Keren. Menjijikkan. Dari semua kejadian yang kini kita alami dalam urusan politik. Apanya yang keren? Adalah lahirnya arus balik: bangkitnya para penipu yang dipimpin Jokowi. Ia yang akan menipu dunia dengan sekejap saja. Dimulai saat ia bikin Esemka, ke Ukraina dan Rusia lalu sebentar lagi semua keluarganya meminum kursi kuasa penghasil kencing onta di jejeg walikota.
Apanya yang menjijikkan? Adalah beyond nusantara dan amoralis amis. Tentu ini buah terharum dari invasi konstitusi. Ini invasi terbaru dan lanjutan dari invasi teritori, invasi SDA, invasi SDM, invasi duit, invasi kurikulum dan invasi pendidikan.
Invasi konstitusi adalah sebuah revolusi konstitusi yang memperanak tirani jahiliyah. Tentu, itu diawali oleh revolusi industri, di masa abad sebelum masehi. Lalu, revolusi financial di abad pertengahan. Tiga revolusi yang melahirkan para tiran baru karena gagalnya kewarasan peradaban dan kekalahan kaum idealis dalam perang terbuka maupun tertutup dengan mereka. Revolusi yang menternak pribadi culas bermental pemeras.
Usut punya usut, ternyata layar belakang ketidakpastian ekonomi dan dendamlah yang menjadi pemantik utamanya. Bagi kalian mungkin terdengar sepele, namun urusan ini memang jadi sesuatu yang benar-benar membuat dunia karut-marut.
Penulis buku ini bertutur bahwa, “para Tiran awal Yunani lahir bukan dari kekuatan militer yang kuat atau kekuasaan. Tetapi, tiran dibentuk melalui kekayaan (cuan).” Di republik tiran, jauh lebih celaka bin sial jadi idealis dan jenius. Lebih mudah dan dapat takdir kuasa jika memilih jadi penjahat-penjilat: apapun bentuk kejahatannya. Itulah mengapa kedaulatan rakyat mudah sekali dirampok elite begundal liberal di negeri tiran.
Judul buku ini adalah, “The Origin of Tyranny” dengan penulis Percy Neville Ure. Diterjemahkan oleh Ida Rosdalina, dan diterrbitkan oleh Ciputat, Alvabet. Cetakan pertama, Februari 2021. Ketebalan ix + 422 halaman. Membaca buku ini kita akan diajak berpetualangan di masa klasik Yunani, lalu melakukan kontekstualisasi dengan era di masa kini. Revolusi perdagangan Yunani klasik melalui penemuan uang logam, memiliki korelasi dengan terjadinya revolusi industri di era modern dan juga revolusi digital saat sekarang di mana kelompok-kelompok tiran lahir memanfaatkan situasi penting tersebut.
Kekayaan dimanfaatkan oleh para tiran awal membentuk dan mempertahankan kekuasaannya, dan seiring dengan habisnya kekayaan, kejatuh itu pun tiba bagi para pemimpin tiran awal. Akankah ini akan terulang di kisah kekuasaan terburuk dalam karir demokrasi para pencopet di Indonesia?
Mereka yang berkuasa karena cuan dan mengumpulkan cuan lalu tersapu krisis semesta. Mereka yang menang dengan cara menipu dan menumpuk KKN di semua lini dan terterjang kuasa people power. Kita akan saksikan segera.
Beberapa potongan episodenya telah tayang. Maka, kita bisa berhipotesa, jika ada tirani di republik ini yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tirani elite kita. Jika ada takdir elite yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah presiden-presiden kita semua. Tirani yang keren dan menjijikkan karena menyampahkan demokrasi, mengencingi pancasila dan meludahi kitab suci agama.
Di sini kita butuh pejuang pemikir dan pemikir pejuang. Mereka yang menjadi pahlawan. Dan, bukan pahlawan namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu pada keidealan Indonesia: melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan memartabatkan. Juga pada buku dan perpustakaan. Terkadang pada riset dan ketikan. Terlebih, para pahlawan itu hanyalah penenun takdir. Pada pematang yang tulus. Seperti mendung ke hujan, hasrat mereka tak jua bisa dipesan.
Sayangnya kok berindonesia itu kini adalah menyampahkan demokrasi sambil bersujud pada tirani. Ya. Itulah buah jahiliyah neoliberal.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono