Narasi ini besar di kalimat, tetapi terlalu kerdil di implementasi. Itulah narasi maritim; negara kepulauan. Sering dipidatokan dan dibuat lembaga serta peta jalannya, tetapi lumpuh diterjang kuasa kontinental. Padahal, Ketua YSNB Iman Sunario bertesis: “kesadaran budaya sebagai bangsa bahari dan kesadaran geografis sebagai negara kepulauan akan menjadi modal untuk memperkokoh pemerintahan yang berkarakter, bersih dan berwibawa.”
Memang, tertulis di dokumen negara bahwa visi kelautan Indonesia adalah mewujudkan negara ini menjadi Poros Maritim Dunia. Yaitu menjadi negara maritim yang maju, berdaulat, mandiri, kuat, serta memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Sayangnya kok hanya dokumen. Angkatan laut kita stagnan, tekhnologi kelautan kita jalan di tempat, kampus-kampus berfakultas kelautan inflasi, komunitas epistemik maritim sekarat, kesadaran nenek moyang pelaut makin nihil, profesi pelaut makin miskin dan susut.
Atas kesadaran itu, YSNB (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti) menerbitkan buku berjudul, “Visi Maritim Indonesia.” Terbit di Jakarta, tahun 2014, buku ini sebenarnya bisa menjadi modal negara kita membangun jalur dan poros maritim dunia. Buku ini merupakan editorial dari rangkaian diskusi-diskusi serius selama setahun dengan tema “mengungkap budaya luhur nusantara menuju peradaban Indonesia baru.”
Buku yang menyodorkan gagasan pematrialisasian paradigma maritim yang keren. Usulan untuk melengkapi pola hidup maritim; tradisi pola makan ikan; penyempurnaan tata ruang kehidupan sungai dan laut yang komprehensip (h.30). Tentu, ini satu reorientasi baru demi hadirnya ketahanan dan kedaulatan serta martabat bangsa dan negara.
Reorientasi untuk sadar laut, cinta maritim, bermental samudra itulah keniscayaannya. Sebab, kita adalah negeri perairan yang lebih luas dari daratannya. Indonesia memiliki sekitar 17.499 pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada). Total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah zona ekonomi eksklusif (ZEE). Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan.
Dus, untuk mencapai orientasi baru itu semua, Riza Damanik (2019) menyebut bahwa secara operasional, ada tiga agenda prioritas dalam merealisasikan visi maritim kita.
Pertama, memperkuat manusia Indonesia dengan kultur inovasi. Inovasi tak mesti impor teknologi dari luar, tidak juga harus berbiaya mahal. Paling penting adalah tumbuhnya kreativitas yang dapat diaplikasikan guna meningkatkan nilai tambah produk kelautan dan kualitas hidup orang Indonesia.
Kedua, memperkuat perikanan budidaya. Faktanya, dari total 17,9 juta hektare potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di darat maupun laut, baru 1,3 juta hektare yang termanfaatkan. Itu pun dengan produktivitas rendah.
Padahal, negara eksportir ikan papan atas dunia adalah (juga) negara yang berhasil mengembangkan perikanan budidaya. Ambil contoh Vietnam, selain ikan patin, komoditas udanglah yang mengantarkan Vietnam masuk tiga besar eksportir ikan di dunia. Inilah peluang yang harus diambil Indonesia.
Ketiga, memastikan diplomasi maritim Indonesia semakin strategis. Utamanya, untuk terlibat menjaga perdamaian di kawasan, menyelesaikan perjanjian batas wilayah dengan para tetangga, serta memperluas dan menekan bea masuk produk-produk perikanan dan kelautan Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor.
Ini kerja kejeniusan. Ini kerja raksasa. Sebab geopolitik kita terletak di titik silang, yaitu antara Benua Asia dan Benua Australia, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Ini membuat Indonesia memiliki posisi strategis dalam aspek ekonomi dan militer sekaligus daerah kurusetra: tempat bertarungnya gajah dunia menggigit dan merampok SDA sekaligus tempat berak mereka.
Ini kerja postkolonial. Ini studi nusantara. Sebab, secara hukum, Indonesia ditetapkan sebagai negara kepulauan sekaligus maritim dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Semua tertera pada pasal 46-47 ayat 1. Sehingga secara geografis, geopolitik, geoekonomi dan sejarah dunia, Indonesia telah memenuhi syarat menjadi peradaban yang raya dan jaya.
Kalau belum, pasti ada yang salah dalam pengelolaan dan pemilihan pemimpin kita. Ini refleksi jumat yang dahsyat, dari buku yang perlu dikembangkan lagi. Buku yang akan kita realisasikan isinya segera.(*)
Penulis Resensi:
Dr. M. Yudhie Haryono