Kini, semua tempat adalah pasar dan semua peristiwa adalah kerakusan. Untuk semenjana, agama dan ide-ide progresif kemanusiaan wafat ditelan gairah hasrat kaduniawian.
Pasar dan kerakusan kini menjadi potret terbaru dari dunia yang sedang kita huni. Tak ada kata yang lebih pas menjelaskan kondisi kekitaan kini. Itu tesisku yang makin kuyakini setelah zaman mukidi menjadi sunyata di alam ini.
Pasar dan kerakusan adalah produk. Dari sudut pikiran yang memuja individualisme. Yang berumah pada kapitalisme. Yang menghilirkan komodifikasi; masyarakat konsumerisme, juga negara predatorian. Yang berdarah instabilitas. Menyembah uang. Maka betul hipotesa ini: “Instability is a normal result of modern financial capitalism” (Hyman P Minsky, 1986).
Dunia kita pasti tahu bahwa kini, banyak elite pemerintahan kita tidak pernah risau soal gagal ataupun berhasil dalam mengelola negara. Sebab niat mereka berkuasa itu “golek sego lan upo.” Tidak jauh berbeda dari orang pada umumnya. Kwalitas mereka belum negarawan model pendiri republik. Bukan bangsawan melainkan bangsat(wan). Tapi, itulah kini keadaannya!
Padahal kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tanpa perubahan arsitektur ekonomi yang cerdas dan konstitusional, kita semua sedang membangun “rumah siap dibakar” dan menciptakan neraka di dunia (inferno).
Kawan, agar tak jadi inferno, kuberi tahu banyak hal penting. Bahwa tugas negara merdeka (postkolonial) sejatinya ada tujuh:
- Transformasi mental. Dari mental kolonial menjadi mental konstitusional;
- Transformasi ekonomi. Dari ekonomi penjajah menjadi ekonomi nasional;
- Transformasi sosial. Dari keadaan feodal, fasis dan fundamentalis menjadi keadaan demokratis, humanis dan sosialis;
- Transformasi politik. Dari politik belah bambu adu domba menjadi politik persatuan dan konsensus;
- Transformasi kurikulum. Dari kurikulum predatoris, oligarkis dan kartelis menjadi kurikulum adil, makmur, sejahtera dan merata;
- Transformasi hukum. Dari hukum elite yang membela pembayar menjadi hukum berkeadilan dan imparsial;
- Transformasi agensi. Dari agensi ambtenaar yang malas dan jahiliyah menjadi agensi jenius, inovatif dan menyempal (crank).
Memang berat. Banyak yang khianat. Memahami hal di atas, pada akhirnya kita harus tahu bahwa, “hidup adalah kesusahan yang harus diatasi; rahasia yang harus digali; tragedi yang harus dialami; kegembiraan yang harus dibagikan; cinta yang harus dinikmati; tugas yang harus dilaksanakan; kasih yang harus ditunaikan; kesedihan yang layak dipecahkan.”
Keren jika kita memilih itu. Ini laku gigantik. Sebab kita mendapati kenyataan soal academic poverty. Penyakit jejadian yang menghasilkan ilusi negara makmur via utang dan infrastruktur.
Kini kita memang sedang defisit negarawan (pemikir negara) dan bangsawan (pecinta bangsa). Sebaliknya, kita sedang surplus begundal yang bermental kolonial.
Apa solusinya? Mengevaluasi pendidikan. Memperkuat karakter konstitusional. Memenangkan pancasila. Memilih elite yang berkehendak konstitusional. Entah masih sempat enggak, saat perut kita meringik-ringik minta sesrahan yang makin mahal.
Jika tak sempat memahami hal-hal penting itu, sejatinya kita perlu malu pada para pendiri Indonesia (yang) Raya. Itu kalau ada akal dan kemaluan. Dua karunia Tuhan yang sudah langka dan purba.
Selebihnya, kalau mau berindonesia itu tidaklah merasa paling suci dan benar sendiri. Sebab pancasila itu bukanlah jubah yang engkau kenakan atau gelar yang engkau terima untuk dipamerkan ke orang lain. Gelar-gelar yang kini diobral. Dari kampus tempat yang harusnya suci dari kejahiliyahan.
Maka, berindonesia dan berpancasila itu gotong royong memastikan keadilan, kesentosaan dan kemakmuran bersama.(*)
Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono
Sumber gambar:
https://sukabumiupdate.com/posts/58971/imparsial-kritik-4-pasal-dalam-ruu-pertahanan-negara