IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Buku Nilai Keindonesiaan Buku Yang Memberi Warna Baru Nilai Keindonesiaan Yang Redup

Negara ini seperti tak eksis lagi. Ia kini menjelma sebagai predator, bukan pelindung. Mungkin karena Indonesia adalah pertanyaan dan jawaban yang koma, bukan titik. Ia terus. Ia dinamis. Ia menuju. Ia berhenti sejenak untuk berangkat kembali. Ujungnya tak ditemukan. Titiknya makin samar. Yang menang dan berkuasa kini tak peduli nilai dan cita-cita besarnya.

Padahal, Indonesia adalah keimanan, kemanusiaan, kebersatuan, kegotong-royongan, keadilan, keterbukaan, kedamaiaan, ketertiban, kemartabatan, kesentosaan dan kesejahteraan. Sebelas nilai. Kesebelasan. Jumlah yang kokoh jika membentuk pasukan. Nilai juang yang berpijak dari keseharian untuk menjadi titik tumpu dan titik tuju.

Tetapi kini, nilai-nilai itu hanya tulisan, gerendengan dan kuasa ilusi yang tak sudah-sudah untuk mengejawantah. Ia diucapkan, tak dikerjakan. Ia jadi slogan, tak direalitaskan. Ia dikhotbahkan, tak ditradisikan.

Karena itu mungkin kita harus menengok kembali pentingnya semangat Pancasila sebagai nalar publik, paham kebangsaan yang kuat, dan semangat nasionalisme yang kokoh serta rasa kegotongroyongan yang mendalam jika nilai-nilai itu mau dinyatakan. Dan, atas alasan itu, buku ini hadir. Sebagai refleksi dan proyeksi warganegara yang cinta dan mencintai negara dan bangsanya.

Buku setebal 388 halaman, seukuran 15cm × 23cm, dengan nomor ISBN; 978-602-412-181-5, dicetak pertama kali tahun; 2016 di Jakarta, oleh Yayasan Suluh Nuswantoro Bakti (YSNB) dan diterbitkan oleh Kompas ini merupakan buku langka. Tak banyak institusi dan lembaga yang menggeluti isu besar ini. Termasuk lembaga negara semisal Lemhanas. Jurnal dan riset akademik soal ini juga sangat jarang. Mengapa langka? Mungkin karena penyusunan buku ini melakukan diskursus budaya yang diarahkan pada upaya merumuskan nilai yang melatar belakangi pembentukan budaya dan bangsanya.

Sebagai bangsa besar, jangan sampai Indonesia kehilangan imajinasi dan panitia serta jalan untuk mencapainya. Tentu sgar nilai-nilai itu tertradisi dan menjadi kurikulum yang merealitas dalam keseharian. Tak pandang bulu, ia berlaku di mana saja dan kapan saja. Di sini, kini, dan kemudian sampai kepunahan tiba.

Memang, pasca reformasi, kita mengalami banyak perubahan yang dahsyat sebab nilai-nilai global telah masuk ke semua aspek kehidupan dan semakin cepat memarjinalkan nilai-nilai lokal yang sarat dengan muatan kebajikan (local wisdom). Badai dan banjir itu tidak tak terantisipasi. Alih-alih ditemukan solusinya, kita kini hanya bangga jadi konsumennya.

Tentu saja, tergerusnya budaya bangsa harus diantisipasi dengan penguatan nilai budaya bangsa atau disebut Nilai Keindonesiaan. Perumusan dan penanaman Nilai Keindonesiaan kepada seluruh rakyat Indonesia adalah sebuah keniscayaan (h.17).

Pengkurikuluman itu sangat penting guna menjadi kredo yang harus terus disebarkan secara terstruktur, sistematis dan masif dalam kehidupan kebangsaan di era abad jahilyah ini. Tanpa itu, berat negara ini untuk tampil menjadi peradaban besar. Bahkan mungkin bisa bubar.

Memang dalam Pancasila dan UUD 45 sudah termaktub cita-cita besar, nilai-nilai dan platform tersebut. Tetapi itu tak cukup. Perlu elaborasi dan penajaman serta perluasan-perluasan yang signifikan.

Mengapa begitu? Sebab masalah bangsa dan negara kita makin kompleks, tidak sederhana seperti dibayangkan khalayak secara dangkal. Masalah itu terus bertambah dan terkadang sulit ditemukan solusinya. Terlebih jika elit kita mentradisikan nilai gotong nyolong di segala penjuru. Terlihat jelas, gotong nyolong kini bahkan jadi agama baru yang penganutnya ada di mana-mana. Repot bukan? Nah, buku ini bisa menjadi penawarnya yang cespleng.(*)

 

Penulis Resensi:

Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply