Sejak kapan politik kita menjadi politisasi warga negara dan ekonomi kita menjadi ekonometrik? Ini pertanyaan penting saat zaman normal. Tetapi, ini jadi pertanyaan mubazir di zaman edan.
Tentu saja, secara serius kita akui problem kebuntuan ekonomi-politik negara Indonesia seolah tak pernah selesai. Dalam konteks kekinian, ada jurang yang begitu lebar dalam kebijakan ekonomi selama ini, antara idealisme dan pragmatisme, antara sosialisme dan liberalisme, antara konservatisme dan tuntutan globalisasi.
Akibatnya, kita mengalami deintelektualisasi, yaitu kurangnya kreasi intelektual yang terus terjadi pada sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Situasi anti-intelektualisme pada iklim politik, bahkan sosial dan ekonomi di Indonesia sekarang adalah potret terbaiknya: ekonominya nir politik partisipatif dan politiknya mengabsenkan demokrasi ekonomi.
Singkatnya, sumber-sumber kebenaran dan narasi-narasi yang diciptakan penguasa dari partai politik semakin kehilangan wibawa karena minim cita-cita luhur. Minus prototipe negarawan. Banjir dealer, minus leader. Banjir begundal, defisit pahlawan.
Dalam reduksi negarawan itulah kita tahu bahwa sistem politik demokrasi tidak menjamin pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Demikian pula sebaliknya: tidak setiap kemakmuran negara tercipta karena demokrasi. Buktinya, banyak negara yang secara politik menjalankan praktik otoritarianisme justru lebih baik ekonominya dibandingkan dengan negara yang menganut demokrasi. Misalnya, negara Brunai, Singapura, China, Arab Saudi dan lain sebagainya.
Dus, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat dikaitkan dengan sistem politik tertentu, termasuk demokrasi. Rezim otoriter di beberapa negara dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus makmur. Itulah ekonomi yang ramah politik dan politik yang ramah ekonomi, dua postulat yang dipilih demi tercapainya ekopol yang sesuai pola negara penganutnya.
Penulis buku ini, sebagai peneliti senior yang besar dari LP3ES, berusaha mendudukkan perbedaan itu secara objektif dalam kaitan realitas ekonomi politik mutakhir. Buku ini terdiri dari tiga bagian penting: Pertama, Skesta Historis Ekonomi-Politik. Kedua, Ekonomi-Politik dan Globalisasi. Ketiga, Situasi Ekonomi-Politik Indonesia. Buku ini penting bagi siapa saja yang ingin melihat secara lebih jauh problem ekonomi-politik berikut prospek yang bisa dilakukan di masa mendatang.
Sebagai negara yang menganut paham hibridasi antara sosialisme dan kapitalisme (pasar sosial) mestinya kerangka kebijakan fiskal kita terasosiasi pada tiga hal, yakni distribusi, alokasi dan stabilisasi. Tujuan utamanya tidak lain agar perekonomian kita saat mengalami gangguan mampu bangkit dan kembali pada pasar yang kondusif, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan kemiskinan dan jurang ketimpangan yang melebar.
Sayangnya kok makin ke sini, paham pemerintah makin fundamentalis pasar. Apa buktinya? Survei yang dilakukan lembaga keuangan Swiss, yakni Credit Suisse (2017) dan lembaga Oxfam (2017) ikut mengonfirmasi betapa buruknya distribusi kekayaan di Indonesia; betapa timpangnya kita; betapa miskinnya warganegara kita.
Credit Suisse menyatakan bahwa sekitar 45% total kekayaan Indonesia hanya dikuasai 1% penduduk terkayanya. Memang angkanya sudah sedikit turun bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya yang distribusi kekayaan 1% orang terkaya ekuivalen dengan 49,3% total kekayaan, tetapi proporsi tersebut masih tidak masuk akal karena penduduk sisanya hanya mendapatkan ampasnya. Ini benar-benar gila dan anti pancasila.
Kajian Oxfam menunjukkan gejala yang serupa. Total kekayaan empat orang terkaya sudah setara dengan total kekayaan 40% golongan penduduk termiskin yang jumlahnya sekitar 100 juta penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang sering dibanggakan ternyata tidak terdistribusi secara merata. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir oligark saja. Sedih. Dan, hanya bisa sedih.
Para pembaca yang budiman, buku keren ini ditulis ilmuwan generasi senior yang sangat produktif, Fachry Ali. Ber-ISBN 978-602-6293-20-6. Dan, diterbitkan oleh Intrans Publishing tahun 2018 di Malang serta berketebalan 235 halaman.(*)
Penulis Resensi:
Dr. M. Yudhie Haryono