Setelah sekian tahun berdemokrasi dan merasa menegakkan HAM, serta memberantas KKN, kenapa kita saksikan pemerintahan kita berasa tribalisme?
Kita tahu, pemerintahan tribalisme merupakan bentuk pemerintahan purba yang biasanya berupa pemerintahan gabungan dari beberapa suku yang saling melindungi agar kekuasaan-kejahatannya efektif dan KKN mereka aman.
Bentuknya ada dua. Pertama, tribalisme despotik, di mana pemimpin diperoleh dari peperangan antar suku. Suku yang menang akan menjabat sebagai pemimpin. Elitenya merangkap sebagai dukun atau pemuka agama tetapi tidak bertanggung jawab pada siapapun kecuali pada dirinya. Pemimpin biasanya semau sendiri dan memerintah sampai mati.
Kedua, tribalisme demokratik, di mana pemimpin diangkat di antara suku-suku yang berembuk untuk memilih pemimpin dari kepala suku yang ada dan menjabat sampai mati. Baik despotik maupun demokratik, pemerintahan tribal pasti KKN, diwariskan dan kekuasaanya mutlak.
Dua model tribalisme itu kini mentradisi di Indonesia. Mungkinkah hal itu karena kita hidup dalam negara tanpa logos? Sebuah negara yang cuma menghidupi mitos, ritus, situs, tikus dan kultus tanpa kritis? Kita perlu refleksi dengan sedikit serius.
Mungkinkah hal tersebut karena kita hidup di negara tanpa Tuhan walau ada kalimat ketuhanan yang maha esa dalam dasar negara? Sebuah negara yang menghidupi kolusi dan nepotisme. Kita tahu, kolusi merupakan permufakatan jahat (melawan hukum) antar oknum pemerintah dan pihak lain yang merugikan orang banyak dan negara. Sedangkan nepotisme adalah perilaku haram yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat.
Kolusi dan nepotisme merupakan buah dari korupsi: sebuah tindakan, sikap dan mental nyolong, ngutil, nyopet, nggarong dan ngerampok demi kekayaan haram untuk diri, keluarga dan kelompoknya (tribalnya saja). Peristiwa yang melahirkan defisit bangsawan, surplus bangsat(wan).
Memang, zaman ini berjalan tanpa panduan. Dunia sedang menuju desakralisasi, demoralisasi dan deintelelektualisasi secara masif, terstruktur dan sistematis. Saat bersamaan, para penjaga republik diam seribu bahasa. Termangu dan limbo. Rakyat umum tidak tahu solusinya. Tersihir dan pragmatis. Padahal, pelakunya itu-itu saja. Oligarki yang rakus bin serakah. Sekelompok syaitan berwajah manusia yang berfilsafat keinginan, anti kebutuhan.
Padahal kita sudah menyepakati untuk menghancurkan hal tersebut dalam negara dan pemerintahan. Caranya, dengan hidup berdasar tujuh asas, yaitu:
Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
Asas kepentingan umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dus, kita praksiskan asas itu dalam semua hal, terutama dalam berbangsa dan bernegara. Beyond tribal. Itu kuncinya. Tanpa itu, jangan mengaku sudah berdemokrasi, berHAM, berpancasila apalagi beragama.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono
Sumber gambar:
https://www.brilio.net/binatang/laba-laba-ini-punya-ukuran-tak-biasa-besarnya-bikin-bergidik-1811059.html