Toleransi beragama khususnya di Indonesia bukanlah hal yang baru. Kerukunan antar umat beragama masyarakat Indonesia ternyata telah ada berabad-abad silam. Indonesia yang dahulu disebut sebagai kepulauan Nusantara ini memiliki keberagaman adat istiadat yang membentuk masyarakat multikulturalisme. Sejak lahirnya kerajaan-kerajaan di Nusantara membawa pengaruh besar bagi sistem kepercayaan masyarakat dari anemisme-dinamisme ke ajaran Hindu dan Buddha. Misalnya Pada masa Kerajaan Mataram Kuno di jawa bagian tengah telah tumbuh subur agama Hindu dan Buddha. Keberadaan dualisme kepercayaan agama ini tidak lantas membawa konflik beragama namun ternyata memberikan sumbangsih bagi peradaban baru Nusantara.
Kerajaan Mataram Kuno yang menurut Bosch diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa. Sedangkan menurut Boechari dalam penafsirannya terhadap Prasasti Sojomerto, hanya ada satu wangsa yaitu wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana. Ajaran Hindu dan Buddha pada era-Mataram Kuno mampu hidup berdampingan satu sama lain. Kehidupan toleransi masa Mataram Kuno tercermin dalam bangunan-bangunan candi yang di bangun pada masa itu.
Menurut Prasasti Kalasan (778), Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi dengan menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara. Soekmono berpendapat bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dalam pembangunan Candi Borobudur masa pemerintahan Raja Samaratungga (824 M) yang melibatkan para pemeluk agama hindu di wilayah kedu. Dengan melihat posisi Candi Borobudur yang dikelilingi oleh candi-candi Hindu seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi.
Wajah toleransi Masa Mataram Kuno terlihat pada relief Karmawibangga di kaki Candi Borobudur yang menceritakan ajaran Buddha tentang karma atau akibat perilaku perbuatan manusia. Guru besar arkeologi Universitas Indonesia Hariani Santiko, dalam Toleransi Beragama Dan Karakter Bangsa: Perspektif Arkeologi, menjelaskan pada salahsatu relief tersebut menggambarkan tokoh agama memberi wejangan dan melakukan tapa. Uniknya tokoh agama itu tidak semuanya biksu, tapi juga pendeta Siwa, dan resi. Hal ini membuktikan Raja Sailendra walaupun raja beragama Buddha Mahayana, ia membiarkan rakyat dan bawahannya memeluk agama sesuai dengan pilihan mereka.
Pada puncaknya ialah ketika terjadi pernikahan antara Rakai Pikatan yang memeluk agama Hindu Siwa dengan Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana. Pramodawardhani sendiri merupakan putri dari Samaratungga sekaligus penerus tahta Kerajaan Mataram Kuno. Pernikahan dua orang yang berbeda kepercayaan ini disinggung dalam Prasasti Wantil. Peristiwa tersebut memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan kerukunan antar umat beragama masyarakat Mataram Kuno. Raka i pikatan sebagai seorang Hindu dalam memerintah Mataram Kuno tidak lantas menyingkirkan agama Buddha. Justru Raka i Pikatan membuatkan sebuah candi yang dihadiahkan kepada istrinya Pramodawardhani yang seorang pemeluk agama Buddha. Bukti toleransi yang ditunjukan Raka i Pikatan ini dapat dilihat pada Candi Plaosan. Menurut De Casparis dari Prasasti Cri Kahulunan (842 M) dinyatakan bahwa Candi Plaosan Lor dibangun oleh Ratu Sri Kahulunan (Pramodawardhani), dengan dukungan suaminya (Rakai Pikatan).