Mengapa kita kehilangan titik tuju? Karena kita lupa dengan titik kumpul. Mengapa kita kehilangan titik kumpul? Karena kita lupa dengan titik tumpu. Inilah kemenangan riil dari lanjutan atas neokolonialisme yang sedang terus dialami Indonesia.
Padahal, tiga titik itu ada dalam konstitusi. Tetapi, konstitusi kita tak ditradisikan pelajarannya. Tak banyak orang suka. Hanya sedikit sekali yang peduli dan sadari. Akhirnya kita lupa apa itu negara, mengapa ia dilahirkan dan bagaimana mencapai tujuannya serta kapan itu diselenggarakan.
Padahal, bernegara itu berkonstitusi. Tentu, berkonstitusi itu bernegara. Dus, jika ingin tahu jawaban dari pertanyaan, apa, siapa, kapan dan bagaimana suatu negara, bacalah konstitusinya. Apa itu titik tumpu, titik kumpul dan titik tuju, bacalah konstitusi.
Tetapi, konstitusi sebuah negara tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja. Apalagi cuma dihapal dan dilombakan. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksud dari konstitusi suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana lahirnya, harus diketahui perdebatannya, aktornya, keterangan-keterangannya dan dalam suasana apa konstitusi itu dibuat.
Singkatnya, konstitusi negara kita menjadi dasar hukum penyelenggaraan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, penyelenggara negara maupun warga negara bertindak berdasar dan menurut ketentuan dalam konstitusi. Dengan demikian konstitusi menjadi hidup (living constitution) dan memunculkan perilaku konstitusional.
Dus, ia harus dipelajari, dikurikulumkan dan ditradisikan agar semua warganegara berperilaku konstitusional: bertuhan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah dan berkeadilan.
BPUPKI dan PPKI dalam merumuskan UUD45 asli dibangun di atas lima substansi fundamental yaitu: 1)Presiden harus orang Indonesia asli agar membela yang terjajah; 2)Hikmat kebijaksanaan dalam semua persoalan; 3)Musyawarah dan perwakilan dalam representasi politik perundangan dan putusan; 4)Ekonomi mengutamakan hajat hidup orang banyak dalam bentuk koperasi; 5)Keadilan dan kesentosaan milik semua.
Sayangnya kini, lima substansi fundamental itu dihilangkan. Akibatnya, kita linglung dan limbo. Mabuk menyembah rumusan baru yang ditempelkan dan distempel sebagai obat mujarab, padahal racun.
Atas alasan itulah, buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI diterbitkan ulang. Buku ini memuat beberapa hal inti, antara lain laporan hasil sidang BPUPKI pertama dan kedua. Juga laporan sidang-sidang PPKI. Buku ini berjudul lengkap Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-2 Agustus 1945.
Buku disunting oleh Saafroedin Bahar dkk. Dicetak ulang oleh Aliansi Kebangsaan di Jakarta tahun 2014, berukuran 18×5 cm, dan setebal 690 halaman.
Kita tahu bahwa sidang pertama BPUPKI tangal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 merumuskan tentang dasar negara Indonesia. Kita sebut sebagai sidang yang berhasil membuat konsensus atas Pancasila. Lima sila itu yang terus berkembang dan diputus menjadi seperti sekarang: 1)Ketuhanan Yang Maha Esa; 2)Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3)Persatuan Indonesia; 4)Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanan dalam permusyawaratan perwakilan; 5)Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sidang kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945 adalah disetujuinya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara pada 16 Juli 1945. Isi rancangan UUD adalah sebagai berikut: Pernyataan Indonesia merdeka; Pembukaan yang memuat Pancasila; Batang tubuh UUD yang tersusun atas pasal-pasal.
Tentu saja, buku ini juga mengabarkan tugas BPUPKI untuk mempersiapkan segala hal penting yang berkaitan dengan tata pemerintahan, sementara PPKI adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI, yaitu menyiapkan pemindahan kekuasaan dari penjajah Jepang ke Indonesia.
Catatan buku ini sangat lengkap soal isi sidang, anggota sidang, jalannya sidang, subtansi sidang dan keterangan tambahan atas suasana sidang. Kalian yang suka sejarah dan ingin baca, bisa membelinya dan sekalian dapat mendiskusikannya.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono