteri sudah meminta keringanan hukuman, tetap saja Ratu Sima tidak bergeming dengan keputusannya itu. Kita yang hidup di masa kini, sudah seharusnya mempunyai undang-undang yang keras macam di Majapahit dan penguasa yang tidak pandang bulu seperti Ratu Sima.***
DJULIANTO S/ Adhie