MENGAPA negara dan warganya harus dilindungi? Sebab, neoliberal ini sangat anti kepemilikan publik (misalnya BUMN) dan berupaya membuat pemerintahan di banyak negara lumpuh sehingga merekalah yang berkuasa atas negara dan sistem pemerintahan, sosial, ekonomi dan politiknya. Invasi kurikulum dan konstitusilah kunci yang mereka dahulukan.
Amok neoliberalisme menjadi mengerikan karena ia adalah paham ekopol yang mengutamakan predatorian mental yang menetapkan sistem perdagangan bebas, ekspansi pasar, privatisas (penjualan BUMN), deregulasi (enghilangan campur tangan pemerintah), pengurangan peran negara dalam layanan sosial (public service) seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, makanan dan pakaian.
Tentu saja yang terjadi adalah tidak adanya kemakmuran dan kesejahteraan pada mayoritas warganegara, melainkan memperkaya pemilik perusahaan dan konglomerat saja. Kemiskinan dan ketimpangan menjadi lebih riil dan nyata.
Karena itu, puncak-puncak peradaban neoliberal adalah tertradisinya KKN oleh siapa saja dan kapan saja. Seperti zaman kalabendu. Asu gede menang kerahe. Hommo homini lupus. Amoralis. Ahistoris.
Jagad politiknya menjadi defisit logika, surplus logistik. Berputar-putar menyembah uang. Keuangan yang maha kuasa. Dus, kuasa uang itulah inti paham neoliberal yang desain ekonominya fundamentalisme pasar. Dengan posisi itu, ia diternak dan diikuti oleh banyak pihak. Apa saja buah dari ternak itu?
Pertama, memproduksi kemiskinan. Di setiap negara yang beriman pada neoliberalisme pasti terjadi stabilisasi dan kenaikan kurva jumlah orang-orang miskin. Yang kaya makin sedikit jumlahnya tetapi menguasai lebih banyak dari sesama. Mengapa kaum miskin penting? Sebab, kesejahteraan bersama bukan tujuan dari neoliberalisme. Kaya bersama itu utopia bagi neoliberal. Yang kedua, apalah artinya kaya jika tak ada kaum miskin. Dus, kaum miskin ini status penting bagi kaum kaya sekaligus komoditas yang siap sedia di peras dengan lekas.
Kedua, memastikan ketimpangan. Tak ada pemerataan ekonomi di negara-negara yang beragama neoliberalisme. Itulah mengapa pertumbuhan jadi mantera sakti yang dilafalkan para elite negara. Dengan pertumbuhan, semua mengalami ekonometrika. Deret ukur. Monetasi. Tumbuh di mana saja dan kapan saja, tetapi hanya dari, oleh dan untuk orang kaya. Timpang itu by design. Agar yang di atas dan di pusat makin dominan; punya wibawa serta perintah yang jumawa.
Ketiga, mencari untung dengan mencipta ketidakpastian (uncertainty). Krisis keuangan adalah contohnya. Kita tahu, krisis adalah cara para kapitalis merekapitalisasi kapitalnya secara berlipat ganda melewati ambang batas waras. Tentu saja, krisis ini akan merembet ke mana-mana: (1)Krisis identitas warga negara; (2)Krisis mental konstitusional; (3)Krisis ideologi negara; (4)Krisis kebangsaan; (5)Krisis sosial budaya. Semua krisis itu berujung pada sikap tidak peduli satu sama lain, saling meniadakan, hilangnya moral dan kehormatan pemerintah dan tokoh publik.
Keempat, melanggengkan perbudakan. Perbudakan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Sekarang perbudakan terjadi dalam sistem ekonomi neoliberal sebagai kejahatan lintas batas negara. Dalam buku The Global Slavery Index (GSI) 2014, diperkirakan 35,8 juta orang di 167 negara di dunia mengalami praktik-praktik perbudakan modern. Praktik perbudakan itu adalah perdagangan manusia, pekerja paksa, perdagangan anak di bawah umur. Dus, perbudakan modern adalah kondisi di mana seseorang memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan majikan: termasuk bekerja dengan upah murah.
Kelima, membiakkan pengkhianat negara dan pengkhianat warga. Pengkhianatan (Inggris: treason) adalah kejahatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap negara atau bangsa yang mencakup beberapa hal tindakan kejahatan yang serius, antara lain, rencana atau pembunuhan pada atasannya, perselingkuhan kepada negara lain, ketidakpatuhan yang dapat merugikan kepentingan atas kedaulatan negara.
Bisa juga merupakan tindakan spionase yaitu melakukan komunikasi untuk kepentingan negara lain yang dapat merugikan negaranya, memberikan informasi penting tentang kekuatan militer, ilmiah, sketsa, rencana, model, artikel, catatan atau dokumen-dokumen negaranya kepada negara lain untuk dapat digunakan oleh negara tersebut agar dapat merugikan kepada keselamatan negaranya, pengkhianatan dapat pula diartikan sebagai suatu pertentangan terhadap konstitusi negara.
Keenam, mengopeni ologarki di semua lini. Oligarki (dari bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh sekelompok elit kecil dari warganya yang kaya raya, dalam lingkar keluarga, serta bersumbu militer. Oligarki ini subur dan makmur karena ia memenopoli segala hal ikhwal.
Ketujuh, melipatgandakan utang negara. Ini jenis “bisnis baru” oleh aparatus pemerintah. Para pejabat berubah jadi agen rentenir yang keren. Pemerintah telah mengalokasikan utangnya ke infrastruktur terutama proyek-proyek skala besar seperti bandara, pelabuhan laut, sistem transportasi massal, jalan tol, serta pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi. Akibatnya, fasilitas publik itu bukan milik kita sehingga mahal saat warganegara menggunakannya.
Kedelapan, memproduksi pelanggaran HAM di segala bidang. Pelanggaran ini terutama di bidang ekonomi berupa pemenuhan hak atas pekerjaan (righ to work), hak atas pangan (righ to food), pendidikan (righ to education) dan kesehatan (righ to health). Betapa banyak orang nganggur, kelaparan, putus sekolah, sakit tak terobati adalah fakta-fakta riil pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar kita.
Kesembilan, mentradisikan KKN. Korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia berkembang secara sistemik. Dus, ketiganya kini bukan lagi merupakan sekedar pelanggaran hukum, melainkan menjadi kebiasaan. Postulatnya mari mencuri. Sebab republik ini tak pilih prestasi. Mari korupsi. Sebab ummat sudah mati. Mencuri dan korupsi itu agama kami.
Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Saat bersamaan kita melihat tak ada tanda-tanda akan berkurang, apalagi berhenti.
Buku ini berjudul, “Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal” (terjemahan), karya Erhard Eppler yang diterjemahkan oleh Makmur Keliat. Diterbitkan di Jakarta oleh Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, tahun 2010. Ketebalan bukunya adalah xviii, 344 halaman dan bernomor ISBN/ISSN 9786028866002. Sebuah buku penting di saat genting, tentu saja. Yang minat bisa beli ke saya dan kita diskusikan isinya.(*)
Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono